Jumat, 21 September 2012

Tangisanku Untuk Bumi Blambangan


http://satunegeri.com/tambang-emas-tumpang-pitu-milik-imn-sampai-2015.html



                Raut muka tak percaya mengiringi langkahku turun dari mobil. Keempat rodanya yang terkunci tanah berlumpur tak lagi mampu bergerak, hingga memaksaku meninggalkan mobil 4WD itu di sini. Sudah beberapa kali kakiku menginjak gas dalam-dalam, namun roda mobil enggan menjauh dari kubangan tanah lempung yang becek tersiram air. Mataku mengejar arah air yang menggenangi jalan itu berasal. “ Ah bukit indah itu kini berantakan. “ gumamku. Sesosok bukit yang beberapa tahun lalu berdiri kokoh dengan balutan warna hijau pekat kini telah muksa. Ya warna hijau yang terlihat seperti bertumpuk 7 lapisan itu kini gersang. Hanya sosok bukit kering kerontang dengan dominasi warna kecoklatan yang menyambut mataku.
            Kuendus aliran air yang menggenangi jalan setapak di depanku. Jalan licin dan menanjak menanti jamahan sepatu bersol karet yang aku pakai. Beberapa kali kakiku terpeleset ataupun terjerembab dalam kubangan air yang sedikit menggenang. Bulu kudukku meremang melihat sisi kiri-kanan jalan yang kulalui. Pepohonan, besar kecil berserak tak tentu arah, tercerabut dari pijakannya. Ada yang hanya terpotong sebatas pangkalnya, ada pula yang tercerabut sampai akar tunggangnya pun keluar menantang teriknya mentari yang semakin tajam menusuk kulit.
http://koranisun.blogspot.com/2011/04/tujuh-bukit-ditaksir-hasilkan-129-juta.html
            Semakin jauh langkahku meninggalkan mobilku yang terjebak, pemandangan yang tak pernah terlukiskan dalam anganku semakin sering menyapa. Sosok-sosok tubuh kumuh berbalut kain kumal mengais lubang-lubang menganga, laksana anjing liar yang sedang membuatkan sarang anak-anaknya yang akan lahir. Menyedihkan. Lubang-lubang dari yang lebarnya hanya setengah meter sampai sekitar 3 meter semakin rapat melambai. Dari yang hanya berkedalaman beberapa depa sampai yang ujungnya tak mampu kulihat. Bukan, lubang itu bukan lubang dari bom yang meledak. Bukan pula ulah serigala hutan saat sedang beranak pinak. Lubang-lubang itu adalah peninggalan para pencari nafkah serakah. Menggali tanpa pernah memikirkan kerusakan yang diakibatkannya.
            Mataku memandang sisi utara bukit tempatku berpijak. Kebun jeruk yang biasanya lebat berbuah kini tak terurus. Beberapa tanaman kering kerontang termakan rerumputan liar yang mengganas. Ranting-rantingya yang tersisa tegak menggantang hembusan angin yang menerpa. Tak ada kilatan sinar matahari yang memantul dari saluran air di kiri kanan kebun. Warna coklat pucat yang hampir terkelupas menghiasi sepanjang selokan yang biasanya menghidupi kebun jeruk itu.
            Di sisi timur kebun jeruk, sawah-sawah bermahkotakan ilalang. Nyaris tak ada padi yang tumbuh di sana. Nasib yang sama menimpa areal persawahan itu. Genangan air di selokan telah menguap, hilang sebelum menyentuh lumpur-lumpurnya. Benih padi yang baru saja ditanam terkerdilkan ilalang yang merampas hara dari perut sang bumi. “ Ah padahal musim hujan baru sebulan yang lalu berganti, tapi kenapa sawah dan perkebunan ini tak mendapatkan air. Bukankah di sisi utara sana hujan masih sering turun? ” sebuah tanya mengusik benakku.
             Mataku memandang ke arah sungai yang memisahkan sawah di sisi timur dan kebun jeruk di sisi barat. Selang-selang berukuran besar menjuntai ke dalam sungai. Berpuluh mesin pompa air berjajar di kedua sisinya, berlomba menghisap air yang tersisa dan memompanya menuju bukit yang aku pijak. Di sana telah menunggu berpuluh-puluh bahkan ratusan orang yang sedang menggerakkan alat pengayaknya, mencari adakah biji emas yang tersisa di dalamnya.
            Langkahku semakin jauh memutari bukit Tumpang Pitu. Dari puncak bukit mataku leluasa menyapu penjuru. Mengawasi setiap titik dengan nada pilu. Di barat sana, hutan Merubetiri terancam kaisan tangan-tangan serakah yang sedang menggali di sini. Lambat laut jarak 27 kilometer akan seakin menipis, hingga akhirnya musnah tak lagi berjarak. Hingga akhirnya hutan lindungku itu bernasib sama dengan tragisnya Bukit Tumpang Pitu.
            Mataku kelu melihat pantai Pancer dan Pulau Merah. Bukan, bukan bayangan tsunami di masa lalu yang menyebabkan mataku pilu. Luka tsunami di masa kecilku telah sembuh, kini luka baru menganga di nadiku. Dua tempat itu kini tercemar mercury dan zat berbahaya lainnya. Ikan yang dulu rajin beranak pinak di pantai Pancer dan Pulau Merah telah tiada, menggelepar terpapar nafsu serakah yang mengakar. Nelayanku kini harus menjauh dari pantai, hanya demi menangkap sekilo dua kilo ikan yang akan digunakan untuk mengganjal usus di perut yang semakin susut.
            Mataku kelu. Mataku perih, melihat alamku kini seperti gurun. Kering kerontang tanpa suara binatang. Yang tersisa hanyalah nafsu binatang, menerkam apa saja tanpa memikirkan masa yang akan datang. Tanpa memikirkan apa yang tersisa untuk anak cucu di masa yang akan datang.
_ _ _
Denpasar. 21092012.1500

Masopu.

Note : terinspirasi dari kisah tambang emas ilegal di Banyuwangi, konspirasi elit yang merusak alam tanah kelahiranku, Banyuwangi.

1 komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...