Selasa, 05 Februari 2013

Halusinasi Diri


http://ayuzone-ayuzone.blogspot.com/2012/03/skizofrenia.html

            Kerumunan orang yang hadir terkesiap. Untaian kalimat yang mengalun dari bibirku terus berdendang di telinga mereka. Entah merdu ataukah memang untaian itu mengandung unsur magis, aku tak tahu. Yang aku tahu hanya aku menikmati suasana itu, menikmati saat di mana mereka menepuk gumpalan angin yang ada di antara telapak tangan mereka hingga muncul suara ledakan-ledakan kecil dari sela-sela tangan mereka yang beradu. Aku minkmati saat sebagian besar bibir bersuara memujaku dengan kalimat-kalimat yang membuat bunga-bunga hatiku bermekaran, hingga pendar-pendar bahagianya memancar dari wajahku.
            _ @ _ @ _
            Aku duduk tertegun di ruangan berdinding putih ini dengan raut muka kebingungan. Baru lima menit yang lalu aku meminta orang-orang yang menemaniku untuk pergi, kini telah hadir dan berdiri sosok-sosok lain datang mengelilingiku. Aku heran, wajah mereka sekilas pandang bentuknya  serupa, hanya tampilan baju dan sedikit hiasan di wajah mereka yang berbeda. Mereka datang tepat ketika orang terakhir meninggalkanku dan menutup pintu. Seakan-akan mereka orang sakti, ada yang muncul menembus tembok, ada yang menerobos pintu yang telah tertutup dan ada pula yang meloncat dari kaca besar di depanku. Tapi yang paling membuatku tertegun tentulah yang keluar dari dalam monitor laptopku.
            Mereka datang mendekat, dengan langkah ringan dan tanpa suara. Tangan yang tergantung di sisi badan, seulas senyum yang terus terasah dari bibir mereka ditambah tatap mata mereka yang beda warna membuatku bergetar. Entah apa arti dari tatap mata mereka, yang aku tangkap hanyalah sebuah permintaan tanggung jawabku. Tanggung jawab apa, aku tak tahu. Aku ingin bertanya, tapi nyaliku sedikit kendur melihat mereka semakin mendekat.
            “Ma…mau…a…aa..pa kalian? Si..siapa kalian?” tanyaku gagu. Sisa keberanianku memaksa lidahku untuk bergetar, menyapa sosok-sosok yang semakin mendekat.
            Tanpa perintah mereka berhenti sejarak kayuhan lengan menggapai. Tanpa menoleh satu sama lain, kembali mereka kompak bertindak, seringai senyum yang tadi menghiasi wajah hilang seperti tersapu angin. Mulut mereka rapat terkunci. Aku bergidik, mata mereka semakin tajam menguliti tubuhku, memandang dari ujung kaki hingga rambutku yang kini telah dua warna.
            “Si…ssii..apa kamu” tanyaku pada sosok yang berdiri di sebelah kiri.
            Sosok di sebelah kiri itu hanya diam. Dia berdiri lekat memandangku. Wajahnya yang pucat berhias make up tebal. Tangan kanannya memegang dua buah topeng, pun dengan tangan kirinya. Sebuah tas menggantung di lengan kirinya. Dari resleting tas yang terbuka, aku melihat banyak topeng tersimpan di sana. “Apakah dia seorang penari topeng? Ataukah dia hanya seorang perajin?” gumamku sambil terus memandang sosok itu penuh kekalutan. Jawaban yang tak kunjung lepas dari bibirnya membuatku semakin bingung.
            “Aku adalah kamu.”
            Aku terhenyak. Dingin meremang di tengkukku saat kalimat itu menyambar. Telingaku serasa berdenging saat mendengarnya. Wajahnya masih tetap sepucat semula, hanya sorot mata seperti melukiskan beban yang sedang menggelayuti hatinya.
“Ka..kamu? Aku?” Aku bertanya sambil menunjuk ke arah wajahnya dan wajahku secara bergantian. Aku tak mengerti dengan apa yang dia maksudkan. Pernyataannya itu benar-benar membuatku tertegun dan tak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Aku adalah kamu. Bukankah selama ini peranmu manipulatif? Bukankah kamu selama ini selalu memasang sejuta topeng saat bertemu orang lain? Bukankah kamu selalu ingin terlihat perfect di mata orang lain? Untuk itu kamu rela memakai topeng-topeng ini saat bersua mereka.” Katanya tegas. Tangannya perlahan melempar topeng-topeng di tangan dan tasnya ke arahku. Topeng-topeg itu melayang ke arahku, tapi begitu tepat mengenaiku, topeng-topeng itu menghilang. Aku kebingungan.
“La..lalu kamu?” tanyaku pada sosok kedua dari kiri.
Sosok itu diam sejenak. Dia menghela nafasnya dalam-dalam. Wajahnya yang putih bersih terlihat menonjol dibandingkan dengan yang lain. Saat tatap mataku beradu dengan matanya, aku tercekat. Tatap mata itu layu, nyaris tak ada cahaya yang memancar dari sana. Saat aku memandangi sekitar matanya, ada guratan hitam tipis memancar dari kelopaknya.
“Aku? Siapalah aku? Hanya citra positif yang kamu tuliskan di berbagai media cetak dan online. Citra positif yang tak ubahnya sebuah drama dalam bentuk tulisan. Sorot mataku yang tiada bercahaya adalah gambaran kosongnya citra yang telah kamu bangun. Guratan hitam kelopak mataku adalah gambaran beban perasaan yang menggantung di hatimu. Andai aku bisa memilih, aku tak ingin kau lahirkan dalam setiap tulisanmu atau tulisan orang lain. Itu terlalu menyakitkanku.” Kata-katanya bagai anak panah lepas dari busurnya, susul menyusul menghunjam hatiku. Aku nyaris menjerit menahan sakit dari untain kalimatnya yang tajam itu. Namun aku berusahan untuk kuat, aku hanya menyeringai memandangi sosok yang tadi aku lihat keluar dari monitor laptopku itu.
“Ka…kamu adalah citra yang aku bangun dari tulisanku?”
“Benar, dia adalah citra yang kamu bangun dari tulisan-tulisanmu yang terkesan cerdas, bersahaja dan sangat intelektual. Dia tersiksa, seperti halnya diriku.” Sosok ketiga memotong pertanyaanku pada sosok kedua.
Sosok ketiga adalah sosok paling jelek di antara ke empat sosok di depanku. Yang sama hanya ukuran tubuh dan bentuknya saja, sementara kulit wajahnya berhias warna hitam, hingga terlihat lebih gelap dari yang lain. Sorot matanya lebih bercahaya dibandingkan sosok yang pertama. Bibirnya yang kemerahan menyeringai sambil memperlihatkan gigi-giginya yang mulai keropos di makan usia.
“Si…Siaapa kamu?” tanyaku dengan suara agak kasar. Aku benar-benar tersinggung mendengar dentuman kata yang meleleh dari bibirnya.
“Aku? Aku adalah sisi gelapmu. Meski begitu aku lebih bahagia dibanding mereka berdua. Setidaknya aku lebih berjiwa dan berasa. Meski hanya di depan orang-orang terdekat kamu meledakkan sisi kelammu, yakni aku. Setidaknya aku tak perlu takut menjadi korban kemanipulatifanmu yang congkak itu. Aku tak perlu takut kamu akan mencampakkanku, karena kamu tak akan bisa. Aku ada bersamaan dengan kelahiranmu. Akulah yang ikut membesarkanmu. Sedang mereka, mereka hanya ada saat kamu sudah mengenal dan tahu enaknya duduk di kursi empuk dan melenakan itu. Jadi saat kamu jatuh kelak, mereka tak akan pernah menyertaimu, mereka akan lari meninggalkanmu.” Jawab sosok ketiga dengan suara tak kalah kasarnya. Matanya merah memncarkan cibiran halus padaku.
“Sudah sedari awal aku mengingatkanmu untuk selalu ingat siapa dirimu, tapi kamu tak pernah mendengarnya.” Cibir sosok ke empat.
Sosok yang aku lihat muncul dari bayangan cermin itu adalah sosok yang paling mirip denganku. Bentuk wajah, warna kulit dan rambut bisa dikatakan seratus persen perwujudanku. Senyumnya pun semanis senyumku, meski masih kalah dibanding senyum sosok pertama. Sorot matanya lebih berbinar dibandingkan dengan yang lain. Dua bulatan hitam kecil yang tertera di atas alisnya cukup untuk menggambarkan bagaimana tingkat ketaatannya. Kulitnya yang sedikit kecoklatan lebih segar dalam pandanganku. Dia tak menutupi wajahnya dengan riasan sama sekali, hingga luka bekas jerawat ataupun cakaran yang mungkin didapat sewaktu kecil dulu jelas terlihat.
“Maksudmu?” tanyaku mencoba mengurai pernyataannya tadi.
“Setiap kamu melihat cermin itu, kamu selalu melihatku. Lambaian tanganku yang meminta perhatianmu tak pernah kamu hiraukan. Kamu sibuk memilih topeng mana yang sesuai dengan peranmu saat di depan orang lain. Saat kamu di depan layar monitor pun, aku selalu melambai untuk mengingatkanmu agar kamu menulis seperti mauku. Tapi kamu tak mau. Di depan monitor kamu memilih menjadi sosok seperti yang selama ini ada dalam tulisanmu. Kamu tahu aku tak akan bisa menjadi sosok seperti sosok pertama dan kedua. Tapi kamu juga tahu kalau hanya aku yang bisa berdamai dengan sosok ketiga yang merupakan sisi kelammu. Kamu selalu mengabaikanku dan sosok hitam ini. Kamu lebih terbuai oleh sosok mereka berdua. Padahal mereka hanya wujud dari ambisimu dan orang-orang di sekitarmu.”
“Cukup!” bentakku. Aku berdiri. Kini aku telah sejajar dengan mereka. Dengan bibir dan tangan bergetar, aku mencoba memperhatikan mereka berempat. Sosok ke tiga dan ke empat tersenyum ke arahku. Mata mereka terlihat menggodaku.
“Kenapa? Kamu mau marah?” tantang sosok kehitaman yang tadi aku lihat menembus tembok itu. “Marahlah. Bukankah selama ini kamu hanya berani menampakkan hal itu di tempat sepi seperti ini. Bukankah kamu ingin memperlihatkan sisi gelapmu. Marahlah, karena marahmu adalah perwujudanku.”
“Tunjukkan dirimu. Jangan takut, citramu tak akan luntur. Bukankah kini pun kamu sudah tak punya citra baik di mata lawan-lawanmu. Hanya sebagian kecil pendukungmu yang masih bertahan. Mereka tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi tempo hari. Kasus yang kata kolegamu hanya sebuah konspirasi tak akan berpengaruh untuk mereka yang taklid buta padamu.” Hardik sosok terakhir.
Tanganku melempar gelas yang ada di meja ke arah sosok terakhir. Sosok yang kata-katanya begitu memerahkan kuping itu bergeming. Gelas yang melintas ke arahnya terus meluncur ke tembok. Laksana tak menyentuh apa-apa gelas itu menghajar tembok. “Prangg..” Suara keras itu membuyarkan empat sosok di depanku, bersamaan dengan itu pintu terbuka. Dua orang asistenku masuk dan melihat ke arahku. Mereka keheranan melihatku.
“Tolong bersihkan pecahan kaca itu, aku mau menemui para pendukungku.” Kataku lirih sambil membersihkan keringat dingin yang membasahi wajahku. Setelah merapikan tampilanku dan membuatnya senyaman mungkin, aku keluar.
_ @ _ @ _
Aku berjalan menuruni tangga. Panggung tempatku berpidato serasa mau roboh begitu acara aku akhiri. Suara tepukan yang menggemuruh membuat hatiku berbunga-bunga. Terpaan masalah yang sedang menyandera langkahku tak mampu meruntuhkan dinding kepercayaan para pendukungku. Benar apa yang dikatakan kolegaku, di akar rumput massa masih yakin aku tidak bersalah. Mereka yakin aku hanya korban konspirasi elit lain yang tak ingin langkahku menghalangi keingininan mereka. Aku tertawa, taklid buta itu masih merajahi hati mereka yang selama ini sering aku bodohi.
“Aku menang. Aku tak terkalahkan. Akulah the real actor.” Gumamku sambil mencibir suara hatiku yang terus menuntutku untuk tampil seperti layaknya aku dulu, sosok lugu yang tak terlalu ambil pusing dengan citra dan kuasa. “Aku adalah aku yang sekarang, bukan aku yang dulu. Aku yang dulu telah berlalu bersama hilangnya rasa malu.” Gumamku lagi.
_ @ _ @ _
Denpasar. 05022013.1513

Masopu

3 komentar:

  1. kereeennn Gung, halusinasi...
    naluri... sebuah kejujuran yang tidak akan pernah bisa di sangkal bahkan oleh hati sekalipun...

    Salam Gung :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mkasih Yul
      Keprihatinan atas banyaknya orang yang sibuk melihat kesalahan itu adanya dari luar, tapi gak lihat ke dalam diri sendiri
      Salam

      Hapus
  2. Mantap bro, gue bookmark dulu blog loe, buat baca2 klo senggang.

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...