http://ayuzone-ayuzone.blogspot.com/2012/03/skizofrenia.html |
Kerumunan orang yang hadir
terkesiap. Untaian kalimat yang mengalun dari bibirku terus berdendang di
telinga mereka. Entah merdu ataukah memang untaian itu mengandung unsur magis,
aku tak tahu. Yang aku tahu hanya aku menikmati suasana itu, menikmati saat di
mana mereka menepuk gumpalan angin yang ada di antara telapak tangan mereka
hingga muncul suara ledakan-ledakan kecil dari sela-sela tangan mereka yang
beradu. Aku minkmati saat sebagian besar bibir bersuara memujaku dengan
kalimat-kalimat yang membuat bunga-bunga hatiku bermekaran, hingga
pendar-pendar bahagianya memancar dari wajahku.
_ @ _ @ _
Aku duduk tertegun di ruangan
berdinding putih ini dengan raut muka kebingungan. Baru lima menit yang lalu
aku meminta orang-orang yang menemaniku untuk pergi, kini telah hadir dan
berdiri sosok-sosok lain datang mengelilingiku. Aku heran, wajah mereka sekilas
pandang bentuknya serupa, hanya tampilan
baju dan sedikit hiasan di wajah mereka yang berbeda. Mereka datang tepat
ketika orang terakhir meninggalkanku dan menutup pintu. Seakan-akan mereka
orang sakti, ada yang muncul menembus tembok, ada yang menerobos pintu yang
telah tertutup dan ada pula yang meloncat dari kaca besar di depanku. Tapi yang
paling membuatku tertegun tentulah yang keluar dari dalam monitor laptopku.
“Ma…mau…a…aa..pa kalian? Si..siapa
kalian?” tanyaku gagu. Sisa keberanianku memaksa lidahku untuk bergetar,
menyapa sosok-sosok yang semakin mendekat.
Tanpa perintah mereka berhenti
sejarak kayuhan lengan menggapai. Tanpa menoleh satu sama lain, kembali mereka
kompak bertindak, seringai senyum yang tadi menghiasi wajah hilang seperti
tersapu angin. Mulut mereka rapat terkunci. Aku bergidik, mata mereka semakin
tajam menguliti tubuhku, memandang dari ujung kaki hingga rambutku yang kini
telah dua warna.
“Si…ssii..apa kamu” tanyaku pada
sosok yang berdiri di sebelah kiri.
Sosok di sebelah kiri itu hanya
diam. Dia berdiri lekat memandangku. Wajahnya yang pucat berhias make up tebal.
Tangan kanannya memegang dua buah topeng, pun dengan tangan kirinya. Sebuah tas
menggantung di lengan kirinya. Dari resleting tas yang terbuka, aku melihat
banyak topeng tersimpan di sana. “Apakah dia seorang penari topeng? Ataukah dia
hanya seorang perajin?” gumamku sambil terus memandang sosok itu penuh
kekalutan. Jawaban yang tak kunjung lepas dari bibirnya membuatku semakin
bingung.
“Aku adalah kamu.”
Aku terhenyak. Dingin meremang di
tengkukku saat kalimat itu menyambar. Telingaku serasa berdenging saat
mendengarnya. Wajahnya masih tetap sepucat semula, hanya sorot mata seperti
melukiskan beban yang sedang menggelayuti hatinya.
“Ka..kamu?
Aku?” Aku bertanya sambil menunjuk ke arah wajahnya dan wajahku secara
bergantian. Aku tak mengerti dengan apa yang dia maksudkan. Pernyataannya itu
benar-benar membuatku tertegun dan tak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Aku
adalah kamu. Bukankah selama ini peranmu manipulatif? Bukankah kamu selama ini
selalu memasang sejuta topeng saat bertemu orang lain? Bukankah kamu selalu
ingin terlihat perfect di mata orang lain? Untuk itu kamu rela memakai
topeng-topeng ini saat bersua mereka.” Katanya tegas. Tangannya perlahan
melempar topeng-topeng di tangan dan tasnya ke arahku. Topeng-topeg itu
melayang ke arahku, tapi begitu tepat mengenaiku, topeng-topeng itu menghilang.
Aku kebingungan.
“La..lalu
kamu?” tanyaku pada sosok kedua dari kiri.
