https://www.facebook.com/Kalimaya.Art.Gallery |
Kamu
datang lagi. Masih seperti resep obat dari dokter, kamu datang sehari tiga
kali. Aneka bunga setia berada dalam genggaman tanganmu di pagi dan soremu
berkunjung. Sesaat setelah memutar knop pintu, bunga-bunga itu kausodorkan
padaku. Aroma mewangi yang khas selalu menyapa hidungku, menarik angan untuk
melukis aku dan kamu di awang-awang, menari bersama diaroma awan tipis
melayang. Hatiku benar-benar dibuainya. Aku seperti Ainun, cinta sejati
Habibie, sang tekhnokrat dari Makasar.
Masih seperti yang tercatat dalam memoriku ini, ceria
wajahmu bangkitkan semangat ini. Entah kenapa, saat binar matamu menatap, saat
senyummu hadirkan kilau gigimu yang putih mengkilat, sakit ini seperti sadar
diri, dia pergi. Dia pergi dan enggan kembali sampai waktunya kakimu berlalu
pergi, kembali memasungku dalam sendiri.
Tersanjungkah
aku, jika ternyata aku menyukai sikapmu? Berlebihkah aku, jika anggap hadirmu
adalah anugrah terindah di detik-detik hidupku yang menyempit? Tidak tahu
diriku aku, mencintai sosokmu yang mendekati sempurna. Aku takut rasaku ini
akan berakhir duka. Duka untukmu. Duka untukku.
Cinta
seperti itukah yang kudamba? Ataukah cinta lain yang ingin kupujakan untukmu?
Cinta yang aku mantramkan bersama barisan do’aku. Sesuci cinta Ainun dan
Habibie, aku mencintamu dan tak ingin memberimu luka. Aku menyayangimu. Tak
rela rasanya membiarkan kuncup-kuncup bungamu kan luruh saat kau sadar langkahku
tinggalah sejengkal. Aku ingin jujur, meski nantinya kau tinggal kabur. Tapi
aku tak mampu. Hatiku lemah, selemah tubuh yang mudah lelah ini.
“Sayang……..”
Kamu
memandangku. Tatap matamu seperti sembilu, memutus benang kejujuran yang coba
kutegakkan. Nyaliku perlahan jatuh meluruh, seperti benang basah tiada berdaya.
Aku terdiam. Mendadak aku tercekat. Lidah ini seperti sebatang logam, kaku dan
enggan bergerak, walau hanya mengucap satu huruf saja.
“Iya
sayang…” Sahutmu setengah berbisik. Bibir yang begitu dekat, tebar wangi
nafasmu. Aroma mint kesukaanmu begitu menggoda rasaku, tapi tidak untuk
nyaliku. Kejujuranku seperti mati, terpanggang sejuk aroma bibirmu yang tulus
menjagaku.
Aku
terdiam. Niatku telah lumpuh, bersimpuh di antara sinaran matamu yang tulus.
Tatapmu itu masih seperti dulu, seperti saat pertama bersua. Tebing karang
Dream Land saat itu menjadi pelarianku, agar wajah yang tersipu tidak terjaring
matamu. Kini, aku tak bisa lari dari tatapmu. Hanya langit-langit putih yang
mampu mataku sasar. Aku tak bisa sembunyikan rona wajah yang memerah kaku.
“Sayang….”
Lembut katamu kembali menyapa. Jemari tanganmu perlahan merapikan kerudung
kuning kesayangannku. “Seorang nelayan yang berpengalaman tidak akan panik saat
terjebak badai. Dia tahu harus berbuat apa. Dia tahu bagaimana cara bertahan
dari gempuran angin ribut yang mengerubut, meski badai yang dihadapinya semakin
hebat. Dia tidak akan menyerah, tetap berusaha menemukan dermaga ataukah
tenggelam karenanya.”
Dia
diam. Hela nafasnya tertata rapi. Aku tahu hatinya bergejolak, menahan sedih
dan haru yang menyatu, melihat keadaanku yang masih seperti kemarin. Hampir 99
jam telah berlalu sejak aku kembali masuk ke ruang ini. Genggam tangannya
kurasa semakin erat, menghangati jemari yang kurasa agak dingin. Sorot matanya
tetap menyala, seperti ingin berbagi semangatnya yang berapi-api. Aku terdiam,
mataku mengerjap sesaat, berusaha lepas dari tatapnya yang semakin kuat
menangkap gelisahku.
“Aku
hanya bahtera rapuh yang akan pergi jauh. Kenapa sauhku tak pernah kaulepaskan,
agar aku menghilang dari hidupmu.”
“Aku
tak akan pernah melepaskan sauhmu, bukan karena takut kehilanganmu. Karena aku
ingin berjuang bersamamu. Bersama kita perbaiki bahtera yang rapuh itu. Aku
ingin mengarungi samudera cinta bersama bahteramu itu. Laut yang tenang, hembusan
anginnya yang sejuk ataupun hujan badai yang datang, aku ingin kita hadapi
bersama. Andaipun harus larut dalam gemuruh samudera, aku ingin kita tetap
bersama, saling peluk hingga ajal menjemput.”
“Aku
hanyalah mawar yang tiada bermadu lagi…”
“Apakah
mawar akan berhenti berbunga, saat kuncup pertamanya tiada lagi bermadu? Tidak.
Dia akan tetap berbunga, meski berkali kumbang jamah putik sarinya. Begitupun
rasaku ini, tiada kan mati walau ragamu terpasung di kursi roda ini.” Mantab
suaranya menggetuk pintu hatiku. Tangan kanannya menepuk pelan sandaran kursi
roda yang setia menanti kududuki. Belai jemari tangan kirinya membuatku kembali
mengangkasa. Asaku sedikit demi sedikit bangkit.
Aku
beruntung mengenalnya. Dia bisa berperan selayaknya Mario Teguh yang pandai
memotivasi diri ini. Di lain waktu bisa menjadi Akbar stand up comedian asal
Surabaya dengan banyolannya yang membuatku terpingkal. Saat dia datang,
semangatku yang sempat surut, seperti surutnya permukaan laut yang terseret
purnama sakitku, kembali pasang.
“Sayang…andai
Tuhan menetapkan aku seperti ini, adakah rasamu akan tetap sama untukku?”
“Engkau
terlalu larut dalam pengandaian. Apakah kau syok mendengar vonis dokter itu,
hingga sibuk bernyanyi di satu nada saja? Sayang,..ingatlah bahwa Tuhan,
melalui tangan manusia mencipta 7 tangga nada yang bisa kita nyanyikan dalam
berbagai oktaf sesuai kemampuan kita. Jika kita hanya sanggup bernyanyi di nada
rendah, kenapa kita harus memaksa untuk bernyanyi di nada tinggi. Pun begitu
sebaliknya. Bernyanyilah sesuai nada yang bisa kita bawakan, sambil terus
belajar memperbaiki kekurangan kita. Sakitpun seperti itu, saat vonis dokter
menyatakan hidup kita tinggal sekian waktu saja, adakah kita akan pasrah
menerimanya? Tidakkah kita ingin berobat, bukan hanya untuk mengejar
kesembuhan, tapi menunjukkan pada dunia bahwa kita belum mati, bahwa asa kita
masih bersinar. Kita masih bisa berusaha, meski vonis itu sempat meredupkan
lentera hati. Aku yakin kamu pasti bukan hanya seorang yang suka bernyanyi di
satu nada. Aku yakin kamu ingin menyanyikan nada lain dengan sama baiknya.”
“Tapi…”
“Berandai-andai
tiada bersalah. Tapi cukupkah kita berandai-andai? Angan kita cukup panjang
untuk melakukannya. Tuhan mencipta kita bukan untuk berandai-andai, tapi mencipta
kita untuk berusaha, berdo’a dan berserah. Seorang yang terlalu sering
berandai-andai, akan lalai berusaha. Mari berusaha. Di sini, dokter sudah
memvonis nafasmu sudah berbatas waktu, di tempat lain pasti Allah sediakan obat
untuk itu. Aku akan selalu mendampingimu, mencari secercah asa yang ada.”
http://www.flexmedia.co.id/alasan-tidak-berdoa-unruk-diri-sendiri/lentera-hati/ |
Perlahan
api di hatiku kembali merekah. Kalimat demi kalimatnya terus meniupkan oxygen
untuk nyalanya, hingga api harapan yang hampir padam kembali menghangat.
Tanganku terasa hangat, seperti halnya butiran air mata haru yang mulai
mengalir dari kelopak mataku. Aku bersyukur, Tuhan mengirim sosok malaikat
dalam dirinya. Senyum dan tawanya membuatku tenang, tiada lagi keraguan untuk
menerima keikhlasannya.
Dia
bangkit, melangkah menuju pintu. Perlahan dia membuka daun pintu yang terbuat
dari jati itu. Dua sosok lelaki dan wanita menyembulkan wajahnya. “Aku mengajak
mereka ke sini, untuk memastikan kebulatan tekadku.” Katanya sambil
mempersilahkan bapak dan ibunya duduk.
Aku
tersanjung. Dalam kelemahanku, ada malaikat yang mau menerimaku apa adanya.
Keterbatasanku tidak membatasi niatnya untuk melamarku.
Denpasar, 17-08-2013
Agung Masopu
Note: Tulisan ini hanya coretan yang gagal dalam proyek GPU
http://www.leutikaprio.com/produk/10041/novel/1212722/xixi_diary_sang_rising_star/12074304/agung_masopu |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar