Kamis, 04 Agustus 2011

Segitiga Berdarah

“Dokter, ada seorang pemuda terluka parah di sana” Seorang bapak berjalan tergopoh-gopoh mendekati dokter Fera. Wanita energik yang baru saja lulus dan mendapatkan gelar dokter.

“Dimana, pak?


“Di sana, dokter. Dekat gudang itu” jawab bapak tadi sambil menunjuk ke arah yang di maksud.

“OK, pak. Antar saya ke sana” jawab dokter dengan rasa cemas.

Sesampainya di dekat gudang, di sana ada seorang pemuda dengan luka yang cukup parah. Bajunya terdapat bercak darah yang cukup banyak. Nafasnya tersengal-sengal sambil meringis kesakitan. Dengan cekatan dokter Fera memeriksa kondisi pemuda tadi. Di teliti dengan seksama bagian mana saja yang terluka.

“Nama anda siapa?” tanya dokter Fera

“Ni….Ni…Nito” jawab si pemuda lemah

“Kalau boleh tau anda berasal dari mana?”

Belum sempat pemuda itu menjawab, tiba-tiba badannya melemah dan tidak bergerak. Hanya nafas lemah dan nadinya yang masih kelihatan bergerak.

Dengan cepat dokter Fera menyuruh bapak yang tadi bersamanya untuk memanggil ambulan. Dokter Fera terus mengawasi kondisi Nito sambil sesekali mengirim pesan ke seorang teman di Rumah Sakit di kota itu.

—————

Dokter Fera. Wajahnya manis, perawakannya mungil dan berkulit terang. Tubuhku masih melemah namun hatiku begitu sehat melihat wanita itu begitu baik dan telaten. Aku masih merasakan sakit yang luar biasa pada beberapa bagian tubuhku ini, namun rasa itu seakan sirna jika sosok dokter itu selalu menguatkan hati dengan kata-katanya yang lembut.

Aku rasa ini bukan akibat dari sekian banyak obat yang masuk dalam badanku. Aku rasa benih-benih magnet asmara mulai bersemi, membuka jendela hatiku yang selama ini kututup rapat-rapat.
Sejak putus dengan tunanganku beberapa tahun yang lalu, sulit rasanya memulai rajutan renda cinta, seolah semuanya begitu absurd dan membuatku dingin, sedingin dinding rumah sakit ini.

Entah kenapa, setelah aku dirawat Dokter cantik itu, seberkas cahaya terang menghangatkan semangatku. Dengan tubuh yang masih tak berdaya ini, aku sadar sesadar-sadarnya bahwa diriku mulai tertarik dengan wanita yang kini merawatku. Bukan hanya karena kecantikannya. Bukan. Kata-katanya yang menyejukan, kelembutannya ketika memeriksaku, dan senyumnya yang menawan, mampu mengeyahkan segala rasa perih yang masih menerpa.

————-

Sejak saat itu hubunganku dengan dokter Fera semakin dekat apalagi tempat kerjaku bersebelahan dengan Rumah Sakit tempat dia ditugaskan. Di waktu jam istirahat siang kami sering makan bersama, mengobrol dan bercanda. Aku semakin mengaguminya. Cara pandangnya yang luas beda dengan wanita lain pada umunya. Dan dari obrolan itu aku tahu ternyata kami berasal dari daerah yang sama, tetanggaan kampung malah. Jodoh memang gak akan kemana.

Aku sering mengantarnya pulang sampai di depan pintu pagarnya. Ketika mengantarnya itu aku sering melihat seorang laki laki di rumahnya yang selalu menatap tajam padaku. Ketika kutanyakan pada dokter Fera ternyata laki-laki itu adalah kakaknya.

“Fer, kenapa ya kakakmu keliatannya tak suka denganku?” tanyaku pada Fera di waktu kami tengah menyantap makan siang bersama.

“Ah itu hanya perasaanmu Nito”

Hari itu aku kembali mengantarnya pulang. Ketika Fera hendak masuk, kutarik tangannya lalu ku kecup ringan keningnya. Dia tersenyum simpul. Tatkala aku hendak berlalu, kusaksikan tatapan garang dari kakaknya. Tiba- tiba aku merasa merinding.

Lelah. Kurebahkan badanku di tempat tidur sesampainya di rumah. Mataku terkantuk-kantuk saat kudengar telfon rumah berdering.

“Hallo, siapa ya”

Sebuah suara asing menjawab dengan nada geram

“JAUHI FERA!!! JANGAN LAGI BERHUBUNGAN DENGANNYA!!!”

“Siapa ini??”

“GW INDRA KAKAKNYA! JANGAN LAGI BERHUBUNGAN DENGAN FERA ATAU LO BAKAL NYESEL SEUMUR HIDUP”

“Apa salahku??? kami cuma berteman”

” DIAMMM!!!! HARAM KALIAN MENGINJAK TANAH KAMI. JAUHI FERA ATAU KAMU DAN KELUARGAMU AKAN MENYESALLL!!!”