Sosok
itu diam sejenak. Dia menghela nafasnya dalam-dalam. Wajahnya yang putih bersih
terlihat menonjol dibandingkan dengan yang lain. Saat tatap mataku beradu
dengan matanya, aku tercekat. Tatap mata itu layu, nyaris tak ada cahaya yang
memancar dari sana. Saat aku memandangi sekitar matanya, ada guratan hitam
tipis memancar dari kelopaknya.
“Aku?
Siapalah aku? Hanya citra positif yang kamu tuliskan di berbagai media cetak
dan online. Citra positif yang tak ubahnya sebuah drama dalam bentuk tulisan.
Sorot mataku yang tiada bercahaya adalah gambaran kosongnya citra yang telah
kamu bangun. Guratan hitam kelopak mataku adalah gambaran beban perasaan yang
menggantung di hatimu. Andai aku bisa memilih, aku tak ingin kau lahirkan dalam
setiap tulisanmu atau tulisan orang lain. Itu terlalu menyakitkanku.” Kata-katanya
bagai anak panah lepas dari busurnya, susul menyusul menghunjam hatiku. Aku
nyaris menjerit menahan sakit dari untain kalimatnya yang tajam itu. Namun aku
berusahan untuk kuat, aku hanya menyeringai memandangi sosok yang tadi aku
lihat keluar dari monitor laptopku itu.
“Ka…kamu
adalah citra yang aku bangun dari tulisanku?”
“Benar,
dia adalah citra yang kamu bangun dari tulisan-tulisanmu yang terkesan cerdas,
bersahaja dan sangat intelektual. Dia tersiksa, seperti halnya diriku.” Sosok ketiga
memotong pertanyaanku pada sosok kedua.
Sosok
ketiga adalah sosok paling jelek di antara ke empat sosok di depanku. Yang sama
hanya ukuran tubuh dan bentuknya saja, sementara kulit wajahnya berhias warna
hitam, hingga terlihat lebih gelap dari yang lain. Sorot matanya lebih
bercahaya dibandingkan sosok yang pertama. Bibirnya yang kemerahan menyeringai
sambil memperlihatkan gigi-giginya yang mulai keropos di makan usia.
“Si…Siaapa
kamu?” tanyaku dengan suara agak kasar. Aku benar-benar tersinggung mendengar
dentuman kata yang meleleh dari bibirnya.
“Aku?
Aku adalah sisi gelapmu. Meski begitu aku lebih bahagia dibanding mereka
berdua. Setidaknya aku lebih berjiwa dan berasa. Meski hanya di depan
orang-orang terdekat kamu meledakkan sisi kelammu, yakni aku. Setidaknya aku
tak perlu takut menjadi korban kemanipulatifanmu yang congkak itu. Aku tak
perlu takut kamu akan mencampakkanku, karena kamu tak akan bisa. Aku ada
bersamaan dengan kelahiranmu. Akulah yang ikut membesarkanmu. Sedang mereka,
mereka hanya ada saat kamu sudah mengenal dan tahu enaknya duduk di kursi empuk
dan melenakan itu. Jadi saat kamu jatuh kelak, mereka tak akan pernah
menyertaimu, mereka akan lari meninggalkanmu.” Jawab sosok ketiga dengan suara
tak kalah kasarnya. Matanya merah memncarkan cibiran halus padaku.
“Sudah
sedari awal aku mengingatkanmu untuk selalu ingat siapa dirimu, tapi kamu tak
pernah mendengarnya.” Cibir sosok ke empat.
Sosok
yang aku lihat muncul dari bayangan cermin itu adalah sosok yang paling mirip
denganku. Bentuk wajah, warna kulit dan rambut bisa dikatakan seratus persen
perwujudanku. Senyumnya pun semanis senyumku, meski masih kalah dibanding senyum
sosok pertama. Sorot matanya lebih berbinar dibandingkan dengan yang lain. Dua
bulatan hitam kecil yang tertera di atas alisnya cukup untuk menggambarkan
bagaimana tingkat ketaatannya. Kulitnya yang sedikit kecoklatan lebih segar
dalam pandanganku. Dia tak menutupi wajahnya dengan riasan sama sekali, hingga
luka bekas jerawat ataupun cakaran yang mungkin didapat sewaktu kecil dulu
jelas terlihat.
“Maksudmu?”
tanyaku mencoba mengurai pernyataannya tadi.
“Setiap
kamu melihat cermin itu, kamu selalu melihatku. Lambaian tanganku yang meminta
perhatianmu tak pernah kamu hiraukan. Kamu sibuk memilih topeng mana yang
sesuai dengan peranmu saat di depan orang lain. Saat kamu di depan layar
monitor pun, aku selalu melambai untuk mengingatkanmu agar kamu menulis seperti
mauku. Tapi kamu tak mau. Di depan monitor kamu memilih menjadi sosok seperti
yang selama ini ada dalam tulisanmu. Kamu tahu aku tak akan bisa menjadi sosok
seperti sosok pertama dan kedua. Tapi kamu juga tahu kalau hanya aku yang bisa
berdamai dengan sosok ketiga yang merupakan sisi kelammu. Kamu selalu
mengabaikanku dan sosok hitam ini. Kamu lebih terbuai oleh sosok mereka berdua.
Padahal mereka hanya wujud dari ambisimu dan orang-orang di sekitarmu.”
“Cukup!”
bentakku. Aku berdiri. Kini aku telah sejajar dengan mereka. Dengan bibir dan
tangan bergetar, aku mencoba memperhatikan mereka berempat. Sosok ke tiga dan
ke empat tersenyum ke arahku. Mata mereka terlihat menggodaku.
“Kenapa?
Kamu mau marah?” tantang sosok kehitaman yang tadi aku lihat menembus tembok
itu. “Marahlah. Bukankah selama ini kamu hanya berani menampakkan hal itu di
tempat sepi seperti ini. Bukankah kamu ingin memperlihatkan sisi gelapmu.
Marahlah, karena marahmu adalah perwujudanku.”
“Tunjukkan
dirimu. Jangan takut, citramu tak akan luntur. Bukankah kini pun kamu sudah tak
punya citra baik di mata lawan-lawanmu. Hanya sebagian kecil pendukungmu yang
masih bertahan. Mereka tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi tempo hari.
Kasus yang kata kolegamu hanya sebuah konspirasi tak akan berpengaruh untuk
mereka yang taklid buta padamu.” Hardik sosok terakhir.
Tanganku
melempar gelas yang ada di meja ke arah sosok terakhir. Sosok yang kata-katanya
begitu memerahkan kuping itu bergeming. Gelas yang melintas ke arahnya terus
meluncur ke tembok. Laksana tak menyentuh apa-apa gelas itu menghajar tembok. “Prangg..”
Suara keras itu membuyarkan empat sosok di depanku, bersamaan dengan itu pintu
terbuka. Dua orang asistenku masuk dan melihat ke arahku. Mereka keheranan
melihatku.
“Tolong
bersihkan pecahan kaca itu, aku mau menemui para pendukungku.” Kataku lirih
sambil membersihkan keringat dingin yang membasahi wajahku. Setelah merapikan
tampilanku dan membuatnya senyaman mungkin, aku keluar.
_
@ _ @ _
Aku
berjalan menuruni tangga. Panggung tempatku berpidato serasa mau roboh begitu
acara aku akhiri. Suara tepukan yang menggemuruh membuat hatiku berbunga-bunga.
Terpaan masalah yang sedang menyandera langkahku tak mampu meruntuhkan dinding
kepercayaan para pendukungku. Benar apa yang dikatakan kolegaku, di akar rumput
massa masih yakin aku tidak bersalah. Mereka yakin aku hanya korban konspirasi
elit lain yang tak ingin langkahku menghalangi keingininan mereka. Aku tertawa,
taklid buta itu masih merajahi hati mereka yang selama ini sering aku bodohi.
“Aku
menang. Aku tak terkalahkan. Akulah the real actor.” Gumamku sambil mencibir
suara hatiku yang terus menuntutku untuk tampil seperti layaknya aku dulu,
sosok lugu yang tak terlalu ambil pusing dengan citra dan kuasa. “Aku adalah
aku yang sekarang, bukan aku yang dulu. Aku yang dulu telah berlalu bersama
hilangnya rasa malu.” Gumamku lagi.
_
@ _ @ _
Denpasar.
05022013.1513
Masopu
kereeennn Gung, halusinasi...
BalasHapusnaluri... sebuah kejujuran yang tidak akan pernah bisa di sangkal bahkan oleh hati sekalipun...
Salam Gung :)
Mkasih Yul
HapusKeprihatinan atas banyaknya orang yang sibuk melihat kesalahan itu adanya dari luar, tapi gak lihat ke dalam diri sendiri
Salam
Mantap bro, gue bookmark dulu blog loe, buat baca2 klo senggang.
BalasHapus