Sabtu, 08 Februari 2014

Tersudut

http://felinophobia.wordpress.com/category/phobia/
"Tidak. Kamu tidak boleh melakukannya."
Telapak tangannya memegang pundakku. Seperti berusaha menahan nyala lilin yang hampir padam, matanya menghujam pusaran korneaku.
Dia tahu saat ini aku terseret di nadir. Dia tahu aku butuh tongkat kecil untuk menopang langkah yang mulai goyah. Karena itu dia berusaha menjadi penopangku.
"Tidak....?"
Aku melotot, melawan tatapannya.
"Apa kamu tahu betapa sakitnya aku? Aku serupa remah-remah roti di antara serbuan ribuan semut. Mereka mencari sisi terlemahku, untuk mencabik dan menyeretnya sepanjang jalan. Aku seperti sosok tidak berguna di mata mereka, selain persembahan untuk sang ratu yang siap bertelur, usai mencerna tubuhku."
Aku berusaha melepaskan tangan Tsiefana dari pundak. Sambil membuang muka, aku memalingkan wajah. Bukan aku tidak mencintainya, tapi serombongan semut merah yang bebaris menarik mangsa, buatku muak.
"Hei kemana perginya Joey, si karang pelindung pantai? Bukankah selama ini dia tegar meski sapuan ombak tak henti menghajar? Adakah dia telah runtuh, tergerus angkuh lidah pembunuh?"

Senin, 03 Februari 2014

(re-write) Lintang Lonthar



Kemirih, 21 Februari 1970
            Mbok nawi oleh, isun nyilih picise sulung. Nang omah sing nono beras maning. Kang Karta sing oleh pedamelan. (Mbak, kalau boleh aku pinjam uangnya dulu. Beras di rumah habis. Kang Karta belum dapat kerjaan).” Pinta Karti, adikku sambil menimang-nimang Siti, anak semata wayangnya yang baru berusia 16 bulan.
            Dia tahu semalam aku baru pulang mentas di desa Lemah Bang. Setiap kali pentas, uang saweran yang aku dapat pasti banyak. Semua orang tahu, Onah adalah primadona panggung. Bintang panggung yang selalu menghadirkan keriuhan tersendiri saat dia menari. Ada pameo di penikmat tari Gandrung Sing Onah, sing ono pesona (tiada onah, tiada pesonanya)
            Aku merogoh buntalan kecil di bawah bantal. Kukeluarkan beberapa keping uang yang aku dapatkan semalam. Sambil tersenyum, aku sodorkan uang-uang itu pada adikku yang paling kecil. Sedari kecil dia memang paling aleman terhadapku. Hingga kini pun, saat sudah berkeluarga, dia masih seperti itu.
            Iki, picis isun gawean disik. (Ini, pakailah uangku dulu).”
            Seperti yang sudah-sudah, dia menerima uang itu dengan mata berbinar. Rasa bahagia tergambar di matanya. Sejujurnya dia lebih cantik dariku. Matanya yang bulat, seperti sasadara manjer kawuryan1. Rambutnya yang hitam, ngandan-ngandan2. Gelombangnya yang halus dan rapi seperti riak kecil air laut yang membelai pasir pantai Blimbing sari.  Andai mau, dia bisa jadi bintang pertunjukan sepertiku, bahkan melebihiku. Tapi dia tidak berbakat menari sepertiku, itu kenapa dia tidak tertarik mengikuti jejakku.

Minggu, 02 Februari 2014

Nono Coretan



Krikilan, 17 Desember 2013, 19.30 wib
            “Ibu tidak setuju dengan pilihanmu.”
            “Tapi…”
            “Dia kupu-kupu malam, Ray.” Potong ibu
            “Itu dulu.” Sanggahku.
            “Dulu atau sekarang sama saja. Sekali kupu-kupu malam, tetap seperti itu.”
            “Tidakkah ibu lihat dia sekarang seperti apa. Itu masa lalunya, sekarang dia sudah berubah. Dia sudah menutup kisah itu. Dia Mey Ganesha Prameswari yang baru, Mey seorang aktifis sosial.”
            “Itu tidak berarti di mata ibu.”
            “Ibu, ijinkan Ray menikahinya.”

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...