Agung Hariyadi (59)
Aku, aku hanya tersenyum melihat tingkah kalian.
Kalian,
ya..ya..ya kalian yang ada di sana. Kalian yang duduk di seberang
mejaku. Kalian menghinaku, kalian menghakimiku selayaknya kalian mahluk
suci. Mahluk yang tak pernah berbuat salah, meski kesempatan ada di
depan mata kalian. Eitss, tunggu dulu. Aku tak percaya kalian seperti
itu. Pasti jika ada kesempatan kalian tertarik memanfaatkannya. Bahkan
mungkin lebih gila dari yang aku lakukan. Aku berani bertaruh itu.
Aku,
aku memang pantas untuk menerima semua hinaan ini. Benar aku adalah
durjana. Bukan durjana yang diciptakan Tuhan. Aku durjana yang
diciptakan oleh keadaan yang sudah ada. Keadaan yang sudah sedemikian
rusak, hingga mungkin akan terlihat aneh jika aku tidak terlarut dalam
kerusakan ini. Keadaan yang awalnya ingin kuperbaiki. Tapi saat aku
memasuki, ternyata ada nikmat yang kurasa. Dan aku terlena dibuatnya.
Benar
aku pemimpin di salah satu bagian basah yang ada di instansiku. Aku
pemimpin yang bisa menentukan proyek A atau proyek B akan aku jalankan.
Tapi bukan itu yang utama. Yang utama adalah fee yang akan aku terima.
Fee yang bisa 100 kali dari
total gajiku selama setahun. Fee yang harus aku bagi dengan teman
sejawatku dan juga atasanku yang suka mencuci gelas minumnya sendiri
itu.
Aku,
aku memang bermuka tebal. Tebalnya beton dermaga, itu mah belum
seberapa. Mukaku lebih tebal dari itu, hingga malupun tak lagi tampak di
wajahku. Sindiran, makian dan sejenisnya takkan surutkan wajahku.
Wajahku akan selalu tersenyum, meski terasa masam di mata kalian. What
ever-lah, aku tak peduli. Bagiku, inilah wajahku. Mau bermuka tebal,
berkulit badak atau mungkin mau kau maki dengan seribu nama penghuni
Ragunan, aku tak peduli. Ini wajahku, mana wajahmu?
Aku,
aku pemimpin bejat. Itu kan kalian yang bilang. Tapi bagi yang butuh
hartaku, aku sumber hidupnya. Bagi yang butuh kehangatanku, aku akan
beri, meski mungkin tak akan sehangat pelukan Don Juan-Don Juan jaman
batu. Aku bangga peroleh istri muda yang cantik jelita, walau mungkin
tak secantik Cleopatra. Aku bangga memeluk tubuh berlekuk tiga, walau
mungkin tak seindah lekuk tubuh Manohara apalagi Madonna di usia muda.
Tahukah
kalian? Dia, dia wanita yang jadi istri mudaku. Dia tak tahu apa. Yang
dia tahu hanya cinta. Cinta yang membuatnya buta, hingga tak melihat
bandot tua bermuka durjana. Yang dia tahu hanya cinta, cinta yang selalu
mendatangkan bahagia. Bahagia di muka, derita sesudahnya.
Apakah
aku menyesal peroleh cintanya? Aku tidak menyesal. Aku bahagia, karena
dia benar-benar mesin cuciku. Tak hanya mencuci bajuku, memandikanku
dengan kasihnya dan yang pasti memandikan kerisku yang mulai karatan.
Dengan dia aku bisa tertawa. Haramnya hartaku bisa kucuci. Kucuci biar
sedikit bersih, agar tak tercium hidung kucing-kucing Negara yang sok
alim dan tak mau ikan asin itu.
Aku,
aku memang serakah. Serakah yang menyebabkan aku bodoh. Kebodohan yang
membuatku tak mampu berpikir jauh, jauh melampaui lebar ukuran rok
wanita yang aku jadikan istri mudaku. Tanpa sadar aku hanyalah serupa
menteri atau gajah dalam permainan catur. Setinggi apapun jabatan yang
aku pegang saat ini, tetap saja aku salah satu pion. Pion yang akan
dikorbankan saat stratagi permainan mengharuskan itu.
Aku,
aku bahagia dengan yang aku punya, meski sebenarnya aku merasa masih
kurang. Silahkan hardik diriku. Silahkan hina aku, tapi jangan usik
istri mudaku yang jelita. Karena dia hanya tertipu wajahku yang tanpa
dosa.
Denpasar.15022013.1405
Masopu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar