Rabu, 05 Januari 2011

Minoritas dalam minoritas: Kehidupan muallaf Inggris

Kesan yang saya dapat ketika membaca pemberitaan media massa Inggris tentang para muallaf di negara ini, seringkali negatif.

Berita koran Inggris tentang pemeluk agama Islam yang baru ini, acapkali mengkaitkan mereka dengan terorisme atau sikap ekstrim.

Contohnya adalah Germaine Lindsay yang terlibat dalam pemboman kereta api bawah tanah London pada tahun 2005.

Contoh lainnya adalah Richard Reid yang gagal meledakkan pesawat terbang dengan bom yang dia pasang di sepatunya.

Ternyata kesan pribadi sayaini sesuai dengan hasil sebuah penelitian baru.

Enam puluh dua persen berita koran Inggris tentang para pemeluk Islam baru ini, mengkaitkan mereka dengan terorisme, sedangkan 14 persen lagi mengkaitkan mereka dengan Islam fundamentalis atau ekstrim.

Angka itu terdapat dalam sebuah penelitian berjudul A Minority Within A Minority: A Report on Converts to Islam in the United Kingdom oleh sebuah lembaga nirlaba Inggris bernama Faith Matters, sebuah organisasi yang bekerjasama dengan masjid-masjid di negara ini untuk mengurangi sikap ekstrim dan memperbaiki hubungan antar ummat beragama.

Temuan survei Faith Matters ini memberi gambaran yang sangat berbeda dengan citra muallaf teroris seperti yang kerap ditulis dalam media massa Inggris.

Survei ini menurut Direktur Faith Matters, Fiyaz Mughal, menunjukkan bahwa para muallaf Inggris ini bukan musuh dalam selimut dan justru bisa berperan dalam memperkuat hubungan antar komunitas di Inggris.

Belenggu budaya

Lebih lanjut Mughal mengatakan para muallaf ini bisa berperan dalam menjalankan hakikat ajaran Islam tanpa terbebani oleh muatan-muatan budaya Timur Tengah atau Asia Selatan seperti yang sering mewarnai kehidupan orang-orang Inggris keturunan imigran yang lahir sebagai Muslim.

Ini karena mereka merasa mempunyai identitas ganda sebagai orang Inggris asli sekaligus sebagai Muslim.

Dalam survei itu para responden mengatakan mereka bisa menjadi jembatan antara kedua komunitas karena mereka memahami sudut pandang kedua pihak.

Selain itu Faith Matters mengatakan para muallaf Inggris ini tidak terbelenggu oleh praktik-praktik budaya yang di Inggris secara salah kaprah disebut sebagai ajaran Islam, seperti sunat wanita, kawin paksa dan penindasan perempuan.

Penulis laporan ini juga seorang muallaf bernama Muhammad Arifin Kevin Brice yang menikah dengan seorang wanita Muslim.

Penelitian Faith Matters ini dipuji oleh harian The Times sebagai yang terlengkap mengenai kehidupan orang-orang Inggris yang masuk Islam.

Di lain pihak, laporan ini juga menggambarkan kesulitan mereka menjalani kehidupan sebagai Muslim baru.

Dibiarkan sendiri

Secara khusus laporan ini mengkritik masjid-masjid di Inggris yang tidak mampu membimbing para muallaf, padahal mereka seringkali juga diasingkan oleh keluarga karena pindah agama, paling tidak pada masa-masa awal hidup baru mereka.

Oleh karena itu para muallaf ini biasanya harus berpaling ke buku, informasi di internet atau teman sepergaulan.

Saya tidak menyangka bahwa begitu banyak orang Inggris yang masuk Islam.

Dalam sepuluh tahun terakhir ini saja, 61 ribu warga Inggris masuk Islam. Yang menarik lagi bagi saya, usia rata-rata para muallaf ini masih muda, 27 tahun.

Jumlah total para muallaf Inggris menurut survei ini adalah 100.000 jiwa.

Jumlah yang lumayan besar mengingat Inggris Raya pada dasarnya bukan negara yang penduduknya relijius.

Menurut sensus tahun 2001, 72 persen penduduk Inggris Raya beragama Kristen, sedangkan tiga persen beragama Islam.

Ini berarti orang Islam merupakan kelompok agama terbesar di Inggris setelah pemeluk Kristen.

Sebetulnya kelompok masyarakat terbesar kedua adalah mereka yang tidak mempunyai agama atau tidak mau menyebut agamanya, jumlah mereka 23 persen dari populasi Inggris.

Di luar angka-angka itu, penelitian ini tidak menemukan bukti bahwa sebagian besar orang Inggris masuk Islam karena pernikahan.

Dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam survei ini, tergambar alasan mengapa banyak orang Inggris masuk Islam.

Alasan yang terungkap antara lain mereka tidak suka dengan beberapa aspek kehidupan sosial di Inggris seperti mabuk-mabukan, moralitas seksual yang longgar dan konsumerisme yang berlebihan.

Fenomena baru

Sejarah keberadaan orang Islam di Inggris sudah berusia berabad-abad, tetapi kehadiran komunitas Muslim dalam jumlah besar di Inggris baru terjadi setelah tahun 1950an ketika puluhan ribu orang dari Asia Selatan pindah ke Inggris.

Oleh karena itu fenomena orang Inggris yang masuk Islam dalam jumlah besar merupakan gejala yang relatif baru.

Salah seorang warga Inggris yang pertama tercatat masuk Islam adalah William Quilliam yang kemudian mengubah namanya menjadi Abdullah Quilliam.

Dia adalah seorang pengacara yanng pada tahun 1887 masuk Islam, dan kemudian mendirikan masjid pertama di Liverpool.

Abdullah Quilliam berusaha menciptakan identitas keislaman yang berakar kepada kebudayaan Inggris antara lain dengan menggubah lagu-lagu rakyat dari Inggris dengan syair-syair keislaman.

Hasil penelitian Faith Matters menyebutkan hanya 12 persen muallaf Inggris yang secara resmi mengubah nama mereka, walaupun lebih 50 persen dari mereka juga memakai nama Islam dalam pergaulan sesama Muslim.

Salah seorang tokoh Islam terkemuka Inggris yang mempunyai dua identitas ini adalah Tim Winter, seorang akademisi di Universitas Cambridge.

Sesekali saya mendengar renungannya dalam rubrik radio domestik BBC berjudul Thought for The Day. Dalam kapasitasnya sebagai cendekiawan Islam, dia dikenal dengan nama Abdul-Hakim Murad.

Terus terang sulit bagi saya untuk menilai kehebatan Sheikh Abdul-Hakim dari renungan radio selama tiga menit, baru setelah membaca tulisan-tulisannya saya terkagum-kagum.

Koran Inggris The Independent menyebut Tim Winter sebagai orang Islam paling berpengaruh di Inggris Raya.

Dalam wawancara dengan koran itu sang Sheikh mengatakan sebagai remaja dia terpukau akan kecantikan seorang gadis Yahudi Prancis yang sedang bermain air di pantai dalam keadaan telanjang sambil menggigit buah pear.

Sari buah pear yang menetes di dagu sang gadis membuat Tim Winter muda tersihir oleh keindahan yang baginya bersifat spiritual dan akhirnya bermuara pada keputusannya untuk menjadi seorang Muslim.

Tentu cerita kebangkitan spiritual yang bermula dari memandang seorang gadis cantik yang mandi di pantai tanpa penutup tubuh, merupakan hal yang langka.

Tetapi saya kira orang semacam Tim Winter inilah, yang oleh masyarakat Inggris secara keseluruhan dan masyarakat Islam Inggris khususnya, ingin dilihat sebagai representasi kaum Muslim Inggris.

Seseorang yang merasa nyaman sebagai orang Inggris maupun sebagai orang Islam, bukan seseorang yang merasa bahwa dua identitas itu bertentangan.
dinukil dari bbc.co.uk/indonesia/
http://www.bbc.co.uk/blogs/indonesia/london/2010/12/minoritas-dalam-minoritas-kehi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...