Aku tak mau berdebat, langsung kututup telfonnya.

Tapi rupanya ancamannya terbukti. Sepanjang malam telfon rumahku berdering, keluargaku ketakutan. Kami seperti diteror seorang psyko. Masih berlanjut, ketika aku bekerja dering ponselku tak berhenti. Terus meneror. Indra juga mengirimi sms bernada mengancam padaku dan kelurgaku.

———-

“Ndra kita harus bisa memisahkan Fera dan Nito.” Tegur Agung

“Off course bro. Gue gak suka sama tu cowok.” Jawab Indra dengan mata nanar memandang gelas bir yang tinggal setengah isinya.

“Kamu tahu kan aku masih cinta Fera. Dah berapa kali aku bilang sama dia bro. Tapi dia gak pernah mau menerimaku lagi. Jangankan menerimaku, mendengar saja ogah.” Desak Agung sambil memainkan sebatang Djie Sam Soe ditangannya.

“Tenang aja bro. Gue yang atur. Pilih kamu atau Nito akan mati ditanganku” jawab Indra.

—————

” Ah Fera, Kenapa kau tak mau mengerti aku. Kenapa kau tak bisa terima cintaku yang besar ini. Tak kau lihatkah aku telah berusaha berubah untuk meraih cintamu lagi. Aku sungguh mencintaimu.” Gumam Agung yang terpaku di balik jendela besar rumah tua tersebut.

“Sepertinya aku sudah harus mulai melupakannya. Aku harus merelakannya untuk Nito. Sudah jelas cinta Fera begitu besar untuknya. Aku hanya masa lalu baginya. Aku harus membantunya untuk meraih bahagianya. Tak boleh aku biarkan Indra melaksanakan niatnya.” Gumam Agung lagi.

Agung bergegas mengambil pulpen dan secarik kertas untuk menuliskan sesuatu. Tak lama kemudian dia telah selesai menulis beberapa kalimat di atas kertas putih tersebut.

————

” Craasssshhh ” Bunyi tusukan senjata tajam itu mengagetkan Nito dan Fera yang sedang duduk di bangku taman alun-alun kota. Mata mereka berdua nanar melihat Indra yang berusaha menusuk Nito dari belakang tapi malah berhasil dihadang tubuh Agung yang segera meregang memegang sebilah Badik yang menembus dada kirinya sampai ke punggung.

Indra yang kaget melihat usahanya digagalkan Agung tak kuasa menahan emosiinya. Ketika tangan kanannya berusaha meraih samurai yang tergantung di punggungnya, untuk kembali menyerang Nito beberapa orang yang melihat kejadian itu berhasil menahan ulah Indra. Mereka menangkap Indra. Sebagian yang lain berusaha menolong Agung yang terjengkang meregang nyawa.

” Maafkan aku Fer. Selama ini telah memprovokasi Indra. Kamu tak pantas mendapatkan manusia terkutuk sepertiku. Berbahagialah kau dengannya. Ma……….aaaaa……..aafff……kaan……aaa…..ku.” Bisik Agung dengan nafas tersengal. Matanya mendelik menahan sakit yang sangat. Tak lama dia terdiam. Tangannya meluruh.

“Aguuuuunnnngggg……..” Jerit Fera histeris.

Bagaimanapun rasa itu tak pernah musnah seluruhnya. Di sana rasa itu masih tersisa. Di sana rasa itu masih berasa. Sehingga rasa sakit itu kembali Fera rasakan seperti 6 bulan yang lalu, saat tahu ternyata Agung seorang junkies. hal yang membuat dia berketatapan hati meninggalkannya.

Mata Fera tertegun. Tak sengaja matanya menatap kertas putih yang menyembul dari saku baju Agung yang telah bermandi darah bercampur tetes airmatanya.

Maaf untuk laku yang terperi
Sisakan setangkup pedih di hati
Maaf untuk sesal yang telah pergi
Hingga hatikupun mati

Tak pantas kuharapmu lagi
Tak pantas bungamu bersemi di hati ini
Karena kan musnah terbunuh dengki
Yang selalu tersemai di hati

Langkah telah kujejaki
Takkan lagi aku sesali
Meski jiwaku kan mati
Namun kutak akan kembali

Genggamlah cintanya
Bahagiamulah obati luka
Biarkan ku pergi dalam lara
Untuk sebuah kesejatian rasa

Agung

Tubuh Fera terguncang. Hampir saja tubuhnya limbung jika tidak bersandar pada Nito. Nito sendiri tertunduk haru. Sosok Agung yang begitu keras berusaha memisahkannya dengan Fera, ternyata kini malah tewas membelanya. Fera terus menangis, sesekali matanya menoleh ke jasad Agung yang mulai membeku, Hatinya pilu. Hatinya sendu. Memory kebersamaan itu kembali mengganggu. Nito terus berusaha menenangkan Fera yang tersandar di bidang dadanya.

————-

Kolaborasi : Fera Nuraini + Granito Ibrahim + Indra Yudhistira + Agung Hariyadi ( No : 227 )
NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...