“Vit, maukah kau
menerima cintaku?”
“Her, aku tidak mungkin
menerima cintamu. Sadarlah, aku sudah berpunya.” Suaraku sedikit kukeraskan,
berharap agar lelaki yang ada di depanku sadar ini. Sudah tidak terhitung lagi
berapa kali aku menolak cintanya, tapi dia terus mengejarku dengan kata-kata
suci itu.
“Vit, kamu akan
menyesal dengan penolakanmu ini.”
Heru berdiri. Raut sinis menghambur dari wajahnya. Tatap
mata yang biasanya memandangku dengan penuh kasih, seperti menyimpan bara yang
siap melahap tubuhku. Aku jerih, apalagi saat melihat bibir tipis yang
kehitaman itu bergetar.
“Pulanglah! Dan jangan
pernah menemuiku untuk menyatakan hal itu.” Kataku dengan suara yang sedikit
aku pelankan.
“Kamu akan menyesal.”
Heru berlalu. Dia terus berjalan dan tak sekalipun
menolehkan wajah, seperti biasanya dia meninggalkanku. Langkahnya yang bergegas
hanya menggemakan suara langkah yang terasa lebih keras dari biasanya.
_ _ _
“Cerai”
“Cerai?”
Aku mengulang kata yang baru saja kudengar. Rasa tidak
percaya dan keterkejutanku seperti bersatu, berupaya menolak apa yang baru saja
kausemburkan. Detak jantung yang serasa sempat terhenti kembali menghentak,
bahkan kini terasa lebih kencang dan tidak menentu.
“Apa salahku?”
“Aku muak dengan
perselingkuhanmu. Aku malu setiap kali mendengar namamu jadi gunjingan
orang-orang di sana.”
“Selingkuh? Dengan siapa?”
‘Demy, kamu selingkuh
dengan Demy.”
“Demy? Aku hanya
berteman dengannya.”
“Berteman? Kenapa harus
selalu berbagi bangku dengannya? Jangan-jangan kamu pun telah berbagi bantal
dengannya?” cecarmu dengan nada suara yang meninggi.
Kembali aku terhenyak. Jadi kamu mencurigai kedekatanku
dengan Demy. Demy memang tampan. Jujur dia lebih tampan darimu. Demy memang
humble, jauh lebih humble darimu. Dia bisa memberi perhatian padaku, sesuatu
yang telah kau sapih dariku, hingga aku sering merindukan saat-saat kamu
memperhatikanku dulu. Dia selalu menyediakan telinganya untuk curahanku tentang
sesuatu. Tapi aku tidak pernah tertarik padanya. Tidak sekalipun terlintas dibenakku
untuk berbagi hati dengannya, seperti semasa kuliah dulu.
“Aku memang sering
berbagi bangku dengannya, tapi bukan berarti aku akan mau berbagi bantal
dengannya apalagi sampai menjadi bantal tidurnya. Aku hanya berbagi beban kerja
karena dia mau menyediakan telinga untuk curahanku.”
“Bullshitt! Kenapa kamu
tidak pernah cerita padaku? Aku suamimu!” bentakmu dengan raut muka membara.
“Kamu suamiku, tapi
tidak pernah ada untukku. Aku istrimu, tapi hatiku kerap kau penjara dalam
sepi. Saat aku butuh teman berbagi teh, kamu sibuk dengan rupa-rupa kata yang
terserak dan ingin kaubendel dalam satu cerita. Saat aku ingin sandarkan
kepala, kau terlena dalam reka cerita yang tiada pernah nyata.”
“Heh! Kau yang
selingkuh, kenapa menghakimiku?” Hardikmu sambil membanting tumpukan kertas
yang sedari tadi menggunung di depan printermu.
“Aku muak. Tiap kali
bertengkar, selalu kau ungkit kisah itu. Demy memang punya kisah lalu denganku.
Demy memang pernah menaruh hati padaku, tapi itu dulu. Kini dia telah
berkeluarga, dia telah punya anak dan dia telah berjanji padaku dan juga Lala
istrinya bahwa kami akan menutup kisah itu. Aku percaya itu, karena setiap aku
berbagi bangku dengannya, semua atas sepengetahuan istrinya. Tidak ada yang aku
sembunyikan. Stop menjadikan dirinya sebagai pembenar atas rasa cemburumu.”
Aku menarik nafas dalam-dalam. Kembali bayang-bayang
pertengkaran sebelumnya bermain di hati. Umpatan dan kata-kata kasar selalu
mengiringi hari-hariku selama 3 bulan terakhir. Pernikahan yang tidak lagi
seumur jagung, tak jua menumbuhkan benih-benih rasa saling percaya dan
menghargai. 2 tahun pernikahan tanpa anak, ditambah deadline buku yang terus
memburu Dimas membuatnya benar-benar telah berubah. Suamiku itu tidak lagi sehangat
dulu, tidak lagi seramah dulu. Sungguhpun aku ingin bertahan dan mencoba
mengerti, tapi kata cerai yang aku dengar untuk ketiga kalinya dalam minggu ini
benar-benar menghancurkan semua inginku.
“Kukira dengan semua
kesetianku, kamu kembali sebagai Dimasku yang dulu, tapi ternyata tidak. Kamu
tidak pernah melihat air dalam bejana hatimu, masih layakkah air itu untuk kamu
jadikan cerminan. Kata cerai-mu yang ketiga merupakan akhir semuanya. Aku tidak
akan memaafkanmu selama kamu belum menyadari apa salahmu dan meminta maaf pada
Papa-Mamaku. Selamat tinggal.”
_ _ _
Sekali lagi aku memandang sudut-sudut kamar. Foto-fotoku
yang tergantung telah kupungut dan kusimpan dalam tas. Semua baju dan barangku
pun telah aku kemasi. Tas dan koperku pun telah tersimpan di bagasi taksi yang
sedari tadi menunggu di halaman rumah. Aku menarik nafas dalam-dalam,
memandangi meja rias yang selama ini selalu jujur padaku tentang apa yang
tergambar di wajahku. Aku berdiri dari kursi dan melangkah.
Di depan pintu aku berhenti. Getar halus dari dalam tas
hentikan langkahku. Suara serak vokalis Air Suply menyanyikan lagu “goodbye”
memaksaku untuk segera mengambil handphone dan membuka pesan yang baru saja
masuk.
“Jika aku tak memilikimu,
tidak juga Dimas.Aku merana, Dimaspun merana. Aku terluka, kaupun harus
merasakannya.”
Aku tertergun. Air mataku kembali menitik. Rasa sakit
yang aku rasa lebih dalam. Perih yang terpatri lebih dalam dari saat aku
meninggalkan Dimas dalam kesendiriannya. Aku terhuyung ke kursi yang ada di
samping pintu. Air mata semakin deras mengalir, menyadari semua yang telah
terjadi. Seorang adik yang tega memakan jantung kakaknya sendiri.
Aku mencoba berdiri. Kutinggalkan handphone di atas
kursi. Tersaruk langkah kuayun ke arah taxi yang sedari tadi setia menanti.
_ _ _
Denpasar.
24062013.14.55
Masopu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar