Jumat, 23 Mei 2014

Takdir Terakhir

Dia ada
Dia menggoda
Dengan nada pentatonik membahana

Dia di sini
Menanti hari berimaji
Saat jemari tak henti menari
Meniti inchi berpori

Dia di sini
Dengan goresan tinta yang pernah terhenti
Pada koma dimana nalar tlah mati
Hingga desirnya tak lagi nyaring bernyanyi

Dia disini
Bukan menanti penghapus koma pada narasi basi
Bukan pula untuk celoteh tiada henti
Dia disini tuangi hati, untuk titik yang tak pantas disesali

Dia di sini
Goreskan tanda bacanya sendiri
Tak untuk takdirnya yang tlah mati
Tapi untuk bab baru tanpa elegi.

Denpasar. 23052014-2017

Masopu

Bermula pada kata, cerita kan tertata.
Bermula pada kata, gaungnya membahana
"WDY"

Rabu, 12 Maret 2014

Menteri Alim itu....



http://zentangle.blogspot.com/2010/03/paradox-q.html
Bogor, 09 September 2013
Aku bergidik, sejak mengenalmu, baru kali ini kamu menatapku dengan begitu tajamnya. Sorot matamu yang setengah melotot seperti bilah-bilah anak panah Sri Krisna yang mencoba mengoyak tubuh lawannya di padang Kurusetra. Sorot itu menciutkan hatiku yang tidak pernah takut menghadapi marabahaya. Investigasiku dalam beberapa kasus kerusuhan, pembunuhan berantai dan kasus pelik lainnya, sukses aku taklukkan. Semua karena dukungan moril darimu. Tapi entah kenapa kini kau tidak setuju dengan rencanaku untuk menyelidiki kasus kecelekaan Lancer EX yang terjadi dinihari kemarin? Padahal kasus itu nilai jualnya sangat tinggi di mata awak media sepertiku.
"Sadarkahh kau? Selama ini dirimu seperti ilalang di savana. Jangankan hembusan angin ribut, sepoi angin yang lembut membelai tubuhmu saja sudah cukup membuatmu berisik?" Katamu pelan, seakan tanpa semangat. Kau berkata tanpa kebanggaan seperti yang selama ini selalu kau tiupkan tentang profesiku. Biasanya kau orang pertama yang berdiri menyemangatiku saat gelisah seperti ini. Tapi kini, entah kenapa kau berubah. Kau seperti orang lain di mataku.
"Maksudmu apa?" Aku kebingungan melihatmu bersikap seperti itu.
"Profesimu itu." katamu mantab. “Aku tidak perlu lagi sembunyikan kegundahan yang selama ini terus menghantui malam-malamku. Aku takut kehilangan dirimu hanya untuk sebuah kesia-siaan semata. Hanya untuk nilai jual tanpa pesan moral. Itu hanya pepesan kosong media murahan.
"Wartawan? Apa yang salah dengan profesiku sebagai wartawan investigasi?" mukaku memerah seperti kepiting di panggangan. Jujur aku tersinggung dengan ucapannya. Aku berusaha menahan rasa tidak enak yang tiba-tiba saja menggelegak. Entah kenapa rasa itu semakin kuat merajahi hati. Aku memang

Sabtu, 08 Februari 2014

Tersudut

http://felinophobia.wordpress.com/category/phobia/
"Tidak. Kamu tidak boleh melakukannya."
Telapak tangannya memegang pundakku. Seperti berusaha menahan nyala lilin yang hampir padam, matanya menghujam pusaran korneaku.
Dia tahu saat ini aku terseret di nadir. Dia tahu aku butuh tongkat kecil untuk menopang langkah yang mulai goyah. Karena itu dia berusaha menjadi penopangku.
"Tidak....?"
Aku melotot, melawan tatapannya.
"Apa kamu tahu betapa sakitnya aku? Aku serupa remah-remah roti di antara serbuan ribuan semut. Mereka mencari sisi terlemahku, untuk mencabik dan menyeretnya sepanjang jalan. Aku seperti sosok tidak berguna di mata mereka, selain persembahan untuk sang ratu yang siap bertelur, usai mencerna tubuhku."
Aku berusaha melepaskan tangan Tsiefana dari pundak. Sambil membuang muka, aku memalingkan wajah. Bukan aku tidak mencintainya, tapi serombongan semut merah yang bebaris menarik mangsa, buatku muak.
"Hei kemana perginya Joey, si karang pelindung pantai? Bukankah selama ini dia tegar meski sapuan ombak tak henti menghajar? Adakah dia telah runtuh, tergerus angkuh lidah pembunuh?"

Senin, 03 Februari 2014

(re-write) Lintang Lonthar



Kemirih, 21 Februari 1970
            Mbok nawi oleh, isun nyilih picise sulung. Nang omah sing nono beras maning. Kang Karta sing oleh pedamelan. (Mbak, kalau boleh aku pinjam uangnya dulu. Beras di rumah habis. Kang Karta belum dapat kerjaan).” Pinta Karti, adikku sambil menimang-nimang Siti, anak semata wayangnya yang baru berusia 16 bulan.
            Dia tahu semalam aku baru pulang mentas di desa Lemah Bang. Setiap kali pentas, uang saweran yang aku dapat pasti banyak. Semua orang tahu, Onah adalah primadona panggung. Bintang panggung yang selalu menghadirkan keriuhan tersendiri saat dia menari. Ada pameo di penikmat tari Gandrung Sing Onah, sing ono pesona (tiada onah, tiada pesonanya)
            Aku merogoh buntalan kecil di bawah bantal. Kukeluarkan beberapa keping uang yang aku dapatkan semalam. Sambil tersenyum, aku sodorkan uang-uang itu pada adikku yang paling kecil. Sedari kecil dia memang paling aleman terhadapku. Hingga kini pun, saat sudah berkeluarga, dia masih seperti itu.
            Iki, picis isun gawean disik. (Ini, pakailah uangku dulu).”
            Seperti yang sudah-sudah, dia menerima uang itu dengan mata berbinar. Rasa bahagia tergambar di matanya. Sejujurnya dia lebih cantik dariku. Matanya yang bulat, seperti sasadara manjer kawuryan1. Rambutnya yang hitam, ngandan-ngandan2. Gelombangnya yang halus dan rapi seperti riak kecil air laut yang membelai pasir pantai Blimbing sari.  Andai mau, dia bisa jadi bintang pertunjukan sepertiku, bahkan melebihiku. Tapi dia tidak berbakat menari sepertiku, itu kenapa dia tidak tertarik mengikuti jejakku.

Minggu, 02 Februari 2014

Nono Coretan



Krikilan, 17 Desember 2013, 19.30 wib
            “Ibu tidak setuju dengan pilihanmu.”
            “Tapi…”
            “Dia kupu-kupu malam, Ray.” Potong ibu
            “Itu dulu.” Sanggahku.
            “Dulu atau sekarang sama saja. Sekali kupu-kupu malam, tetap seperti itu.”
            “Tidakkah ibu lihat dia sekarang seperti apa. Itu masa lalunya, sekarang dia sudah berubah. Dia sudah menutup kisah itu. Dia Mey Ganesha Prameswari yang baru, Mey seorang aktifis sosial.”
            “Itu tidak berarti di mata ibu.”
            “Ibu, ijinkan Ray menikahinya.”

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...