http://setitimulya.blogspot.com/2012/03/demo-apa-katamu-tentang-demo.html |
11 Maret 1966
Barikade mahasiswa semakin merapat. Iringan mobil menteri
yang akan ikut rapat kabinet tidak lagi bisa bergerak. Maju ataupun mundur,
jalan telah terkunci. Mahasiswa dengan penuh semangat mengepung, meneriakkan
tiga tuntutan yang semakin akrab di telinga rakyat. Kibaran bendera di tangan beberapa
mahasiswa, seperti tongkat kecil di tangan dirigen orchestra, menyemangati koor
menuntut adanya perubahan. Spanduk kain dan kertas ikut menari, semarakkan
demonstrasi yang telah berlangsung berhari-hari.
Di dalam mobil, menteri dan ajudannya kebingungan. Wajah
pucat mereka semakin memutih, seperti mayat yang tidak lagi teraliri darah.
Tarian dan paduan suara yang terdengar dari luar, ciutkan nyali. Tas kerja dan
buku catatan tercengkeram erat di tangan, merapat di depan dada. Mereka semakin
ketakutan, satu persatu ban mobil dikempesi demonstran. Belum lagi rasa
terkejut berlalu, beberapa mahasiswa yang ada di kiri-kanan mulai menggoyang
mobil. Seperti sebuah biduk di tengah badai, bergoyang menanti saat tenggelam.
“Hentikan!” bentak sang menteri yang tidak tahan dengan
aksi demonstran. Dia berteriak sambil
menurunkan kaca mobilnya. “Kami akan
menghadiri rapat kabinet di istana!” lanjut lelaki itu dengan muka pucat yang
masih terlihat.
“Bapak ingin ikut rapat? Silahkan jalan ke istana” jawab
seorang demonstran yang ada di dekat sang menteri. Mahasiswa itu berkata sambil
menggerakkan tangan mempersilahkan sang menteri berjalan. Dia membungkukkan
badan seperti seorang matador yang memberi salam penghoramatan pada penonton,
saat aksinya berhasil mengatasi keganasan banteng.
“Jalan…jalan…jalan…jalan…” teriakan demonstran membahana, menyambung kalimat yang
baru saja disampaikan mahasiswa tadi.
Seperti suntikan anabolic-steroid, Chaidar El Usman, mahasiswa
tegap berkulit coklat itu melanjutkan kalimat sebelumnya dengan tindakan.
Tangan kanannya menekan handle pintu dan membukanya. Dengan suara yang sedikit
ditinggikan, dia kembali meminta menteri dan ajudannya untuk turun dan berjalan
kaki jika tetap berkeinginan mengikuti rapat kabinet. Dia tahu rapat kabinet
sudah berlangsung sedari tadi. Menteri yang saat ini tertahan demonstran telah
terlambat.
Sang menteri awalnya menolak perintah itu. Namun desakan
dari mahasiswa membuat nyalinya semakin lumer. Setelah memandangi wajah
ajudannya yang ketakutan, akhirnya dia keluar dari mobil dan berjalan kaki
menuju istana. Setiap langkah yang terentang, siulan dan pekik tuntutan mahasiswa
membahana. Jerih semakin menindih, semakin dekat ke istana, barisan mahasiswa
semakin merapat, sementara pekik tuntutan semakin kuat mengudara, bersinergi
dengan kibasan bendera yang menari.
_ _ _
Sehari setelah rapat kabinet yang berlangsung tidak
sebagaimana mestinya, sebuah kabar gembira datang. Surat Perintah Sebelas Maret
semalam ditandatangani Presiden Soekarno di Istana Bogor. Surat yang
ditandatangani presiden di depan 3 jenderal itu menjadi landasan Soeharto untuk
membubarkan PKI dan seluruh organisasi Underbownya. Tidak hanya membubarkan
PKI, Soeharto dengan dukungan Angkatan Darat khususnya dari RPKAD segera
menangkap sejumlah menteri yang diduga terlibat dengan organisasi itu.
Mahasiswa, rakyat dan tentara yang rindu adanya angin
perubahan tersenyum bahagia. Supersemar dan ketegasan yang ditunjukkan Soeharto
seperti oase di tengah gurun, menyejukkan dan memantik api harapan baru. Mereka
bernyanyi dan menari. Jalan yang berhari-hari menjadi pentas demo berubah
menjadi tempat pesta untuk meluapkan kemenangan demonstran atas asa yang terus
mereka tebar.
$
$ $
Jakarta, Mei 1998
Dengan diawali kisah tragis terbunuhnya 4 orang rekannya,
lelaki kurus berkaca mata minus itu memulai orasinya. Bertumpu pada dua kaki
yang berpijak di undakan tertinggi teras gedung DPR-MPR, Syakir Usman berupaya
membakar semangat demonstran yang mulai menyemut. Dia terus berorasi sambil
menebar pandangan ke segala penjuru. Sesekali senyum sumringah memancar dari
bibirnya, melihat banyak tokoh besar yang datang untuk mendukung gerakan
mahasiswa melawan hegemoni kekuasan yang telah mengakar 32 tahun.
Tidak jauh dari tempat Syakir berorasi, Guruh Soekarno
poetra, Hariman Siregar, Prof.Dr. Sri Soemantri, HJ Princen, Ny.Supeni dan
beberapa tokoh lain berdiri satu barisan dengan demosntran. Setiap teriakan yang
dilakukan oleh Syakir, disambut dengan yel-yel mahasiswa dan tokoh-tokoh yang
hadir. Orasi berapi-api yang diucapkannya diakhiri dengan pekik membahana.
Gemuruh masa menirukan pekik syakir membahana, memantulkan gaung yang kembali
terdengar di telinga.
Semakin siang, suasana demo semakin ramai. Riuh suara
mahasiswa yang menimpali kalimat orator terus membahana, memekakkan telinga
yang mendengarkan. Beberapa mahasiswa berhasil memanjat atap gedung rakyat,
memancing demonstran lain melakukan hal yang sama. Perlahan atap gedung wakil
rakyat dipenuhi demonstran. Orator yang tadinya hanya berorasi dari atap mobil
atau bus dan teras gedung dewan pun ikut memanjat. Dari sana, bersenjata
megaphone, para orator mengabaikan panas yang membakar kulit, meneriakkan
kalimat-kalimat penuh semangat.
Mendadak suasana demo menjadi senyap. Sebuah rilis berita
yang disiarkan melaui TVRI dan RRI menghentikan semuanya. Pengumuman tidak
terduga itu seperti air surga, menyiramkan kesejukan atas dahaga yang lama
mereka nanti. Serentak demonstran saling peluk dengan orang yang ada di sampingnya.
Beberapa melakukan sujud syukur. Di sudut lain, sambil berangkulan sekelompok
mahasiswa menari dan bernyanyi sambil berputar.
“Hidup reformasi….” Pekik Syakir yang saat itu kembali memegang
megaphone dengan tangan kiri. Tangan kanannya mengepalkan tinju ke udara.
“Hidup reformasi…..” gemuruh masa mengudara, menyusul
suara Syakir.
“Hidup mahasiswa…….Hidup rakyat….” Kembali Syakir
memekik.
Masa larut dalam euphoria. Mereka berjoged, bernyanyi dan
berjingkrak-jingkak di atas tanah. Beberapa lainnya, tidak peduli dengan tanah
dan rerumputan yang kotor, laksana orang yang baru terbebas dari himpitan
jeruji penjara, ada yang tidur telentang ataupun terduduk dengan meraup dedaun
yang terjatuh, memainkan dengan jemari.
@
@ @
21 Mei 2013
Setelah beberapa bulan rencana kenaikan harga BBM hanya
sebatas wacana, hari ini rencana itu sedikit demi sedikit menunjukkan wujud
aslinya. Paripurna DPR mengenai RAPBN-P 2013 telah berakhir semalam. Bunyi palu
yang diketukkan 3 kali oleh Marzuki Alie selaku ketua DPR seakan menyambung
dagelan baru dari gedung hijau Senayan. Putusan yang dibuat tak ubahnya seperti
aksi anak-anak TK yang masih hijau saat memutuskan sesuatu, yang setuju
berkumpul dengan yang setuju, yang kontra dengan kenaikan harga BBM berkumpul
dengan yang kontra. Hanya segelintir anggota dewan yang memegang komitmen dan
janjinya memperjuangkan nasib rakyat kecil, yang lainnya serupa paduan suara,
mengiyakan amanat partai, bukan amanat rakyat yang semakin melarat. Vooting
selalu jadi akhir sebuah musyawarah yang tidak lagi bermufakat.
Menyadari suara tidak lagi terwakili, jerit jelata tidak
lagi mengundang iba, selain senjata menjadi pengumpul suara di masa-masa pemilu
dan pemilukada, mahasiswa bergerak untuk bertindak. Serentak nurani terusik,
menuntut keadilan yang hanya dogmatik. Walau tidak sebesar demonstrasi
mahasiswa di tahun-tahun sebelumnya, nyali tidak pernah terkikis habis. Walau
hanya segelintir, mereka bergerak menentang keputusan yang hanya menguntungkan
kaum segelintir.
Pengumuman resmi kenaikan BBM baru akan dibaca beberapa
jam lagi, tapi eskalasi demo mulai merambat. Setelah seharian hanya berkutat di
dalam kampus, mematangkan rencana demo yang akan dilakukan, Abidzar El Usman
dan teman-temannya bergerak keluar. Dengan megaphone di tangan kanan, ikat
kepala merah melingkar di kepala, dia berjalan keluar gerbang kampus. Bibirnya
terus berucap, membakar semangat teman-temannya yang mengikuti di belakang.
Meski mentari semakin rebah ke ufuk, meski barikade polisi siaga tak jauh dari
kampus, dia tetap bergerak diikuti ratusan teman-temannya. Mata yang berapi-api
memantulkan sinar matahari yang semakin memerah. Suara yang semakin serak tak
henti berteriak. Memancing mata untuk menoleh ke arahnya.
“Batalkan kenaikan BBM….” Pekik Abidzar. Dia terus
berjalan ke kerumunan polisi yang berjaga.
“Batalkan kenaikan BBM….” Megaphone di tangan Abidzar
terus meraung. Suara demonstran terus menimpali setiap kalimat yang dia
ucapkan.
Polisi yang sedari tadi berjaga merapatkan barisan.
Tameng-tameng yang sempat tergeletak di atas jalan, pentungan yang tadi sempat
jadi tumpuan berdiri pengganti salah satu kaki yang lelah kini kembali tegak
siaga di tangan kanan. Gagangnya tergenggam erat dan semakin erat dengan makin
menyempitnya jarak pemisah antara polisi dan demonstran. Komandan yang bertugas
segera berdiri di baris depan, mennghampiri Abidzar El Usman, koordinator
demonstran untuk mencoba berunding dengan mereka.
“Berhenti!” perintah komandan yang bertugas saat jarak
pemisah antara mahasiswa dan polisi tak lagi lebih dari 5 meter. Setiap kali
dia hendak berkata, koor “huuuuu” menyambut kecap bibirnya. Berkali-kali dia
mencoba menenangkan masa, tapi tidak juga berhasil. Kedua tangan yang terangkat
meminta masa tenang, selalu bersambut kata “huuuuu”
Semakin
lama suasana semakin memanas. Barikade polisi semakin merapat. Water canon yang
sedari tadi berada di kejauhan, mendekat. Moncong-moncong pelontar gas air mata
tersembul di antara pentungan kayu yang mengudara. Meski tidak menembakkan
mimisnya, posisi seperti itu memancing emosi demonstran. Entah bagaimana
bermula, tiba-tiba bongkahan kayu mengudara, menerjang barikade polisi. Komandan yang masih berada
di baris depan segera merunduk. Dia mundur dan bersembunyi di balik
tameng-tameng yang semakin kuat digenggaman.
Bersama gelap yang
mulai turun, lemparan batu semakin sering melintas, terbang dari kedua kubu
yang berlawanan. Asap ban yang dibakar, memanaskan suasana yang tidak lagi
kondusif. Awalnya hanya sesekali tembakan peringatan memecah udara, tapi
semakin lama semakin sering bersama dengan makin seringnya lemparan batu dari
demonstran. “Darr… darr..” pelontar gas air mata mulai menyalak. Memuntahkan
isinya. Asap yang tersebar segera mengurai konsentrasi masa yang terpaksa
mundur.
Sambil mundur, mahasiswa melemparkan apa saja. Pecahan
pot, kayu ataupun batu menjadi balasan gas air mata. Beberapa mahasiswa kembali
membakar ban. Asap hitam yang membumbung bersinergi dengan pekat yang merapat,
mengganggu jarak pandang. Mereka terus mundur sambil memapah beberapa teman
yang terluka kena lembaran ataupun pukulan polisi yang terus memburu.
_ _ _
Lelaki berambut putih itu hanya bisa memandang tubuh
pemuda di depannya. Perban yang melilit
kepala pemuda itu tebal sekali, nyaris menyembunyikan rambut hitamnya. Hanya
sedikit rambut di ubun-ubun yang menyembul, memperlihatkan bentuknya yang ikal
bergelombang.
“El….kakek tidak pernah melarangmu menyuarakan jeritan
jelata. Kakek tidak melarangmu menantang barikade polisi. Kakek hanya
menyayangkan kecerobohanmu.” Suaranya tertahan. Dua titik air mata mengambang
dari kelopak matanya yang keriput, perlahan menggenang dan mengalir menuruni
kulitnya yang keriput.
“Sejak raibnya pamanmu, Syakir Usman, hanya kamulah harapan
kakek yang tersisa. Ayahmu, Judith El Usman pun hilang saat usiamu 5 tahun dan
hingga kini tidak pernah ada kabarnya. Hanya kamulah penerus keluarga Usman
yang tersisa. Tapi kini, luka ini……” kembali suaranya tertahan. Dia diam
sejenak, sesenggukan menahan air mata yang terus berontak ingin dimuntahkan.
“Kakek khawatir kamu tidak akan sama seperti dulu.”
“El… jika dulu kakek demo dengan didukung masyarakat, pun
dengan yang dilakukan almarhum pamanmu, kini aku tidak melihat hal itu pada
yang kamu lakukan. Dulu, saat kakek dikejar aparat, masyarakat sepakat
menyembunyikan kakek dan teman-teman sejawat. Saat ada yang sekarat, masyarakat
berlomba merawat. Saat pamanmu berdemo dan dikejar polisi, hal yang hampir sama
terjadi, Masyarakat korbankan diri, sembunyikan penyambung jerit hati mereka.
Tapi kini kamu tidak mendapatka apa yang kami dapat. Kamu demo sampaikan jerit
jelata, tapi kamu belum memenangkan hati mereka, hingga mereka enggan menolong
saat dirimu terluka.”
“El… ini bukan salahmu. Ada oknum-oknum yang hanya
numpang nama. Ikut demo hanya setor wajah, agar dinilai sebagai pahlawan
jelata, walau niatnya hanya demi tahta. El…aku yakin hatimu setulus paman dan
ayahmu, hatimu pun sejujur almarhumah ibumu, tapi perjuangan tidak hanya
bermodal itu. Perjuangan butuh lebih dari itu. Kamu harus jeli menangkap
moment, kamu harus jeli menilai teman, agar ‘kesialan’ sepertimu ini tiada
terulang. El…apapun keadaanmu, kakek tetap bangga. Darah kakek masih mengalir
di nadimu. Teruskan itu, meski mungkin akan membawamu bersua ayah, ibu dan
pamanmu.”
Chaidar El Usman berdiri. Berjalan ditemani tongkat
tuanya, tertatih menuju ruang praktek dokter. Kalimat-kalimat tentang
kemungkinan keadaan Abidzar di masa depan yang tadi disampaikan padanya masih
mengganggu pikiran. Dia ingin mengetahui efek dari luka di kepala cucu
satu-satunya itu.
_ _ _
Denpasar, 27062013-0358
Masopu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar