“Kenapa mereka selalu bergunjing tentangku?”
Hitam bola matamu
bertumpu pada sumbunya, menatapku yang berada di seberang meja dengan tajam. Seakan-akan
aku ini ikut bersalah, bergunjing tentangmu. Bibir tipismu sedikit manyun,
memamerkan warnanya yang merah delima, warna yang selama ini membuatku jatuh
cinta. Bulu-bulu tipis antara hidung dan bibirmu semakin jelas terlihat, dalam
sorotan lampu yang tepat di atasmu. Hidungmu yang mungil, kembang-kempis memompa dan menghisap udara
secara bergantian.
“Amara, tenangkan
dirimu. Jangan emosi begini.”
“Tenang katamu? Ar, Enam bulan aku dijadikan bahan gunjingan. Enam bulan aku jadi bahan
olok-olokan, dan kamu hanya memintaku tenang?”
Engkau berdiri. Dua
tanganmu menekan meja, menyangga tubuhmu yang kau condongkan ke arahku. Alis matamu
yang tebal dan mempesona, hampir menyatu, mengikuti kerutan di dahimu. Engkau
seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.
http://angsajenius.tumblr.com/page/3 |
Aku tahu bagaimana rasanya menjadi bahan gunjingan. Aku tahu bagaimana sakitnya menjadi bahan olok-olokan. Aku pernah merasakannya. Enam bulan yang diajalani tak ubahnya seperti neraka kecil. Senyum manis yang mengambang dari bibirnya, menguar tiada berbekas. Panasnya gunjingan dan sindiran seperti kemarau panjang, gerimis sesaat tak mampu sejukkan udara yang kering tiada beruap.
Amara bukanlah wanita
lemah. Amara bukanlah wanita manja. Dia terlalu kuat untuk mengeluh. Selama ini,
andai dia mau, aku selalu menyediakan bahuku untuknya. Menyediakan jemariku
untuk membelai rambutnya, membusai sela-sela rambutnya, agar tenang jiwanya.
Tapi dia tidak pernah melakukannya, pun di saat emosi seperti ini. Dia malah
menatapku dengan tajam, seakan-akan menantang sikapku yang selalu tenang. Tidak
setetespun air mata menggenang di kelopak matanya.
“Amara, aku tahu yang
kamu rasakan. Aku tahu bagaimana rasanya menjadi obyek pandangan mata nyinyir
sepertimu. Jauh sebelum ini, aku mengalaminya.”
Aku diam. Hatiku seakan
memintaku untuk tidak mengatakannya. Selama ini, rahasia ini tiada pernah ada
yang tahu. Aku menutupnya rapat-rapat. Ibukupun tidak pernah tahu cibiran yang
beberapa orang alamatkan padaku. Aku tidak ingin membaginya dengan siapapun. Hidup
di rantau, membuatku mudah melakukannya. Tapi kini, aku merasa perlu untuk
membaginya, untuk menceritakannya. Bukan untuk membuka luka itu lagi, tapi untuk
membangkitkan semangat Amara yang mulai menukik curva-nya.
Aku tak ingin dia kembali ke kehidupannya yang dulu. Apa saja bisa terjadi di saat-saat seperti ini. Seseorang yang sudah terlanjur luka, bisa kembali menekuni kehidupannya yang telah diatinggalkan, meskipun itu kelam. Dalam benaknya, "buat apa aku berubah, toh ratusan pasang mata masih suka nyinyir dengan usahanya itu."
Aku tak ingin dia kembali ke kehidupannya yang dulu. Apa saja bisa terjadi di saat-saat seperti ini. Seseorang yang sudah terlanjur luka, bisa kembali menekuni kehidupannya yang telah diatinggalkan, meskipun itu kelam. Dalam benaknya, "buat apa aku berubah, toh ratusan pasang mata masih suka nyinyir dengan usahanya itu."
“Mengalami apa?”
bentakanmu mengangetkanku.
“Dicibir sebagai homo,
sebagai gay.”
“What?......”
Matamu melotot. Tubuh
yang sudah condong semakin miring ke depan, menggambarkan ketidakpercayaanmu
akan apa yang baru saja kaudengar. Selama ini kamu hanya tahu aku, Arya pemuda
pendiam dengan kacamata tebalnya. Di matamu, aku hanyalah pemain dan pemamah
kata yang hanya tertarik pada tumpukan naskah dan fiksi. Di matamu aku hanya si
pendiam lugu.
“Itulah cibiran
beberapa orang padaku. Sakitkah aku mendengarnya? Tentu saja aku sakit saat
memikirkannya. Di awal-awal aku ingin menggampar si penggunjing. Tapi aku tidak
pernah melakukannya. Kamu tahu kenapa?”
“Kenapa?” suaramu
melemah. Emosi yang sedari tadi meninggi sedikit mengendor.
“Aku melakukan apa yang aku lakukan bukan untuk mereka, tapi untukku, untuk orang tuaku dan yang terpenting untuk Sang Maha Kekal. Aku merasa kekerasan yang terlintas dibenakku itu tidak akan
menyelesaikan masalah." Aku berhenti sejenak, melepas kacamata yang sedari tadi melindungi mataku.
"Pernahkah kamu memperhatikan bibit-bibit bunga yang ditanam bersamaan. Seperti itulah kita sebenarnya. Saat ada satu bibit yang tumbuh baik, sementara yang lainnya agak terhambat pertumbuhannya, maka bibit itu akan mendapat perhatian lebih. Ditelisik cacat yang ada di bibit itu. Adakah kayunya sedikit bengkok? Adakah kulitnya terkelupas? Adakah daunnya yang keriting dan lain sebagainya. Saat. Itulah kita saat digunjing dan dicibir orang lain. Sebenarnya mereka iri, kenapa kita lebih baik dari mereka? Untuk itulah segala tingkah laku kita diikuti, untuk mencari sisi-sisi kekurangan kita. Sekarang tergantung bagaimana kita menyikapinya? Sabar ataukah reaktif? kalau kamu mau istiqomah di jalanmu saat ini, bersabarlah. Insya Allah jalan terbaik akan kita dapati.”
"Pernahkah kamu memperhatikan bibit-bibit bunga yang ditanam bersamaan. Seperti itulah kita sebenarnya. Saat ada satu bibit yang tumbuh baik, sementara yang lainnya agak terhambat pertumbuhannya, maka bibit itu akan mendapat perhatian lebih. Ditelisik cacat yang ada di bibit itu. Adakah kayunya sedikit bengkok? Adakah kulitnya terkelupas? Adakah daunnya yang keriting dan lain sebagainya. Saat. Itulah kita saat digunjing dan dicibir orang lain. Sebenarnya mereka iri, kenapa kita lebih baik dari mereka? Untuk itulah segala tingkah laku kita diikuti, untuk mencari sisi-sisi kekurangan kita. Sekarang tergantung bagaimana kita menyikapinya? Sabar ataukah reaktif? kalau kamu mau istiqomah di jalanmu saat ini, bersabarlah. Insya Allah jalan terbaik akan kita dapati.”
Engkau diam. Perlahan
tubuhmu tegak kembali. Tanganmu yang tadi menjadi tumpuan di atas meja, kini
telah bebas menggantung di tempatnya. Perlahan engkau kembali duduk,
menyadarkan tubuhmu ke kursi. Nafasmu perlahan kembali normal. Matamu tidak
lagi menatapku. Kini kau menatap deretan lampu hias di atasmu. Tubuhmu terlihat
lebih rileks dibanding sebelumnya.
http://theonlynelly.wordpress.com/tag/bergunjing/ |
Engkau terus terdiam.
Wajahmu kian merunduk. Tarikan nafasmu sedikit tersengal. Isakan pelan
terdengar dari bibirmu. Sejak menikahimu dua tahun yang lalu, baru kali ini aku
melihatmu terisak. Engkau tidak pernah menangis di depanku, pun saat ijab-kabul
usai kuikrarkan. Haru yang kau rasa saat itu, tidak mampu memaksa air matamu
mengalir.
Aku berdiri, perlahan
aku menghampirimu. Kuraih kepalamu, kebenamkan dalam dekapanku. Disana aku biarkan
engkau tumpahkan tangismu. Kubiarkan air matamu membasahi bajuku, menembus
hingga menyentuh bulu-bulu halus yang tumbuh di dadaku.
_ _ _
Denpasar. 05102013.0354
Masopu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar