http://andrew-christian.blogspot.com/2012/07/misteri-lubang-hitam-black-hole.html |
Suara gamelan bersinergi dengan erangan serangga malam, mengiringi pementasan seni gandrung yang dibawakan grup kesenian Pacul Guwang. Beberapa penari yang mereka bawa silih - sambut menghibur para penonton setianya. Kibasan sampur yang melilit leher para penari sesekali menyapa penonton. Yang mendapat sampur segera berjoget mengiringi gerak tubuh sang penari meliuk bersama alunan suara gamelan.
Suara riuh penonton semakin ramai, mengiring tatap-tatap mata yang tak berkedip memandang ke atas pentas. Setelah beberapa penari meramaikan pentas seni di pendopo kelurahan Temuguruh, akhirnya sang idola tampil. Sosok cantik dengan tubuhnya yang nyaris sempurna memulai aksi. Sambil berjalan, lentik jemarinya terus menari mengikuti irama gamelan yang seakan telah menyatu dengan dirinya. Gerak tubuhnya yang dinamis seakan menjadi dirigen untuk para penabuh gamelan. Saat dia bergerak cepat, hentakan gendang cepat mengikuti gerak kakinya. Pun saat gerak tubunya melambat, hentakan gendang sebagai pemegang komando gamelan ikut melambat.
Idola bernama Onah Anjarwati itu terus menari memutari panggung beberapa kali. Liukan tubuhnya saat melintas di atas pentas menebar harum mewangi. Beberapa penonton yang setia menunggu pementasan sudah tak sabar menerima lemparan sampurnya. Seakan ingin membuat penasaran para penonton, Onah terus menari sendiri di atas pentas. Tubuhnya terus meliuk memberi komando pada penabuh gamelan untuk terus mengikutinya menghipnotis penonton.
Saat purnama semakin meninggi, Onah mulai melemparkan sampurnya. Riuh suara semakin membahana, bersaing dengan hentakan suara gamelan. Yang beruntung mendapat lemparan sampur pertama Onah segera berdiri untuk menari bersamanya. Lincah gerakan Onah yang menari mundur memutari pentas, membuat penasaran lelaki tinggi tegap yang menari bersamanya. Saat langkah kaki lelaki itu semakin cepat memburu, Onah semakin lincah menari sambil menghindar. Suara penonton semakin ramai meledek lelaki yang tak mampu mendekati Onah walau selincam saja. Setiap kali dia menari sambil menyorongkan wajah hendak mencium, saat itu pula dia menggeser tubuhnya. Lelah mengimbangi gerak tubuh Onah yang lincah, membuat penerima sampur pertama mundur dari pentas.
Onah terus menari di atas pentas. Matanya terus memperhatikan setiap sisi panggung, mencari lelaki yang beruntung mendapatkan kibasan sampurnya. Saat melihat pak Lurah duduk bersama sang istri, Onah menari mendekat. Sekali kibas, sampur melingkari leher pak Lurah. Dengan sigap pak Lurah naik ke atas panggung. Tatap mata sang Istri dan warga mengikuti gerak kakinya menari bersama Onah. Sama seperti penerima sampur pertama, pak Lurah berusaha untuk menari sedekat mungkin dengannya. Namun usaha itu selalu gagal. Tubuh yang telah termakan usia tak mampu mengimbangi gerak kaki Onah menyusuri sudut-sudut panggung. Riuh suara penonton mengiringi turunnya pak Lurah dari atas panggung.
Onah terus menari. Suara gamelan yang mengiringi setiap gerakannya semakin rancak dan padu membius penonton yang enggan beranjak pergi. Pertunjukan yang mendekati akhir tak mampu merepatriasi penonton ke rumahnya masing-masing. Mata mereka terus terpatri ke sosok Onah. Saat gending “keriping Sawi” digantikan gending “Keok-keok”, Onah bergerak ke sayap kanan panggung. Seorang lelaki kurus yang sedari awal pertunjukan diam memperhatikannya ketiban sampur. Sekali kibasan lelaki itu langsung naik ke atas panggung.
Gemuruh suara penonton mengiringi lelaki itu menari. Gending “keok-keok” sebagai lagu terakhir terus mengiringi gerakan kedua orang itu menari di atas panggung. Lincah kaki lelaki kurus itu terus memburu langkah Onah. Beberapa kali wajahnya mendekati sang Idola. Namun Onah terus memainkan aksinya. Seakan-akan menggodanya, Onah membiarkan wajah itu mendekati pipi kiri ataupun kanannya. Saat wajah itu semakin mendekat, Onah menggeser kepalanya ke samping. Aksi itu membuat suara tertawa penonton bergemuruh. Saat gending “keok-keok” berakhir, lelaki itu tak bisa mendaratkan satu ciuman pun ke Onah. Dengan wajah penuh kekecewaan dia turun dari panggung, sementara Onah sudah menghilang di balik panggung.
_ _ _
Pementasan gandrung telah usai. Para penari, penabuh gamelan serta perangkat pementasan lain telah usai merapikan peralatan. Mereka duduk memutari sebuah lampu templek yang berada di tengah-tengah lingkaran. Onah duduk menghadapi tumpukan uang saweran. Dengan diawasi anggota lainnya dia mulai menghitung uang hasil saweran. Setelah selesai menghitungnya, dia membagi uang itu sama rata ke semua anggota. Meski dia berpredikat sebagai primadona pertunjukan, tak pernah sekalipun dia mengambil bagian yang lebih besar dari mereka. Baginya semua punya andil dan berhak mendapatkan bagian yang sama besarnya.
“ Mbok Onah, hiro sing kurang ta ( Mbak Onah, apa bagianmu tidak kurang )? “ tanya Slamet sesaat setelah Onah selesai membagikan uang saweran. Slamet adalah penabuh gendang yang biasa mengiringi pementasannya.
“ Cukup Met. Sak mene baen isun wes cukup. ( Cukup Met. Ini saja sudah cukup. ) “ jawab Onah sambil memasukkan jatahnya ke dalam kantung plastik kecil.
“ Nawi mbok Onah kurangan, sun purun dikurangi bagiane. ( Jika mbak Onah kurang, saya ikhlas bagian saya dikurangi. ) “ potong Slamet.
“ Iyo mbok, Nawi riko kurang isun ugo gelem dikurangi bagiane. Mesakaken anak riko nyang omah Mbok nawi riko hing nggowo picis. ( Iya mbak, jika kamu kurang, saya juga mau kok dikurangi bagiannya. Kasihan anak mbak yang di rumah, jika mbak pulang tidak bawa uang. ) “ sahut Parmin yang biasa memainkan kluncing menimpali perkataan Slamet.
“ Sun wes cukup oleh sak mene. Cukup ta kurang kabeh hang ngatur Hang Kuasa. Insya Allah sun sing bakalan kurangan. ( saya sudah cukup segini. Cukup atau tidak yang mengatur Yang Maha Kuasa. Insya Allah aku tidak bakalan kekurangan. ) “ sahut Onah sambil berdiri.
Anggota kesenian Pacul Guwang hanya bisa saling pandang. Mereka sudah tahu siapa Onah. Tak ada gunanya memaksa dia untuk mengambil bagian lebih banyak. Dia tak akan pernah mau. Uang bagiannya yang tak seberapa itu sudah dirasanya cukup. Meski semua tahu jika uang yang diterimanya setiap kali pentas tak pernah dihabiskannya sendiri. Setiap pulang pentas, sesampainya di rumah, uang hasil pementasannya selalu habis dibagikan ke sanak saudara dan tetangga kiri kanannya.
_ _ _
Aku berjalan perlahan mengiringi langkah Mak Onah, sosok wanita tua yang berjalan tertatih di sampingku. Dia menuju lincak rapuh yang berada di emperan rumahnya. Rumah berdinding bambu, berlantai tanah yang terletak di tengah-tengah kebun singkong. Tongkat kayu usangnya menjadi kaki ketiga untuk menyusuri alur hidup yang harus dijalani. Tak lagi tergambar sisa-sisa kejayaannya sebagai bintang pertunjukan di masa lalu. Semua telah muksa termakan usia. Sanak–saudara yang dulu selalu memuja dan mengharap tangan kanannya berada di atas tangan-tangan mereka yang tengadah pun tak lagi mempedulikannya. Pun dengan anak yang terlahir dari rahimnya. Mereka terlupa dari rahim mana terlahir? Dari mana kejayaan yang mereka nikmati kini berasal. Semua enggan menoleh padanya. Mata dan tangan mereka terkatup rapat, setiap kali Mak Onah berjalan melalui mereka. Tak sekalipun mereka berkeinginan menolehnya.
