Saat aku menayangkan fotoku bersama seorang gadis ABG di pic profileku (11/1/2011 lalu), beberapa japri menanyakan maksud dari tanda kutip dalam pengantarnya. Well, ABG ini adalah anakku yang tak terlahir dari rahimku. 17 tahun lalu, mantan pembantuku yang sudah keluar karena menikah datang ke rumah kami bersama suaminya seraya membawa seorang bayi merah yang baru saja dilahirkannya. Sekeluarnya dari tempat bidan itu, mereka sudah habis-habisan dan tak punya dana lagi tuk melanjutkan hidup. Akhirnya ibuku menampung bahkan meletakkan si bayi dalam kamar tidurnya bersama si ibu.
me and my lovely daughter
me and my lovely
Perlahan sang bapak berikhtiar mengais rejeki dan akhirnya diterima menjadi pelatih renang di suatu international school berbasis keagamaan (Katolik), mereka bisa menyewa kamar tapi saat itu kami sudah terlanjur sayang dengan si bocah dan meminta supaya si bocah tetap tinggal di rumah kami, tiap Sabtu-Minggu disepakati sebagai hari si bocah tinggal bersama orangtua kandungnya. Tahun berganti dan saat akan masuk SD, ibuku meninggal - kami berembuk mengenai kepengurusan si bocah. Adik-adikku cuman mau dukung secara financial tapi mereka keberatan untuk ngurus anak itu dengan alasan bisa Pastur (Pasaran Turun), akhirnya aku memutuskan untuk mengurus si bocah bak anak sendiri.
Mencari Tuhan di Usia Dini:
koleksi: Iwan Satya Kamah
koleksi: Iwan Satya Kamah
Ada perjalanan panjang mencari Tuhan yang dialami si bocah dalam usia dini. Orangtua si bocah non muslim - ibunya katolik, bapaknya protestan, nah keluargaku sendiri muslim. Maka urusan agama dari si bocah selalu menjadi issue yang sensitif. Karena terlahir dari keluarga non muslim maka setiap periode si bocah memasuki sekolah (SD, SMP dan SMK) biasanya saat pendaftaran itu aku membiarkan ayah kandungnya yang mengurus administrasi pendaftaran walaupun aku yang melakukan perburuan sekolah serta menyediakan dana pendidikan.
Di SD tercantum dalam data diri si bocah- agama: kristen. Waktu terus berlalu dan sebenarnya karena sekolahnya adalah SD Negeri maka tidak ada pengajar agama kristen, so bagi non muslim dimintakan nilai dari sekolah minggu mereka untuk pengisian raport. Tiap Sabtu dan Minggu bocah pulang ke rumah ortu kandungnya tapi ternyata dia tidak pernah ke sekolah minggu karena ortunya rada cuek juga.
Waktu berlalu dan hal itu tampaknya hal ini tidak menjadi masalah hingga dia duduk di kelas 6 SD dan mendapat guru agama baru di sekolah. Pak guru ini tidak tinggal diam akan status quo agama bocah dan dia dengan kesadaran penuh menyarankan si bocah untuk belajar agama islam dengan alasan seorang anak harus punya fondasi agama yang kuat supaya bisa membentengi dirinya dari pengaruh-pengaruh negatif, ke depannya opsi agama merupakan hak dasarnya sebagai manusia.
Si bocah setuju dan mulailah dia belajar agama islam dimana dia khusus mendapat jam tambahan, kepala sekolah yang dulunya juga merupakan guruku waktu SD menelpon dan mengucapkan selamat, “si bocah sudah jadi mualaf.” Kaget dengan proses ini tapi seharusnya tak terlalu kaget karena ini adalah jawab atas tanya dan doa yang kupanjatnya di muka Kabah saat Umroh lalu.
Masuk SMP lagi-lagi bapaknya yang aku minta mengurus administrasi pendaftaran sehingga di formulir tetap tercantum kristen sebagai agama si bocah. Pas mau terima raport, sekolah memasuki era komputerisasi sehingga ada pembaruan data dan si bocah merubah agamanya menjadi islam. Begitu terima raport di mana aku minta bapaknya yang mengambil - langsung kaget dia melihat agama si bocah dan di rumah langsung di tipp-ex dan diganti menjadi kristen.
Di lain pihak si bapak mulai ditegur teman-teman kantornya di sebuah sekolah katolik - kesannya si bapak itu sudah melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah mana agama si bocah jadi islam pula. Akhirnya si bocah diminta kembali oleh orangtuanya itupun dengan marah-marah.
Perpisahan itu sangat menyakitkan bagiku. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan aku selalu meneteskan airmata, sajadah menjadi basah oleh airmataku tiap sholat. Semua orang di rumah sampai khawatir dan karena enggak enak hati maka akhirnya jadilah mobil menjadi “kuil” tempat menangis bombay. Nah kalau dah di mobil itu aku bisa lho sambil nyetir nangis bombay kalau perlu jerit-jerit, tapi akhirnya kebiasaan itu berhenti juga.
Suatu saat karena pandangan mata tertutup air mata menyebabkan aku menyerempet sebuah mobil hingga somplak. Kami sama-sama menepi di pinggir jalan untuk penyelesaian dan dari mobil itu keluar tiga pria muda tegap dan salah satunya bahkan membawa tongkat baseball. Saat ketemu itu kelihatannya mereka gak jadi marah malah iba melihat tampangku yang sembab dengan mata masih sedikit berair dan hidung merah, bahkan menawarkan mengantarkan aku pulang. Tentu saja dengan halus aku menolaknya, kutawarkan uang pengganti - tetap mereka menolak dan berkeras mengantarku pulang -dengan segala cara aku menolak tawaran itu. Dan sejak itu aku berhenti menangis di belakang kemudi.
Suatu hari kulihat ada ojek melintasi depan rumah dan si bocah ada digoncengan. Tak lama kemudian ojek itu melintasi lagi sehingga kuberhentikan. Si Bocah turun dan berlari memelukku, rupanya dia sering melakukan kebiasaan berojek mengelilingi rumah jika rindu. Kelihatan kurus dia bercerita bahwa di rumahnya mereka hidup prihatin - nasi selalu ada tapi lauk belum tentu. Ongkos sehari-hari juga seadanya sehingga sempat pada periode itu dia menjadi preman yang memalaki adik-adik kelasnya. Akhirnya kuminta seminggu sekali dia ke rumah untuk mengambil uang sakunya - ternyata uang sakunyapun masih diminta bapaknya untuk mengisi bensin dan berbagi ongkos dengan adiknya.
Sampai suatu hari adikku mengabarkan kalau si bocah kecelakaan hingga terlempar ke kolong suatu mobil. Aku makin khawatir waktu mendengar dia menjerit-jerit karena kakinya tidak bisa digerakkan. Beruntung suster langsung mengambil tindakan dan setelah tarik sana tarik sini, kakinya kembali normal. Momen itu menjadi turning point bagi kami semua, si Bocah dengan keputusan sendiri minta izin ke orangtuanya untuk kembali ke rumah kami dan dia juga meminta izin untuk memeluk agama islam.
Akhirnya kedua orangtuanya mengizinkan dia kembali dan merelakan pilihan agamanya. Sempat kutanya alasannya memilih islam dan dia dengan sederhana cuman menjawab, “Gak tau kenapa tapi kalau sholat kok sering meneteskan airmata.” Dan begitulah hidup kembali berjalan - kelihatannya si Bocah sudah melupakan semua itu dan sibuk dengan dunia ke ABGannya.
Note : catatan Daveena yang diShare di KOMPASIANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar