http://swaranda.blogspot.com/2012/03/hadiah-terindah-dari-allah-taala.html |
Seperti air yang terus mengalir, begitupun dengan alunan langkah
sepatuku, setapak demi setapak langkahnya terus mendekati akhir. Sungguhpun aku
ingin berhenti sesaat, menikmati sejuknya udara di lembah itu ataupun derasnya
hembusan angin di puncak bukit Kintamani. Sungguhpun aku masih ingin bersalaman
dengan sesanak saudara yang datang, tapi langkah ini enggan untuk berhenti.
Langkah ini seperti terus menarikku menuju titian panjang, dua dunia yang
terpisah.
Aku….
Tanggal 16 ramadhan pemuda itu datang lagi padaku.
Seperti pada kedatangannya yang telah lalu, selalu dia bertanya tentang apa
yang dirasanya aneh dari lakuku. Dia selalu protes dengan aktifitasku yang
berlebih. Dan nasehat-nasehatnya tentang ini-itu. Tapi bukan itu yang menyentuh
ulu hatiku. Sebuah tanya di akhir pertemuan itu, “Kenapa saat menjelang subuh,
aku selalu mengitari masjid ini 17 kali?”
Aku tidak ingat lagi bagaimana semua bermula. Yang aku
ingat hanyalah saat aku mengawali ritualku, usiaku sudah menginjak 34 tahun.
Usia dimana harusnya hati ini sudah matang dan mantap hidup dengan 1 istri
serta minimal 1 anak yang menemani hari-hariku, meniti indahnya kebersamaan.
“kemana saja aku selama ini, hingga tersesat dari hakikat hidupku sebagai insan
kamil ciptaan sang Khalik?” Itulah tanya yang mengawali ritualku saat itu.
Sesat? Ya, selama itu kesesatan seperti tongkat di tangan
kananku, menuntun buta hatiku menuju jalan yang semakin kelam. Meski hanya
menyusuri lorong-lorong lokalisasi, meski hanya menikmati sensasi getar dua
bibir bersinggungan mesra ataupun petikan jemari di antara rerumputan liarku,
aku pernah terseret dalamnya. Kaki tiada terjaga untuk selalu meniti jembatan
ke rumah Allah. Mata bukannya menikmati indahnya kalam Illahi, tapi aku gunakan
untuk menikmati jambangan kelam gambar bergerak dan lukisan kusam sepasang
insan tanpa make up. Bibir yang harusnya meresonansikan ayat-ayat suci malah
menyanyikan caci-maki menyakitkan hati. Jemari yang harusnya kugunakan membuka
lembar-lembar kalam suci, malah mengetik status dan komentar tidak sepantasnya.
Tangan yang harusnya tengadah memohon ampunan-Nya, selalu menggenggam
botol-botol minuman haram. Aku memang sesat.
Tujuh belas tahun. Sweet seventeen bagi kebanyakan remaja
masa kini. Titik dimana seorang remaja merasa dirinya selangkah mendekati ranah
dewasa. Titik dimana diri merasa bebas seperti seekor merak yang tiba-tiba bisa
terbang, hingga bisa pergi kemana saja, seperti itulah aku di masa itu. Aku
merasa bebas berbuat apa saja, bebas berekspresi. Di titik itu aku pertama
mengenal cerita detektif berbumbu asmara tanpa ikatan. Di titik itu
ketidakpantasan menjadi tuntunanku. Di titik itulah aku pertama terjerumus.
Tujuh belas seperti angka favorit bagiku. Selama 17 tahun
aku menikmati kepekatan. Aku terus berendam dan membasahi jiwa-raga ini dengan
kesesatan. Bilur-bilurnya meresapi pori-poriku, hingga menembusai relung
hatiku. Bisik setan hanya pertama saja kudengarkan, sesudahnya nalurikulah yang
menuntun langkah ini. Ajaran dan teguran yang Allah kirim melalui sahabat serta
kesialan yang menimpa, hanya datangkan serapah. Semua seperti indah dalam
balutan kesesatan dan sensasi pujian sejawat, meski hanya sesaat.
Tujuh belas seperti Allah ciptakan untuk menjadi
pengingatku. Rentang tujuh belas tahun kedua akhirnya tersibak. Tujuh belas
tahun ketiga, buka semuanya. Tanpa sengaja aku mendengar kutbah jum’at. Ya,
meski terkungkung kesesatan, sholat jum’at masih aku lakukan. Meski tidak
rutin, aku selalu melaksanakannya. Saat itu, jum’at ketiga bulan rajab dan
tepat di tanggal 17 aku mendengar khutbah tentang orang-orang yang merugi. Surat
Al-Ashr membuatku menangis, hati ini seperti teriris menyadari begitu banyaknya
waktu yang terbuang. Ya aku membuang waktuku.
Seperti sebuah bola yang kembali membentur punggung
sepatu seorang striker, aku tersadar. Titik itu seperti tugu nol kilometerku
yang baru. Setitik demi setitik aku melaju menuju gawang, memperbaiki arah yang
selama ini tiada menentu. Deras hembusan angin, kuatnya kaki yang berusaha
menahan, ataupun terkaman jemari sang kiper tak mempu menahanku. Gawang adalah
tujuanku berikutnya, memperbaiki hidup yang terlanjur berantakan. Bloking kaki
pemain lawan dan juga terkaman jemari sang penjaga gawang, seperti godaan setan
yang ingin menahan lajuku.
“Tujuh belas kali aku mengitari masjid, itu hanyalah
ritual.” Jawabku kala itu.
Dia masih penasaran. Cecar tanyanya seperti muntahan
peluru senapan serbu, saat aku tak jua menjawabnya. Tanyanya terus menyapaku
tiada berhenti, hingga jawabku buat dahaga hatinya terpuaskan.
“Tujuh belas adalah jumlah rakaat shalat fardhu dalam
sehari. Tujuh belas, tanggal dimana Ayat pertama Al-Qur’an turun. Tujuh belas
adalah gabungan angka 1 dan 7. Saat kita tawaf, tujuh kali kita berputar
melawan arah jarum jam, dengan 1 titik sebagai pusat putaran kita. Titik itu
adalah Ka’bah. Itu alasan kenapa aku selalu beritual mengitari masjid 17 kali
menjelang subuh, berolahraga sekaligus mengingatkan diri tentang semangat angka
17 itu.” Lanjutku kala itu.
Dia terdiam. Kerut dahinya, gambaran kerasnya usaha dia
mencerna kalimat-kalimat yang baru didengar. Di usia yang ke-27, dia terlihat
dewasa. Garis wajahnya kokoh seperti Ayahnya yang telah tiada 18 tahun lalu.
Sorot matanya, seperti tatap mata gadis Baliku dulu, tajam menghunjam hati ini.
“Aku rindu kau gadis Baliku” lembut suara mengalir dari
bibirku kala itu.
Matanya menatapku lagi. Ada raut sedih tergambar di
wajahnya. Dia tahu kisah gadis Baliku. Dia tahu sosok yang selama ini kupuja.
Dia tahu seperti apa rupanya meski tiada pernah bertatap muka. Gambaran yang
terukir di ingatannya sekuat ingatan di kepalaku ini, karena aku selalu mengukirkan
kisah itu di padaanya. Dia tahu seperti apa cinta yang selalu kupujakan, hingga
tiada lagi sosok wanita penggantinya di sisa hidupku.
“Nak!... Andai bisa, aku ingin memanjangkan waktu subuhku
esok. Aku ingin bersujud selama mungkin. Aku ingin memohon ampunan atas malam
yang selalu aku sia-siakan. Aku ingin haturkan rasa terima kasihku untuk-Nya
atas semua yang dia beri, terutama gadis Baliku yang terindah. Dialah anugerah
terindah setelah nikmat Iman yang Allah beri, bersamanya aku selalu berusaha
untuk lebih baik, bersamanya aku merasakan kesempurnaan hidup.”
_ _ _
Aroma stanggi dan melati kembali mewangi, menyapa
bulu-bulu halus penciumanku. Di ujung sana, sosok gadis Baliku bersimpuh.
Kerudung biru kesukaannya anggun menutupi kepala. Lembut suara dzikir dan
tahmid mengalun, merindingkan bulu romaku.
“Aku rindu…”
Ingatanku kembali, kenangan awal jumpa itu masih
membekas. Saat itu, 17 agustus aku melihatnya di Pura Agung Uluwatu. Matanya
terpejam. Bibirnya yang merekah terus bergetar, memuja mantrakan syukur pada Sang
Pencipta. Sebuah dupa menyala terapit jemarinya yang melentik. Setangkai melati
putih indah menghiasi daun telinganya. Aku terpukau dibuatnya. Kebaya putihnya
erat melekat di tubuhnya.
Lama
kulelap
Pada wanginya masih tersesap
Lupa langkah tak boleh mengendap
Pada cerita tak lagi bersayap
Lama kuterlupa
Dupa dewata hilir mudik bersama puja
Agungkan asa tiada terpatah
Walau kaki terrantai lelah
Pada wanginya masih tersesap
Lupa langkah tak boleh mengendap
Pada cerita tak lagi bersayap
Lama kuterlupa
Dupa dewata hilir mudik bersama puja
Agungkan asa tiada terpatah
Walau kaki terrantai lelah
Kini....
Serinai tatap berseri datangi lagi
Bidadari sunyi tautan imaji
Serongga rasa yang tersisa di hati
Berharap takdir suci tautan abadi
“Syair rinduku kembali bernyanyi.” Gumamku pelan. Puisi
yang kucipta untuknya masih terpatri di hati.
Aku
tersadar dari lelapku yang sejenak, lamat suara adzan subuh datang menyapa,
sadarkan aku untuk segera melangkah, tinggalkan mimpi yang baru saja berlalu.
Tertatih langkah serasa semakin berat, seperti kedua kaki ini terikat. Siluet
wajah gadis Baliku menebal dalam benak, dendangkan rinduku yang memekat.
Tubuh
ini lelah sekali. Tiada biasa aku tertidur lagi. Delapan rakaat di ujung malam
ditambah 3 witir adalah kenikmatan yang selalu kunanti. Bermunajat dan
mendekatkan diri, memohon ampunan atas khilaf diri. Tujuh belas anak sungai
yang bermuara di lima telaga, serasa masih kurang untukku mensucikan diri. Aku ingin
berkumur, mengusap mata dan seluruh tubuh ini dengan dua puluh tujuh sumber air
di kaki bukit itu.
“Ya Allah, jika langkah semakin dekat, ijinkan aku untuk
tidak kembali tersesat. Jadikan akhir langkahku suatu yang manfaat.”
_ _ _
https://sphotos-b-ord.xx.fbcdn.net/hphotos-ash3/p480x480/599591_549278511802411_724642816_n.jpg |
Matahari perlahan memanjat naik. Sinarnya sesekali tersembunyi di balik mega. Udara yang bergerak perlahan sejuk menyapa ratusan jama’ah yang datang menghantarkannya ke peristirahatan panjangnya. Prosesi pemakaman baru saja usai. Satu persatu pelayat yang menghantar kepergian sosok sepuh itu berlalu, meninggalkan gundukan tanah merah bermandi bunga dan siraman air do’a.
“Raffa… Arya, kakekmu adalah sosok yang baik. Beliau
meninggalkan kita dalam keadaan terbaik. Beliau meninggal saat sujud terakhir
di waktu berjamaah subuh. Di usianya ke-89, beliau jarang sakit, selain flu
ringan. Jika mengingat siapa beliau dulu, aku merasa iri dengan yang beliau
dapatkan. Kematian yang mulia di mata-Nya. Tabahkan hatimu. Do’akan kakekmu,
agar dosa-dosanya diampuni, dilapangkan makamnya dan dijauhkan dari siksa
kubur.” Ustadz Azhar Abu Ghifari memegang pundak Raffael Hariyadi.
“Sesudah jamaah Isya’ semalam, Kakekmu menitipkan ini
padaku. Beliau memintaku menyerahkan ini.” Ustadz Azhar menyerahkan amplop biru
pada Raffael.
Raffael memandang amplop biru, matanya berkaca-kaca.
Ingatannya kembali mengalir pada sosok sang nenek. Sosok yang hanya dia tahu
dari foto-foto yang tersisa. Setiap kali berfoto bersama kakeknya, wanita
berdarah Bali itu selalu berkerudung biru. Kerudung yang kemarin dilihatnya di
tangan sang kakek, saat dia menanyakan makna ritual yang biasa dia lakukan
menjelang subuh.
“Kamipun kehilangan sosok beliau. Ritualnya di pagi buta,
awalnya seperti sebuah kesia-siaan tapi membuat masjid tetap terjaga. Bahkan di
usianya yang tidak muda lagi, beliau masih ingat detail sudutnya, bagian mana
yang perlu perhatian dan perbaikan segera. Masjid seperti rumahnya, 24 jam
selalu bersih terjaga. Berbanggalah, seperti kami bangga mendapat tauladan
darinya.”
Denpasar. 28 Agustus
2013
Agung Masopu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar