http://zentangle.blogspot.com/2010/03/paradox-q.html |
Bogor, 09 September 2013
Aku bergidik, sejak mengenalmu, baru kali ini kamu menatapku dengan begitu tajamnya. Sorot matamu yang setengah melotot seperti bilah-bilah anak panah Sri Krisna yang mencoba mengoyak tubuh lawannya di
padang Kurusetra. Sorot itu
menciutkan hatiku
yang tidak pernah takut menghadapi marabahaya. Investigasiku dalam beberapa kasus kerusuhan, pembunuhan berantai dan
kasus pelik lainnya, sukses aku taklukkan. Semua karena dukungan moril darimu. Tapi entah kenapa kini kau tidak setuju dengan rencanaku untuk menyelidiki
kasus kecelekaan Lancer EX yang terjadi dinihari kemarin? Padahal kasus itu
nilai jualnya sangat
tinggi di mata awak media sepertiku.
"Sadarkahh kau? Selama ini dirimu seperti
ilalang di savana. Jangankan hembusan angin ribut, sepoi angin yang lembut membelai tubuhmu saja sudah
cukup membuatmu berisik?" Katamu pelan, seakan tanpa semangat. Kau berkata tanpa
kebanggaan seperti yang selama ini selalu kau tiupkan tentang profesiku.
Biasanya kau orang pertama yang berdiri menyemangatiku saat gelisah seperti
ini. Tapi kini, entah kenapa kau berubah. Kau seperti orang lain di mataku.
"Maksudmu apa?" Aku kebingungan melihatmu
bersikap seperti itu.
"Profesimu itu." katamu mantab. “Aku tidak
perlu lagi sembunyikan kegundahan yang selama ini terus menghantui
malam-malamku. Aku takut kehilangan dirimu hanya untuk sebuah kesia-siaan semata. Hanya untuk nilai jual tanpa pesan moral. Itu hanya
pepesan kosong media murahan.”
"Wartawan? Apa yang salah dengan profesiku
sebagai wartawan investigasi?" mukaku memerah seperti kepiting di panggangan.
Jujur
aku tersinggung dengan ucapannya. Aku
berusaha menahan rasa tidak enak yang tiba-tiba saja menggelegak. Entah kenapa rasa itu semakin kuat
merajahi hati. Aku memang
tidak menemukan butiran air di matamu. Aku hanya menangkap adanya keraguan di matamu yang
bening itu.
"Tidak ada yang salah dengan
profesi yang kau pilih dan kau jalani. Kau adalah investigator handal. Kau
mampu mengendus kecurangan dalam suatu kasus. Yang salah adalah kadang, sekali
lagi kadang kau tidak sadar ada yang memanfaatkan suara berisikmu itu.
Rencanamu menginvestigasi kasus kecelekaan itu seperti mengikuti arus. Aku
takut blow-up yang membuncah, akan membuat semua mata mengarah ke kasus itu. Padahal masih ada
kasus lain yang nilai moralnya lebih tinggi dari itu.”
Kau diam. Hanya jemarimu saja yang memainkan ujung kerudung biru
favorit itu.
Kerudung biru itu adalah hadiah atas kelulusanmu tempo hari. Aku tahu hatimu
gundah, karena rutinitas itulah yang kerap kau lakukan di saat-saat seperti ini.
Kau belajar dari pengalaman yang sudah-sudah. Seringkali artikel yang aku tulis menjadi
rujukan penulis lain untuk mengorek kisah di balik suatu kasus. Dan itu sudah
cukup membuktikan siapa diriku di mata pembaca.
“Sadarkah kau, di luar sana.” Kau menunjuk
keluar, seolah kaca tebal yang ada di sampingmu tidak pernah ada. “Di luar sana banyak harimau-harimau liar, serigala-serigala lapar ataupun singa-singa kesepian yang
bersiap memanfaatkan suara berisikmu. Mereka bersiap untuk sembunyikan jati diri mereka.
Mereka berlindung dalam riuhnya
desahanmu.” Kamu kembali diam, setelah sebelumnya bicara ketus sambil menunjuk
ke jendela kaca di sebelah kanan. Nafas panjangmu menjadi jeda, memberiku ruang
untuk semakin dalam mencerna kegundahanmu. “Saat kau terlena memainkan tongkat
investigasimu yang riuh, mereka, binatang-binatang rakus itu menerkam mangsa
yang tiada berdaya. Menerkam dan meninggalkannya tanpa bekas. Aku takut, suara gaduhmu
membuat semua mata teralih pada hal itu. Sementara kerakusan dan kerusakan yang
mahluk-mahluk
liar itu hasilkan akan
terlupakan. Dan saat kita sadar, tidak ada darah, tidak ada kulit dan tidak ada
lagi tulang yang tersisa, Bahkan bulu pun akan tersapu, sirna. Semua tertelan perut-perut rakus
berlumpur. Kita akan kehilangan
jejak yang bisa digunakan
untuk merekonstruksi kasus itu lagi. Dan saat kau mencobanya, bisa jadi kaulah
yang menjadi korban kerakusan berikutnya."
"Jadi?"
"Tinggalkan hiruk-pikuk kasus kecelakaan
itu. Lanjutkan investigasimu tentang kasus korupsi di balik peran alim sang
menteri. Jangan kau tinggalkan kasus itu.
Jika kau tinggalkan, kasus itu akan bersih. Tubuh dan
reputasimu akan habis dimakan binatang-binatang pengerat piaran sang menteri
keparat itu." Pungkasmu
sambil berdiri meninggalkanku termangu di meja makan restoran cepat saji.
"Aku lebih bangga melihat tulangmu memutih dalam investigasi yang sebelum ini, daripada mati serupa ilalang
kering terbakar puntung rokok. Sia-sia!." Hardikmu dengan nada meninggi. Sambil berhenti sejenak, kau
balikkan badan. "Dan akan lebih bangga lagi saat kau berhasil dengan selamat
membongkar kasus gila itu, bukan menari bersama buaian angin barat yang
melenakan." Tanganmu menaruh kamera EOS kesayangan di atas meja, seakan
menegaskan sikap yang lebih mendukungku menginvestigasi kasus korupsi sang
menteri lalim itu.
_ _ _
Jakarta,
02 Oktober 2013, 21.45 wib
“Seperti
inikah wajah negeriku? Dikuasai cukong-cukong bedebah. Bernyanyi layaknya biduan
handal, sebenarnya hanya lyp-singer murahan.”
Aku tersenyum kecut memandangi sejumlah
folder yang tersimpan di laptop. Data-data yang aku kumpulkan sejak awal investigasi
sampai akhir september
2013 tersusun rapi. Rekaman wawancara dengan beberapa nara sumber berada di
satu folder khusus. Masing-masing file wawancara kusandikan dengan nama bunga
anggrek. Mulai dari anggrek bulan sampai anggrek hitam Borneo yang langka.
Semakin langka anggreknya, semakin tinggi nilai wawancara itu.
Selain
menyandikan hasil wawancara, aku mengumpulkan file perusahaan-perusahaan hitam yang
terindikasi menyuap sang menteri dalam satu folder. Sub-foldernya kuberi nama
sesuai dengan aneka barang tambang. Dari yang paling mudah dan murah proses
penambanganya hingga yang paling sulit. Mulai dari nama timah hingga ke
permata. Untuk beberapa perusahaan kecil yang rutin memberi upeti, aku masukkan
ke file timah. Yang paling besar dan paling halus dalam memberi gratifikasi,
aku masukkan dalam file Permata. Ada dua perusahaan yang masuk dalam katageri
permata. Dua perusahaan itu menangani tambang di ujung timur negeri dan sebuah
perusahaan perkebunan yang dikelola pengusaha negeri jiran. Perusahaan ini
memainkan peran ganda, berkebun sambil membabat hutan di perbatasan Negara.
File
ketiga sengaja aku beri nama seorang pahlawan yang tidak pernah ditemukan
makamnya hingga kini. File ini berisi kolega sang menteri yang duduk di
beberapa BUMN. Sekilas pandang, nama-nama mereka tidak ada kaitannya
dengan sang menteri. Mereka tidak pernah satu almamater baik di bangku sekolah
maupun bangku kuliah. Pun mereka tidak pernah bergabung dengan grup usaha sang
menteri sebelum menjabat. Mereka juga tidak pernah tergabung dalam satu
organisasi kemasyarakatan ataupun partai politik yang sama. Benar-benar
tersamar. Satu benang sutra halus yang menghubungkan orang-orang ini
hanya hobinya akan motor besar. Meski berada di bawah kelompok dan merk yang
berbeda, mereka sama-sama menjabat sebagai ketua, wakil ketua ataupun pimpinan
teras lainnya. Posisi itu bisa menjadi alasan mereka untuk sesekali
bertemu. Dan dalam pertemuan itulah tender proyek diatur ulang untuk
dimenangkan kelompok mereka.
File
terakhir, aku beri nama sesuai dengan nama binatang piaraan. Karena ini
menyangkut nama orang-orang dekat sang menteri, aku menuliskannya secara
terbalik. Untuk nama orang-orang yang sangat dekat, aku masukkan kelompok
binatang yang bermusuhan dengan manusia. Sementara yang terlihat biasa dan tidak
terlalu dekat dengan sang menteri, masuk dalam file binatang yang sangat ramah
pada manusia yakni kucing.
Usai
merapikan file-file, aku lanjut mengerjakan
sisa
laporan investigasiku. Laporan
itu terdiri dari beberapa bab dan kutulis secara terpisah. Dari sembilan belas
bab yang ada, sudah selesai 17 bab. Di bagian awal setiap laporan, aku masukkan
cerita anak yang ada kaitannya dengan kejahatan di bab bersangkutan.
Dua
bab tersisa sangat menguras emosi. Aku tidak menemukan satu fable atau cerita
anak lain yang bisa kugunakan untuk menutupi kebusukan sang tokoh. Saking halus
dan tersembunyinya peran di kedua kasus itu, bisa dibilang kasat mata. Jika
salah menempatkan amunisi, bisa jadi ujung mimis yang harusnya
mengarah ke sasaran akan
berbalik dan menembus kepalaku. Pada dasarnya data-data pendukung yang aku
dapat cukup kuat. Yang aku khawatirkan adalah jika data terbongkar sebelum
waktunya, mereka bisa menghapus sidik jarinya di situ dan balik menuduhku
dengan pasal pencemaran nama baik.
Sambil menuliskan bagian akhir
investigasi, aku memikirkan cara untuk membuka kedok sang menteri. Kelalimannya tidak bisa dibiarkan. Secara
tidak sadar kita memujanya sebagai tokoh muda penuh integritas, padahal hanya
benalu liar di tubuh sang inang. Terlintas di benakku untuk melaporkan hal ini
ke KPK. Dengan data-data pendukung yang aku punya, institusi ini pasti bisa
bergerak cepat. Saat sang menteri ditetapkan menjadi tersangka, baru artikelku naik cetak.
_ _ _
Jakarta,
04 Oktober 2013, Ruang pemimpin Redaksi, 09.30 wib.
“Gila!” pekik redaktur tempatku bekerja.
Matanya melotot melihat data yang aku serahkan. “Jika artikel ini naik cetak, cycloon politik akan muncul di negeri ini. Pejabat-pejabat
‘suci’ itu akan mati citranya. Mereka seperti
tergantung di Monas, menjadi bahan cibiran khalayak yang anti maupun yang
simpati.” Dia mengangkat kedua
tangannya. Jari telunjuk dan tengah bergerak-gerak, isyaratkan tanpa petik
untuk kata suci. “Saat itu kitalah pemicunya. Data-data ini terlalu lengkap
untuk kita nafikan keberadaannya.
Kamu memang investigator paling handal yang pernah bekerja denganku.”
Aku melihat senyumnya yang sumringah. Sehari-hari, saat dikejar
deadline, dia sangat jarang memperlihatkan hal itu. Wajahnya selalu tegang. Mungkin
hal itu pula yang membuat warna hitam rambutnya cepat memudar, berganti putih
yang semakin menjamur. Bukan hanya rambut hitamnya yang memudar, kulit wajahnya
pun bertabur keriput.
“Terlalu berisiko jika artikelmu ini
terbit terlebih dulu. Saranku, laporkan dulu penemuanmu ini beserta data-data
pendukungnya ke KPK. Biar mereka mendalami dan menindaklanjuti. Setelah itu
baru kita terbitkan artikelmu ini. Bagaimana?”
Mendengar masukannya itu, aku hampir
terlonjak dari kursi. Bagaimanapun, di saat-saat seperti ini, kalimat-kalimat
yang dilontarkannya adalah solusi yang aku harapkan dan sesuai dengan ideku semalam. Aku seperti mendapat suntikan moril
untuk melanjutkan langkah yang telah kuambil.
“Aku sendiri yang akan mengantarmu ke
KPK.” Lanjut Irsyad Nur Rahman, redakturku itu dengan raut muka serius.
Tak perlu banyak kata dan pertimbangan,
aku menganggukkan kepala. Posisi kantorku dan gedung KPK tidak terlalu jauh.
Hanya beberapa blok saja. Jika jalanan sedang tidak bersahabat untuk kami pun, aku bisa menggunakan ojek untuk
mencapainya.
- - -
4 Oktober 2013, 10.45 wib
Aku
gelisah. Sudah hampir satu jam aku di sini. Jika normal, jarak dari kantorku ke
gedung KPK bisa ditempuh kurang dari
30 menit. Mobil yang kami
tumpangi tidak bergerak. Kerumunan orang-orang di depan terus bernyanyi sambil
meneriakkan yel-yel seruan untuk sesuatu yang tidak aku mengerti. Berdasar
laporan dari Trax FM, harusnya tidak ada demonstrasi atau sejenisnya di sini.
Tapi entah kenapa ada ratusan orang beratribut salah satu ormas kepemudaan
berkumpul dan
berdemo.
Guratan
rasa gelisah tidak hanya terukir di wajahku, tapi juga di wajah Irsyad dan
Joni, sopir kantor yang seumuran denganku. Kami bertiga sama-sama mahfum
kebiasaan demo yang digawangi ormas ini. Mereka adalah biangnya keributan saat
berdemo. Ada pameo untuk ormas ini, “Bukanlah demo kalau tidak
rusuh.”
“Bagaimana
ini? Gedung KPK dua ratusan meter lagi, tidak bisakah kita turun dan berjalan
kaki ke sana?”
Aku
menoleh. Memandangi wajah Irsyad yang terlihat gelisah. Tangannya menempel di
sandaran. Jari telunjuknya terus mengetuk panel yang menyatu di pintu.
“Tidak
mungkin, Ar. Secara jarak, kita bisa melakukannya. Tapi kerumunan ini, sulit bagi kita untuk menerobosnya. Lihatlah di depan, kiri, kanan dan juga
belakang mobil kita ini.”
Aku
mengikuti apa yang dilakukannya. Mataku melihat mobil ini seperti dikepung.
Depan-belakang, kiri-kanan dikerumuni orang berpakaian sama. Sementara di depan
sana, aku melihat water canon bersiaga menghadap ke arah kami berada.
“Kita
terjebak. Mundur tidak bisa, majupun tidak. Andai bisa menerobos orang-orang
ini, apakah mungkin polisi di sana akan membiarkan kita masuk?” lanjut Irsyad.
“Benar. Tapi apa kita akan tetap di
sini? Menunggu hingga kekacauan ini berakhir?”
Aku memandangi sekeliling, mencari celah
yang mungkin bisa digunakan untuk keluar dari kerumunan. Semua tertutup rapat.
Orang-orang yang bergerak di luaran sana semakin banyak, semakin lama semakin
berdesak. Kepadatan itu membuat mobil terus-menerus tersenggol. Awalnya hanya
sekali dua kali, semakin lama semakin sering. Berada dalam keadaan ekstrem, aku
memeriksa kunci pintu. “Aman. Semua terkunci.” Gumamku dalam hati.
“Pyarrr…”
Kaca di sampingku pecah berderai,
dihajar siku yang terlindung jaket coklat. Pecahannya berhamburan ke dalam.
Sebagian jatuh ke pangkuanku, yang lain jatuh ke lantai. Begitu kerasnya pukulan, serpihannya terlempar di depan Irsyad. Aku tersentak. Kedua tanganku refleks
mendekap tas berisi laptop dan dokumen. Benda itu rapat terjepit di dada, diapit tangan
yang merapat.
Irsyad kaget. Dia menoleh padaku. Seperti melihat hantu, wajahnya
memucat. Kulitnya yang agak hitam nyaris seperti tanpa darah.
“Del…..” Sebuah sentakan mengagetkanku. Saat
sadar, semua sudah
terlambat. Tas yang aku dekap telah berpindah tangan. Kucoba menggapainya, tapi tak bisa. Hanya ruang hampa yang tanganku temui. Aku coba membuka pintu, tapi
tidak bisa. Pintu tertahan dari luar. Kerumunan orang yang terus bergerak,
seperti tembok penghalang. Mataku terus mencoba melacak keberadaan orang yang
menarik tasku, tapi nihil. Bayangannya segera menghilang dalam keramaian.
Aku tendang pintu dengan dua kaki, agar terbuka.
Tetap
tidak bisa terbuka.
Kerumunan di luar terus menggencetnya.
Sekali saja terbuka sedikit, sesudahnya kembali merapat. Nyaris tidak memberi
kesempatan untukku
meloloskan tubuh. Tidak hilang akal, aku mencoba keluar melalui kaca yang
pecah. Awalnya susah, tapi akhirnya bisa juga. Saat sampai di luar, orang yang
mengambil tasku sudah menghilang.
_ _ _
Mapolda
Metro, 04 Oktober 2014, 14.30wib
Mataku hanya
mengikuti setiap ketukan jemari petugas di depanku. Setiap kata yang aku
sampaikan, diterjemahkannya ke keyboard. Tempat kejadian, kronologis, benda apa
saja yang hilang dirampas pencoleng, orang yang bersamaku dan jenis mobil yang
aku kendarai, semua aku ucapkan dengan lancar.
Joni, sopir yang mengantarku
tertunduk lesu. Lelaki yang sebaya denganku itu hanya diam. Pertanyaan yang
mengarah padanya, hanya dijawab singkat.
Irsyad yang bersamaku sedari tadi
terlihat syok. Berkali-kali dia menenggak air putih dari botol berukuran 1,5
liter. Keringat dingin terus turun membasahi kemeja putih yang dikenakannya.
Sapu tangan putih yang dibawanya, basah oleh keringat yang terus mengucur.
Usai menjawab pertanyaan petugas,
aku berdiri. Aku mendekati jendela. Dari sana aku melihat lalu-lalang orang di
luaran sana. Kejadian yang baru aku alami masih kuat membayang di benakku.
Semua kembali berkelebat, merangkai cerita yang saling berkait. Data yang aku
punya, usulan ke KPK, keberangkatan dan ketukan tangan di sandaran kursi
berkelindan menyatukan sebuah praduga.
_ _ _
Bogor, 10 Oktober 2013, 23.45 wib
Aku memandang sosok redakturku itu
dengan senyum kemenangan. Irsyad tersenyum kecut, wajahnya kalut.
“Bagaimana kau tahu aku berada di
belakang kekacauan itu?”
Aku menatap sosok gadis bali yang
terdapat dalam lukisan. Lukisan itu menggantung di sisi kanan tangga menuju
lantai 2. Sebuah lampu tepat berada di atasnya, menerangi bagian tengah lukisan
karya seorang pelukis ternama.
“Kau tidak perlu tahu siapa yang
memberi tahu. Dia sudah lama meperhatikanmu. Saking perhatiannya denganmu, dia
mengikuti setiap aksimu sejak awal bekerja. Bisa dibilang tidak sekalipun kamu
bersin tanpa dia tahu. Karena itu saat aku melakukan investigasi tentang sang
menteri, sosok itu menemuiku dan memintaku untuk mewaspadaimu. Dialah yang
merancang skenario penyerahan dokumen itu padamu. Dan kamu memakan umpan itu,
padahal itu hanya sebagian kecil dari dokumen yang aku punya. Dokumen lainnya
sudah ada di tangan yang berwajib dan juga di salah satu blogku. Dokumen itu
sudah aku setting publish esok pagi, andai sampai besok aku tidak membatalkan
publikasinya.”
Aku melihatnya mengumbar seringai
kemarahan. Andai kedua ibu jarinya tidak terbelenggu borgol, mungkin dia sudah
melompat dan menghantamkan kepalan tangannya ke wajahku. Sementara sosok wanita
cantik yang mengantarkan uang komisi untuknya, hanya bisa menunduk malu. Wajah
itu begitu familiar bagi penikmat acara televisi, karena dia mantan bintang
sinetron yang beralih ke dunia politik.
“Saat kamu mengetukkan jari ke
sandaran tangan, aku melakukan hal yang sama. Ponselku memang berada di saku,
tapi selalu terhubung dengan nomer seorang teman yang bertugas menerjemahkan
ketukanku itu. Setiap ketukanmu itu, aku ikuti. Dan saat pengacau itu datang,
aku hanya berpura-pura syok mendapati semua bukti terampas. Sejujurnya itu
hanya tumpukan fotocopy cerita anak.”
“Cerita anak....?” mata Irsyad
melotot.
“Iya, cerita anak yang ada kaitannya
dengan tokoh-tokoh yang terlibat skandal sang menteri alim idolamu itu. Dan
penangkapan ini dilakukan bersamaan dengan aksi penyidik KPK menyeret sang
menteri dengan tuduhan korupsi dan penyuapan.”
“Apa...?” Irsyad Melotot. Pun dengan
politisi wanita yang ada di sampingnya.
_ _ _
Denpasar.09092013.1511
Masopu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar