Sabtu, 02 April 2011

Saya Belajar dari Keluargaku dan Sekitarku

Tiada terasa sudah hampir 6 bulan saya bergabung dan belajar dari kompasiana ini. Dan selama kurun waktu tersebut, begitu banyak pelajaran yang saya petik dan dapatkan dari sini. Jika sebelum gabung di kompasiana saya banyak berinteraksi dengan buku, hingga tak heran julukan kutu buku melekat erat di diriku. Semenjak kenal kompasiana, saya juga belajar dari tulisan teman teman di kompasiana ini.
Di kompasiana ini begitu banyak teman dengan berbagai karakter. Mulai dari yang sedingin salju di puncak Cartens sampai semendidih air di atas tungku. Begitu banyak penulis hebat yang saya temui. Mereka yang seringkali saya serap ilmunya AL; Om Jay dengan tulisannya yang sangat inspiratif. Pak Bain Saptaman dengan tulisan satirenya yang selalu mengena dengan situasi terkini. Brother Herry FK dengan imaji kenthirnya yang seringkali berisi nasehat berkelas. Mbak Arya NingTyas dengan tulisannya yang penuh kehalusan budi dan menyejukkan. Loganue Saputra dan Herlya An-nisa yang kuat dalam imajinasinya. Serta kompasioner hebat lainnya sekelas mas Kimi Raiko, Om Gusti BOb, daeng Andi Harianto serta banyak lagi yang tak mampu saya sebutkan semuanya.
Sebelumnya, selain belajar dari buku yang saya baca saya seringkali belajar dari pengalaman pribadi saya, dari pengalaman teman dan juga dari hasil diskusi di warung kopi pinggir jalan dengan penerangan sangat super minim. Dari diskusi itu ada banyak hal yang saya petik dan pelajari serta seringkali mempengaruhi pola pikir saya. Itulah kenapa saya dalam beberapa kesempatan secara jujur mengakui, jika apa yang saya ungkapkan adalah hasil kutip sana kutip sini dari diskusi yang kadang saya lupa siapa pencetusnya dan dari mana mereka mendapatkan pola pikir itu. Sejauh itu positif, saya akan pakai pegangan.
Tapi sebenarnya yang paling mempengaruhi pola pikir saya adalah tantangan yang pernah ibu lontarkan sesaat sebelum saya pergi melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain. Saat itu dalam beberapa kesempatan ibu selalu melontarkan kalimat ‘” Kenapa diantara ke-4 anak saya gak ada yang memiliki kemiripan sikap dengan ibunya yang penyabar ini? ” Pernyataan itu terus terngiang di benak saya dan menghantui langkah kaki saya menyusuri jalanan hidup saya. Dari satu kota ke kota lain, saya terus berusaha belajar meneladani sikap ibu.
Terus terang ibu saya hanyalah seorang wanita desa biasa dengan pendidikan ala kadarnya. Namun di balik keterbatasannya di sekolah formal, ada suatu kelapangan hati yang tak pernah saya temukan di dalam diri orang lain. Ya meski hanya wanita desa biasa yang banyak mengabdikan hidupnya dengan bekerja di sebuah yayasan sosial di seputar lokasi saya tinggal, ibu ternyata punya kelapangan hati yang sangat luas dan kesabaran yang sangat tinggi. Padahal sejak 15 tahun yang lalu beliau digerogoti penyakit hypertensi yang akut. Tekanan darah beliau bisa dibilang normal jika di kisaran 170-180. Tapi penyakit itu tak mampu membunuh sifat sabar ibu.
Hal ini terbukti beberapa tahun yang lalu. Waktu itu menjelang keberangkatan saya ke Bogor. Beberapa minggu sebelum hari H ada kabar kurang sedap yang menghampiri saya lewat ibu. Saya mendapati fitnah menghampiri saya. Ada tuduhan jika saya bersama teman-teman sepermainan saya terlibat kasus pencurian untuk melakukan pesta minum-minuman beralkohol. Tuduhan ini bukan dari orang lain, tapi dari kerabat dekat saya sendiri yang kebetulan hanya melihat saya beberapa kali nongkrong sama teman-teman, tanpa pernah ikut gabungan.
Mendengar hal itu, ibu bukannya marah atau langsung menanyakan hal tersebut kepada saya. Beliau hanya mendengarkan cerita tersebut, seakan beliau tidak sedang mendengarkan cerita tentang anaknya yang  dijelek-jelekkan. Entah bagaimana cara beliau selidiki kebiasaan saya setiap keluyuran malam tuk mencari fakta kebenaran atas semua berita tersebut.
Saat fitnah tersebut telah mereda dan ibu telah memiliki banyak bukti tentang saya, beliau mengajak saya ngobrol berdua dan bercerita tentang hal tersebut. Tapi sebelumnya ibu mewanti-wanti saya untuk tidak marah dan dendam terhadap si penyebar fitnah tersebut. Setelah saya berjanji, beliau baru mau bercerita tentang fitnah tersebut dan beliau tetap menaruh kepercayaan penuh terhadap saya sampai hari ini.
Dari situ saya belajar bagaimana menghadapi isu yang berkembang. Bagaimana dengan hati yang membara, saya harus tetap berkepala dingin dalam menghadapi masalah. Meski nyatanya sampai hari ini saya belum bisa mengikuti sikap ibu sedikitpun, tapi saya akan terus berusaha meniru sikap sabar dan dingin ibu menangani masalah.
Beruntung saat saya menetap di Bogor, saya diberi kesempatan belajar  menyikapi hidup ala adik sepupu bapak saya. Beliau yang tahu saya anaknya agak sro’ol ( Istilah orang madura untuk orang yang grusa-grusu dalam bersikap ), mencoba mengerem laju sikap saya tersebut dengan menjadikan saya front man di usaha yang beliau rintis. Ya saya jadi humas, tekhnisi sound, kasir dan juga sebagai pembuat minuman di resto tersebut. Bisa dibilang hampir semua kerjaan di sana harus bisa saya tangani, kecuali sebagai koki tentunya.
Dari semua tugas yang saya emban, yang paling mempengaruhi kedewasaan saya adalah saat harus menghadapi komplain konsumen yang memiliki aneka karakteristik dengan kepala harus tetap dingin. Bayangkan hanya seorang anak SMA harus menghadapi konsumen yang rata-rata bergelar sarjana.   Salah bicara yang ada akan merusak nama baik restoran yang baru dirintis tersebut.
Kekhawatiran tersebut ternyata bukan hanya hidup dalam bayangan saya. Berkali-kali saya harus menghadapi komplain dari konsumen yang beraneka ragam. Dari para peneliti yang ada di sekitar resto sewaktu masih berlokasi di sekitaran BALITRO Bogor, dari para petinggi perusahaan yang mengadakan acara, dari para birokrat pemerintah bahkan petinggi kepolisian dan ABRI.Saya benar-benar nervous. Beruntung paman selalu memberi nasehat dan masukan serta semangat kepada keponakannya yang masih hijau dan lugu ini.
Seringkali paman mengajak saya diskusi untuk membahas masalah yang saya hadapi. Membahas komplain konsumen terutama yang disampaikan langsung kepadanya. Beliau selalu mengajari saya untuk menilai dan memutuskan masalah seolah saya sedang tidak terlibat masalah tersbut.
Di suatu diskusi kecil, beliau berkata ” Gung kamu sebagai front man harus bisa menilai sesuatu seolah-olah kamu bukan orang yang terlibat masalah. Lihatlah suatu masalah dari berbagai sisi, jangan hanya dari satu sisi. Seperti kita melihat benda yang memiliki bentuk tak beraturan. Jika kita melihat dari satu sisi, pasti pandangan kita kan berbeda dengan yang melihat dari sisi kiri, kanan ataupun atas. Seperti itulah dalam menghadapi masalah, jangan kau seperti memandang sebuah koin yang hanya bisa kamu lihat dari dua sisi. Yakni sisimu dan sisi orang yang berseberangan. Lihatlah dari sisi orang lainnya yang tidak terlibat, pastinya kan kamu temui pandangan berbeda yang bisa lebih obyektif menilai masalah tersebut.”
Seringkali beliau dengan sengaja menguji saya untuk menghadapi tetamu yang super cerewet. Beliau terus mengasah rasa sabar saya dengan menghadapkan saya dengan manusia super cerewet, super bawel dan juga super menyebalkan.  Bahkan tak jarang setiap ingin bertemu dengan koleganya, beliau datang agak terlambat, agar saya mau menemani ngobrol para koleganya tersebut. Hal ini mau tak mau membuat saya harus santai menghadapinya.Untuk mengetahui profil waroeng keboen cempaka tantri silahkan dapat klik, klik.  lokasi klik. Grupnya di FB klik ini
Saat di Bogor, saya juga berkumpul sama adik dan kakak saya. Sedangkan Ibu-Bapak masih di kampung halaman di Banyuwangi. Saat itu secara gak langsung saya harus sering menjadi penengah untuk adik dan kakak saya serta adik sepupu saya jika lagi ada masalah. Saya sendiri juga heran, karena diantara 4 bersaudara, saya adalah yang paling kaku dalam bersikap. Namun selalu saja mereka minta masukan saya jika bermasalah terutama adik dan pacarnya.
Yang jelas sampai saat ini saya sedang belajar. Baik itu dari alam sekitar saya, dari diskusi teman-teman di kompasiana. Baik yang serius, maupun yang kenthir. Yang jelas saya terus belajar. Bukan lagi dari tumpukan buku seperti yang dulu saya lakukan, tapi juga dari sekitar saya. Semoga saya selalu terus belajar menghadapi dinamika hidup saya. Asam, Asin ataupun manis, pasti ada hikmah yang selalu dapat saya petik.
Salam Kompasiana
———–
————–
Denpasar, 02042011.0341
Masopu
Note : Maaf tuk teman2 yang tidak sempat saya sebutkan di sini, kalian tetap guru dan tempat saya menimba ilmu
  • Tulisan ini saya persembahkan untuk ibu saya yang telah mengandung dan  membesarkan saya, mengajari saya hidup, dan bagaimana menyikapi hidup. Untuk bapak dengan bekal pengetahuan yang saya dapatkan dan semua guru saya tentunya.
  • Untuk paman saya dan keluarganya, adik, kakak dan kerabat saya di Bogor, teman-teman di restoran Waroeng keboen Cempaka Tantri Bogor di jalan padjajaran no.57 beserta pelangganya.
  • Semua kompasioner yang pernah berinteraksi dengan saya di sini dan juga teman-teman di alam nyata. GOD BLESS YOU ALL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...