" Al, kamu tunggu di mobil saja ya! " kataku pada Allanis yang sedari tadi duduk manis di sampingku. Allanis wanita hitam manis dengan rambut keriting terurai sampai ke punggungnya. Kulitnya hitam manis dipadu dengan bentuk bibir mungil menggantung di bawah hidungnya yang mancung. Alisnya yang tebal menambah kesan manis yang ada padanya.
" Aku mau ikut kamu Jon. Masak gak boleh sih? " rengek manja Allanis sambil menarik lengan bajuku lembut. Matanya genit menggoda.
" Gak usahlah Al. Aku gak lama, paling hanya sekitar 15 menit saja. " jawabku pelan seraya turun. Tanganku segera menggenggam kamera yang sedari tadi menggantung di leherku. Sementara Allanis memilih untuk diam di dalam honda jazz yang aku parkir di depan sebuah rumah tua peninggalan jaman Belanda.
Langkah-langkah kecil segera menuntunku menyeberangi jalan beraspal hitam mulus di depanku. Jalan lurus sepanjang 500 meter yang menurun dengan hiasan beraneka bunga yang berwarna-warni di kiri-kanannya. Hampir tak ada rumah di sepanjang jalan tersebut selain beberapa bangunan tua yang telah dijadikan sebagai cagar budaya. Runah-runah tua dengan hiasan pohon-pohon cemara yang tinggi menjulang. Menurut perkiraanku usia tanaman tersebut mungkin hampir sama dengan usia rumah-rumah yang ada. Sementara di halamannya yang asri terawat tampak berhias aneka bebungaan yang merajuk indah menggoda mata untuk tetap menatapnya. Pun saat senja mulai menyemaikan kepekatannya seperti saat ini.
Dari beberapa sudut aku sibuk mengambil foto-foto. Rumah-rumah tua tersebut tenang menerima setiap kilatan lampu blitz yang terlontar dari bibir bulat kameraku. Sementara dedaunan dan bunga yang berjejer rapi di halaman menari menikmati buaian sejuk angin senja. Angin yang menerbangkan aroma mewangi aneka bunga yang dilaluinya. Begitu menggoda untuk terus kunikmati sesapan tiap sesapannya.
Setelah puas mengambil gambar, aku berencana untuk kembali ke mobilku. Saat itu tak sengaja mataku menatap kilatan yang memantulkan sinar lampu yang baru saja menyala. Kilatan yang mengundang rasa penasaranku. Segera kuhampiri asal kilatan cahaya tersebut. Sebuah liontin dari perak berbentuk mawar tergantung di dahan mawar yang tengah lebat berbunga. Aku meraih liontin tersebut dan kumasukkan ke saku jaketku..
###
Malam semakin larut. Suara lalu-lalang kendaraan tak lagi sering menyapa telingaku. Sejuknya udara kota kecil yang setahun lalu aku kunjungi kini tak lagi kurasakan. Gerah terus membebat tubuhku yang letih setelah hampir 6 jam berkedara dari Surabaya. Ingin mata ini kupejamkan, tapi rasa gerah yang menyiksaku tak jua pergi meski AC sudah aku set ke titik terdinginnya.
" Dari pada pusing ngerasain panas ini, mending aku lihat foto-foto hasil jepretanku tadi " gumamku sambil menyalakan laptop yang sebenarnya baru sejam yang lalu aku matikan. Aku buka satu persatu foto yang tadi sempat aku abadikan dengan kameraku. Foto-foto yang begitu indah bergantian menghiasi layar monitor laptopku. Ada sekitar 7 foto yang telah kulihat dan hasilnya begitu bagus untuk bahan tulisanku di majalah tempatku bekerja. Saat kubuka foto ke-8 dari 15 foto yang kuambil mataku terbelelak.
" Ya ampun foto siapa itu? " tanyaku dalam hati sambil terlonjak kaget. Terlihat wajah seorang gadis dengan balutan baju putih yang agak kusam. Sorot matanya begitu sendu dengan lingkaran hitam menghias sekitar kelopak matanya. Rambutnya yang sekeriting rambut Allanis terurai menutup sebagian wajahnya.
" Mas.............." terdengar suara lembut menyapa gendang telingaku.
Aku tersentak. Aku tergidik. Mataku segera liar menyisir setiap sisi kamarku. Sunyi. Tak ada siapapun di kamarku selain diriku sendiri. Mataku terhenti di liontin yang tadi aku taruh di meja. Aku kaget saat melihat liontin berbentuk mawar tersebut terbuka. Seingatku liontin tadi masih tertutup dan aku taruh begitu saja ketika sampai di hotel. Aku tak pernah menyentuhnya lagi. Sunyi kembali datang menghampiri kamarku
Aku kembali memperhatikan foto yang terpampang di layar laptopku. Bayangan foto cewek yang tadi ada tak lagi terpampang di sana. Aku kucek-kucek mataku. Masih sama seperti terakhir aku lihat, bayangan cewek itu telah hilang dari foto tersebut. " Ah hanya halusinasi saja" kembali aku bergumam. Kucoba melihat foto yang lain. Masih bangunan yang sama yang kufoto. Dan kini tak ada apa-apa. Keyakinanku tentang halusinasiku semakin menebal.
" Ya Allah " Teriakku terpenjat. Aku terlompat dari tempat tidurku. Beruntung laptop aku taruh di atas tempat tidur, seandainya kutaruh di pangkuanku mungkin laptopku akan terlempar. Kembali wajah gadis yang tadi muncul lagi. Kali ini di depan pintu rumah tua tersebut. Aku penasaran, apakah foto yang lain juga seperti itu?. Segera aku lihat foto-foto yang lain yang tersisa. Di 5 foto tersisa selalu terlihat foto cewek tersebut. Bahkan 2 foto terakhir terlihat jelas ada bercak darah menghiasi bagian bajunya. Saat aku lihat lagi foto-foto tersebut untuk kedua ataupun ketiga kalinya, foto bayangan cewek tersebut hilang.
Perlahan bulu kudukku meremang. Suara jangkrik yang tadi terdengar kini terdiam. Suasana kamarku semakin hening. Hening yang mencekam. Udara di dalam kamarku serasa makin memanas. Gerah makin kurasakan.
" Kringg.....kringgggg " Dering hp mengagetkanku. Aku lihat di monitor hp tak ada nama muncul. Hanya barisan nomer asing yang menyapa hpku. Sederet nomer berakhiran angka 07 terpampang di sana." Siapa ini jam segini telepon" gumamku sambil melirik jarum jam yang telah menunjuk angka 00.30 dini hari.
" Halo ......"
" Mas tolong aku " sahut suara seorang wanita di seberang sana. Suaranya yang serak disertai rintihan halus membuat bulu kudukku yang tadi meremang kembali berdiri dengan tegaknya.
" I....iya ini siapa ya? " tanyaku dengan suara gugup.
" Aku Nayla. Temui aku di jalan mawar 07 ......." suara telepon tersebut terputus.
Aku kembali duduk di ranjangku. Kumatikan laptop yang tadi kuhidupkan. Aku tak ingin lagi melihat foto-foto itu malam ini. Aku akan melihatnya esok pagi dengan Allanis. Aku rebahkan tubuhku yang lelah ke empuknya ranjang berukir di kamarku. Lama mataku tak mau terpejam. Berulangkali tubuhku kubolak-balikkan, namun mataku tak mau kulayukan dalam lelap. Antara tersadar dan terlena dalam buaian alam bawa sadar, aku merasakan ada benda kecil yang jatuh ke dadaku.
" Ya Ampun" kembali aku terlonjak kaget. Liontin berbentuk mawar tersebut kini telah ada di tempat tidurku. Posisinya yang terbuka membuatku melihat foto dua sosok wanita di sana. Yang satu aku tahu itu Allanis, tapi yang satunya siapa? Sejak 8 bulan aku jadian dengan Allanis, aku tak pernah mendengar dia menyebut punya saudara cewek. Yang aku tahu dia hanya punya seorang adik cowok yang masih duduk di bangku SMP.
" Mas tolong aku......" terdengar suara itu menyapa gendang telingaku lagi. Aku lihat sekelilingku. Tak ada siapa-siapa. Suara itu begitu dekat, tapi tak ada siapa-siapa di kamar ini. Allanis sudah tidur di kamar sebelah sejak jam 10 tadi.
" Mas........" Aku terlonjak lagi. Mataku nanar memandang ke arah liontin mawar tersebut. Aku kaget karena suara tadi berasal dari sana.
Aku terus memandangi foto di liontin tersebut. Perlahan hembusan angin halus menyeruak. Aroma mewangi kamboja riang menggoda penciumanku. Bulu kudukku semakin tegang meremang. Mataku terus terpaku lurus menatap liontin tersebut.
Nada-nada panggilan terus menerus menyapaku. Aku gelisah. Malam yang hening terasa panjang dan menakutkan. Suara hembusan blower ac serasa begitu mengerikan. Sesekali lolongan suara anjing menghangatkan telingaku bergantian dengan suara yang memintaku ke rumah tua di jalan mawar 07. Tiap kali lolongan menggema, saat itu pula bulu kudukku meremang berdiri. Keberanianku luruh bersama lolongan anjing yang sesekali menyapa. Sesekali aku dikejutkan bayangan putih yang seakan menari di belakangku, tapi saat kutoleh hanya dinding putih kamarku yang menyapa.
Akhirnya puncak keberanianku luruh saat jarum jam mendekati angka 3 dinihari. Beringsut langkah kaki menyeretku ke arah pintu. Kuayunkan langkah kakiku menuju kamar Allanis. Bergegas aku ketuk pintunya. Lama tak ada jawaban dari dala. Saat hembusan angin dingin menyapa bulu kudukku, pintu kamar Allanis terbuka. Kulihat wajah kusut menyambutku di sana.
" All kita harus pergi ke rumah yang tadi aku foto " kataku ketika wajah Allanis menyambutku di depan pintu.
Pertanyaan penuh nada heran segera menghambur dari bibirya. Dengan segera aku ceritkan apa yang aku alami. Tak lupa aku tunjukkan liontin mawar yang aku temukan senja tadi. Mata Allanis terbelalak melihatnya.
" I....itu liontin adikku! " seru Allanis
Setelah menerima penjelasanku, Allanis segera mengikutiku keluar losmen. Kupacu honda jazzku ke rumah tua di jalan mawar tersebut. Tak lama aku sampai disana. Saat aku turun, seperti ada kekuatan gaib yang menyeret langkahku ke arah pot bunga mawar ke 7 dari gerbang rumah. Pot dimana aku temukan liontin tersebut. Tak sengaja kakiku terpeleset. Badanku yang limbung menimpa pot mawar hingga pecah. Sementara penyanggah di bawahnya yang pot dipasang terbalik ikut roboh.
Allanis tiba-tiba menjerit histeris. Tangannya menunjuk ke arah puing-puing pot yang berserakan. Sebuah tulang tangan tersembul dari lubang yang ada di bawah pot. Aku yang masih terjatuh ikutan terkejut. Dengan sisa-sisa keberanianku, kucoba terangi tulang tersebut cahaya dari layar hpku. Allanis menangis semakin keras saat sorotan cahaya Hp mengarah ke tulang tangan tersebut. Sebuah cincin melingkar di jari manis tengkorak tersebut.
" I....itu cincin a...aadikku " kata Allanis sebelum akhirnya pingsan.
Kukumpulkan sisa keberanianku. Setelah menganggkat tubuh Allanis ke mobil, aku kembali tuk melihat ke dalam lubang tersebut. Sesosok tengkorak utuh teronggok di sana. Baju yang digunakannya sudah tak berbentuk lagi. Robek sana-sini. Sungguh mengerikan. Segera aku menghubungi kantor polisi terdekat untuk memberi tahukan penemuanku ini.
Aku menunggu polisi datang. Kucoba menyadarkan Allanis dari pingsannya. Setelah berhasil, dengan terbata-bata dia menceritakan tentang adiknya yang hilang setahun yang lalu. Adiknya yang aktifis kampus dinyatakan hilang sesaat setelah ikut demonstrasi menentang pembebasan seorang koruptor. Sejak saat itu keluarganya terus mencari adiknya tersebut kemana-mana. Namun tak pernah ketemu.
Saat melihat liontin yang aku temukan tadi, Allanis yakin itu kepunyaan adiknya. Dan semakin kuat saat dia melihat tengkorak tangan adiknya di bawah pot mawar tersebut.
Denpasar, 17122011.0456
Aku terus memandangi foto di liontin tersebut. Perlahan hembusan angin halus menyeruak. Aroma mewangi kamboja riang menggoda penciumanku. Bulu kudukku semakin tegang meremang. Mataku terus terpaku lurus menatap liontin tersebut.
Nada-nada panggilan terus menerus menyapaku. Aku gelisah. Malam yang hening terasa panjang dan menakutkan. Suara hembusan blower ac serasa begitu mengerikan. Sesekali lolongan suara anjing menghangatkan telingaku bergantian dengan suara yang memintaku ke rumah tua di jalan mawar 07. Tiap kali lolongan menggema, saat itu pula bulu kudukku meremang berdiri. Keberanianku luruh bersama lolongan anjing yang sesekali menyapa. Sesekali aku dikejutkan bayangan putih yang seakan menari di belakangku, tapi saat kutoleh hanya dinding putih kamarku yang menyapa.
Akhirnya puncak keberanianku luruh saat jarum jam mendekati angka 3 dinihari. Beringsut langkah kaki menyeretku ke arah pintu. Kuayunkan langkah kakiku menuju kamar Allanis. Bergegas aku ketuk pintunya. Lama tak ada jawaban dari dala. Saat hembusan angin dingin menyapa bulu kudukku, pintu kamar Allanis terbuka. Kulihat wajah kusut menyambutku di sana.
" All kita harus pergi ke rumah yang tadi aku foto " kataku ketika wajah Allanis menyambutku di depan pintu.
Pertanyaan penuh nada heran segera menghambur dari bibirya. Dengan segera aku ceritkan apa yang aku alami. Tak lupa aku tunjukkan liontin mawar yang aku temukan senja tadi. Mata Allanis terbelalak melihatnya.
" I....itu liontin adikku! " seru Allanis
Setelah menerima penjelasanku, Allanis segera mengikutiku keluar losmen. Kupacu honda jazzku ke rumah tua di jalan mawar tersebut. Tak lama aku sampai disana. Saat aku turun, seperti ada kekuatan gaib yang menyeret langkahku ke arah pot bunga mawar ke 7 dari gerbang rumah. Pot dimana aku temukan liontin tersebut. Tak sengaja kakiku terpeleset. Badanku yang limbung menimpa pot mawar hingga pecah. Sementara penyanggah di bawahnya yang pot dipasang terbalik ikut roboh.
Allanis tiba-tiba menjerit histeris. Tangannya menunjuk ke arah puing-puing pot yang berserakan. Sebuah tulang tangan tersembul dari lubang yang ada di bawah pot. Aku yang masih terjatuh ikutan terkejut. Dengan sisa-sisa keberanianku, kucoba terangi tulang tersebut cahaya dari layar hpku. Allanis menangis semakin keras saat sorotan cahaya Hp mengarah ke tulang tangan tersebut. Sebuah cincin melingkar di jari manis tengkorak tersebut.
" I....itu cincin a...aadikku " kata Allanis sebelum akhirnya pingsan.
Kukumpulkan sisa keberanianku. Setelah menganggkat tubuh Allanis ke mobil, aku kembali tuk melihat ke dalam lubang tersebut. Sesosok tengkorak utuh teronggok di sana. Baju yang digunakannya sudah tak berbentuk lagi. Robek sana-sini. Sungguh mengerikan. Segera aku menghubungi kantor polisi terdekat untuk memberi tahukan penemuanku ini.
Aku menunggu polisi datang. Kucoba menyadarkan Allanis dari pingsannya. Setelah berhasil, dengan terbata-bata dia menceritakan tentang adiknya yang hilang setahun yang lalu. Adiknya yang aktifis kampus dinyatakan hilang sesaat setelah ikut demonstrasi menentang pembebasan seorang koruptor. Sejak saat itu keluarganya terus mencari adiknya tersebut kemana-mana. Namun tak pernah ketemu.
Saat melihat liontin yang aku temukan tadi, Allanis yakin itu kepunyaan adiknya. Dan semakin kuat saat dia melihat tengkorak tangan adiknya di bawah pot mawar tersebut.
Denpasar, 17122011.0456
Tidak ada komentar:
Posting Komentar