http://satunegeri.com/tambang-emas-tumpang-pitu-milik-imn-sampai-2015.html |
Raut muka
tak percaya mengiringi langkahku turun dari mobil. Keempat rodanya yang
terkunci tanah berlumpur tak lagi mampu bergerak, hingga memaksaku meninggalkan
mobil 4WD itu di sini. Sudah beberapa kali kakiku menginjak gas dalam-dalam,
namun roda mobil enggan menjauh dari kubangan tanah lempung yang becek tersiram
air. Mataku mengejar arah air yang menggenangi jalan itu berasal. “ Ah bukit
indah itu kini berantakan. “ gumamku. Sesosok bukit yang beberapa tahun lalu
berdiri kokoh dengan balutan warna hijau pekat kini telah muksa. Ya warna hijau
yang terlihat seperti bertumpuk 7 lapisan itu kini gersang. Hanya sosok bukit
kering kerontang dengan dominasi warna kecoklatan yang menyambut mataku.
http://koranisun.blogspot.com/2011/04/tujuh-bukit-ditaksir-hasilkan-129-juta.html |
Semakin jauh langkahku meninggalkan
mobilku yang terjebak, pemandangan yang tak pernah terlukiskan dalam anganku
semakin sering menyapa. Sosok-sosok tubuh kumuh berbalut kain kumal mengais
lubang-lubang menganga, laksana anjing liar yang sedang membuatkan sarang
anak-anaknya yang akan lahir. Menyedihkan. Lubang-lubang dari yang lebarnya
hanya setengah meter sampai sekitar 3 meter semakin rapat melambai. Dari yang
hanya berkedalaman beberapa depa sampai yang ujungnya tak mampu kulihat. Bukan,
lubang itu bukan lubang dari bom yang meledak. Bukan pula ulah serigala hutan
saat sedang beranak pinak. Lubang-lubang itu adalah peninggalan para pencari
nafkah serakah. Menggali tanpa pernah memikirkan kerusakan yang diakibatkannya.
Mataku memandang sisi utara bukit
tempatku berpijak. Kebun jeruk yang biasanya lebat berbuah kini tak terurus.
Beberapa tanaman kering kerontang termakan rerumputan liar yang mengganas.
Ranting-rantingya yang tersisa tegak menggantang hembusan angin yang menerpa.
Tak ada kilatan sinar matahari yang memantul dari saluran air di kiri kanan
kebun. Warna coklat pucat yang hampir terkelupas menghiasi sepanjang selokan
yang biasanya menghidupi kebun jeruk itu.
Di sisi timur kebun jeruk,
sawah-sawah bermahkotakan ilalang. Nyaris tak ada padi yang tumbuh di sana.
Nasib yang sama menimpa areal persawahan itu. Genangan air di selokan telah
menguap, hilang sebelum menyentuh lumpur-lumpurnya. Benih padi yang baru saja
ditanam terkerdilkan ilalang yang merampas hara dari perut sang bumi. “ Ah
padahal musim hujan baru sebulan yang lalu berganti, tapi kenapa sawah dan
perkebunan ini tak mendapatkan air. Bukankah di sisi utara sana hujan masih sering
turun? ” sebuah tanya mengusik benakku.
Mataku memandang ke arah sungai yang
memisahkan sawah di sisi timur dan kebun jeruk di sisi barat. Selang-selang
berukuran besar menjuntai ke dalam sungai. Berpuluh mesin pompa air berjajar di
kedua sisinya, berlomba menghisap air yang tersisa dan memompanya menuju bukit
yang aku pijak. Di sana telah menunggu berpuluh-puluh bahkan ratusan orang yang
sedang menggerakkan alat pengayaknya, mencari adakah biji emas yang tersisa di
dalamnya.
Langkahku semakin jauh memutari
bukit Tumpang Pitu. Dari puncak bukit mataku leluasa menyapu penjuru. Mengawasi
setiap titik dengan nada pilu. Di barat sana, hutan Merubetiri terancam kaisan
tangan-tangan serakah yang sedang menggali di sini. Lambat laut jarak 27
kilometer akan seakin menipis, hingga akhirnya musnah tak lagi berjarak. Hingga
akhirnya hutan lindungku itu bernasib sama dengan tragisnya Bukit Tumpang Pitu.
Mataku kelu melihat pantai Pancer
dan Pulau Merah. Bukan, bukan bayangan tsunami di masa lalu yang menyebabkan
mataku pilu. Luka tsunami di masa kecilku telah sembuh, kini luka baru menganga
di nadiku. Dua tempat itu kini tercemar mercury dan zat berbahaya lainnya. Ikan
yang dulu rajin beranak pinak di pantai Pancer dan Pulau Merah telah tiada,
menggelepar terpapar nafsu serakah yang mengakar. Nelayanku kini harus menjauh
dari pantai, hanya demi menangkap sekilo dua kilo ikan yang akan digunakan
untuk mengganjal usus di perut yang semakin susut.
Mataku kelu. Mataku perih, melihat
alamku kini seperti gurun. Kering kerontang tanpa suara binatang. Yang tersisa
hanyalah nafsu binatang, menerkam apa saja tanpa memikirkan masa yang akan
datang. Tanpa memikirkan apa yang tersisa untuk anak cucu di masa yang akan
datang.
_ _ _
Denpasar.
21092012.1500
Masopu.
Note :
terinspirasi dari kisah tambang emas ilegal di Banyuwangi, konspirasi elit yang
merusak alam tanah kelahiranku, Banyuwangi.
Sungguh Tragis
BalasHapushttp://kanal3.wordpress.com/bahasa-jawa/