“ Saiki kelendi awak isun iki. Mangan golet-golet dewek. Sing ono hang nulih. Mulih hing ono sing ngereken. Ojo maneh tonggo parak, anak dulur bain sing ono hang ngereken. Tapi sing paran-paran wes. Isun Paran jare. ( Sekarang bagaimana nasibku ini. Makan mencari sendiri. Tidak ada yang mempedulikanku lagi. Jangankan tetangga dekat, sanak saudara saja tak ada yang mempedulikan saya. Tapi tidak apa-apa. Saya apa kata takdir saja. ) “ kata Mak onah sambil duduk di balai bambu. Tongkat kayu yang selalu setia menemani hari-harinya yang semakin senja tersandar di sisi kanan tempatnya duduk. Tangannya perlahan membuka kitab lusuh bertuliskan huruf arab. Dengan mata yang semakin sayu aku melihatnya membaca kitab itu. Kitab yang sudah usang itu bergetar mengikuti tangannya yang gemetaran karena di makan usia.
“ Mak Onah tidak pernah berkeinginan untuk hidup bareng anak cucu mak? “ tanyaku pelan. Sebenarnya aku takut untuk menanyakan hal itu. Aku hanyalah orang baru di sini. Tak mungkin untuk terlalu ikut campur urusannya.
“ Beng… isun sing pingin ngeropeti anak uga sak dulurane mak. Wes cukup mak urip gedigi. Masio mung suarane jaran nang tegal hang ngancani, masio mung suarane jangkrik hang ngancani, isun iklas beng. Iki kabeh wes garise Gusti Allah Hang Kuasa. “ jawab Mak Onah.
Aku terenyuh mendengar jawabannya. Meski telah terbuang dari keluarga dan saudaranya, tak terbersit sekalipun sesal yang terucap. Semua telah dia ikhlaskan. Tak ada niatan untuk mengharap iba dari mereka yang pernah ditolong saat dirinya jaya.
_ _ _
Lintang Lontar
( Cipt. Atang Arthuro-Nanang Yz Vokal Chy Chy Viana)
Pacul Guwang mung kari arane
Kok dibuwang serto wes kari ampase
Kethap kethip mung bisa kethap kethip
Sak marine temurune teko langit
Dadi lintang siro, siro akeh hang nyawang
Eman eman temenan, lintang isun sing kaibukan
Lontar kari mung lontar, lagu iro ke lantar-lantar
Pacul Guwang mung kari arane
Kok dibuwang serto wes kari ampase
Mung…..jaran tegal, jaran tegal hang sing lali
Dadi rewang wayah bengi
Noring sak dawane sepi
Ilang sunare ketinggul mobyore damar
Terantanan….. tetak golleti gandolan
Gandolan kang wujud tangan
Tangan tengen ring nduwuran…………….
_ _ _
Denpasar, 30082012.2045
Masopu
Note :
Terinspirasi dari lagu Lintang Lontar karya Atang Arthuro/Nanany YZ
Selincam = sekejap / sebentar
Lincak = Kursi panjang dari Bambu
Keriping Sawi = Judul lagu yang biasa digunakan untuk mengiringi pementasa gandrung Banyuwangi.
Keok-Keok = Judul lagu yang biasa digunakan untuk mengiringi pementasan gandrung Banyuwangi.
Terantanan = ( Bahasa Oseng ) Tertatih
Isun = ( Oseng ) saya
Beng = ( Oseng asal kata Jebeng ) panggilan untuk anak gadis / wanita muda.
Lintang Lontar = ( Oseng ) Bintang yang terbuang.
Uga = Juga.
Gedigi = Seperti ini.
Aku suka ceritanya Mas, ada budaya Indonesianya. Hmm tapi itu tulisan yang warna biru gak enak dibaca soalnya backgroundnya warna abu #InMyOpinion hehe :))
BalasHapus@lulu Syifa
BalasHapusHahaha iya. Semoga ntar bisa nulis lagu cerpen/novel bertema budaya seperti ini. Masalah itu memang agak menganggu sih, Tujuanku tadinya untuk memperjelas jika itu adalah arti dari dialog di atas. S
alam