http://madebayak.files.wordpress.com/2012/08/exotisme-gadis-bali-65x75cm-spray-paint-on-plastic-trash-2012.jpg |
Binar
matamu menyambut langkahku mendekat. Tatap mata indahmu mantabkan langkah untuk
segera datang menghampiri. Sorot tajamnya yang lembut, tidak mampu aku hitung
dengan deretan bilangan biner yang sempat aku pelajari. Satu,..dua…tiga dan
deret angka itu tiada mampu menggambarkan bagaimana tatap matamu itu, seperti
penerang jiwaku yang sempat gulana dihampakan cinta.
Tanpa banyak kata, hanya berteman suara gantungan kunci
yang bergemerincing, engkau berdiri, menghambur dalam pelukku. Tatap mata aneh,
datang menjaring kita dari berbagai sudut tak lagi kau hiraukan. Engkau
memelukku, menciumi pipi ini dengan buas, kita seperti sejoli yang lama
terpisah, seakan di ruang itu hanya ada kau dan aku, seakan kita telah lama
terpenjara dinding waktu dan jarak. Sambil berbisik aku berusaha menahan
bibirmu, agar tidak terus menyerang pipi dan bibirku, menuntunmu ke balik pilar
yang minim sorotan mata.
Seperti tadi, kau masih belum puas melepas rindumu. Tiada
sempat aku berbasa-basi, tanganmu tetap melingkari leher. Tapi kau pasif, tiada
aksi lanjutan yang kauberikan. Rasa penasaran mengulum otakku, melihat sepasang
bibir merah merekah terbuka di depan mataku. Auranya menggoda, menghisapnya
dalam kubangan kepicikan pikir. Aku mencoba bertahan dari sesapan nafsu yang
berusaha menjatuhkanku dalam kenistaan. Deru nafas dan debaran jantungku tiada
menentu, bersanding dengan wajah memerah menahan gejolak nafsu yang sedang
kulawan.
Ketika aku mampu kuasai diri, kau gamit lenganku. Kau ayunkan langkah gemulaimu, menapak setiap persegi pualam yang kita injak, menanjak menuju tingkatan yang lebih tinggi. Lobi tempat kita melepas rindu tadi perlahan menjauh, sebelum terkubur di lantai berikutnya. Gemelatak suara sepatu membentur lantai, mengiringi anganku yang masih mengembara pada sisi terkeruh yang mampu kuselami. Tiada kusadari, aku seperti anak kecil yang tersihir lollipop pemberianmu, berjalan tanpa tujuan selain mengikuti langkah kakimu.
Dan…..
Mataku terpana. Gambar-gambar kusam tentang persenyawaan
dua insan di satu ranjang mengejang hilang. Hamparan ruang remang nan lapang yang
aku bayangkan tiada membentang. Ruang ini terlalu lapang untuk kita
bersenang-senang. Ruang ini terlalu terang untuk bersenggama. Ruang ini terlalu
romantis untukku sekedar berpuitis dengan syair-syair bombastis. Ruang ini
terasa statis dengan karya lukis tergantung berbaris.
“Ruang ini? Ah….”
Gelegak nafsu yang memberontak seperti retak berkeping,
berganti tanya yang tiada mampu tertata. Kusam rasa ini semakin menjadi,
menahan rayuan birahi yang mendadak pergi. Aku tidak habis mengerti, kenapa kau
seret langkah ini ke sini, ke gallery seni? Kau tahu aku bukan pencinta seni.
Aku hanya penikmat, yang hanya tahu rasa tanpa tahu hikayat sebuah karya.
“Inilah imaji yang tersaji dari kesepianku selama ini.”
Katamu sambil memutar tubuh perlahan. Kedua tanganmu lurus terentang, seperti
burung bersiap terbang.
“Tahukah kau, selama ini aku terpenjara dalam kesedihan.
Kisah-kasih yang aku rajut, lebur termakan sikap kufur. Aku terlalu banyak
menuntut. seumpama anak, aku selalu meminta kelereng yang benar-benar bulat,
padahal aku tahu itu tiada mungkin. Tidak ada satupun kelereng yang bulat
sempurna, pasti ada sedikit kurangnya. Sejenak aku sadar, saat mereka yang
dekat tiba-tiba hilang tiada kabar. Saat yang lain datang, laku yang sama
ternyata tak lekang untuk menghilang dari diriku.”
Kau melangkah ke lukisan hujan di puncak dua gunung,
lembah dan sungai di antaranya. Lukisan itu menggantung indah di sisi kanan
pintu masuk. Matamu berkaca-kaca saat menjelaskan sejarah terciptanya karyamu
itu. Ada bahagia mengalir dari puncak gunung yang kau lukiskan. Pertemuan dan
harapan menyatu dari curahan hujan, bertemu di mata air yang ada di lembah.
Sayangnya sesampai di ujung lembah yang lain, keruh dan tiada lagi jernih.
Itulah gambaran nafsu dan amarah yang bergolak, menggelegak lebih dahsyat dari
serbuan magma. Impian hidup damai, musnah bersama kata pisah.
Satu persatu semua kau ulas untukku. Tiada yang terlewat.
Kisah yang ada di seputaran karyamu tercipta membuatku haru. Ungkapanmu di awal
narasi tadi, kini coba aku pahami. Getir hidupmu tidak seindah karyamu. Harum
nafasmu saat bibirmu mengecup pipiku, tiada terlukis dalam kisah hidupmu.
Lelaki datang dan pergi dengan segala kisahnya, tinggalkan perih yang dalam.
Bibirmu hanya bisa diam, tangismu pun tiada indah di pendengaran mereka yang
telah pergi. Hanya goresan kuasmu yang sedikit redakan luka hatimu.
Kembali kau melangkah. Ujung ruangan menjadi arahnya.
Senyum mengembang, ringan tanganmu membuka pintu sebuah ruang. Bingkai tanya
menganga di hati, bersama rentang tanganmu padaku. Aku ternganga. Sebuah sketsa
dua wajah kusam menyapa. Dari tanggal yang tertera, kau kupas tuntas makna,
hikayat dan sejarah karyamu tercipta. Sinar matahari senja yang menyapa dari
jendela, sedikit malu bertatap muka. Wajahmu yang putih bersinar, berpadu
dengan kacamata hitam berbingkai tebal.
“Kaukah yang ada dalam lukisan ini?” tanyaku mencoba
meyakinkan diri.
“Inilah aku seutuhnya. Hitam-putih aku pilih, aku suka
eksotisme diri ini dalam balutan dua warna itu.” Jawabmu tenang. Telunjuk
lentikmu menyusuri lukisan tubuh utuh itu dengan lembut. Pertama kau susuri
sisi sebelah kanan, sebuah wajah cantik dengan mata tersembunyi di balik
hitamnya kacamata berbingkai lebar. Sisi kiri yang tiada tertutup sehelai
benangpun, hanya juntaian rambutmu yang menutupi dada, menyusul sesudahnya kau
ceritakan.
“Kenapa lukisan ini tersimpan di sini?”
“Inilah lukisan yang paling berkesan untukku. Dalam
bingkai hitam-putihnya, ingin kuungkap sebuah rahasia. Hitam adalah gambaran
misteri, pun dengan putih yang identik dengan kesucian. Keduanya mempunyai
sesuatu yang tersembunyi. Kamu tahu luka yang diakibatkan wajah cantikku ini.
Kelam kisahku berbanding terbalik dengan mulusnya kulitku. Berapa kali lelaki
bertekuk lutut padaku? Berapa kali luka mereka torehkan padaku? Tanpa aku
sebutkan kamu sudah tahu. Godaan wajahku membuat mereka terpana, kesempurnaan
yang aku harapkan, luka yang aku dapatkan..”
“Putih dan misteri, aku tahu itu ada. Bukankah setiap
warna punya misterinya sendiri?”
“Setiap warna memang punya misterinya sendiri-sendiri.
Tapi selama ini kita selalu menganggap putih itu suci. Apa kita tahu di balik
putih itu ada misteri yang tersembunyi?”
“Maksudmu?”
“Dari tiga lelaki yang sempat dekat denganku, secara
pribadi aku menilai mereka seperti kertas putih yang tiada bernoda. Saat mereka
memujaku, aku merasa itu kehormatan untukku. Aku tak ingin terlarut dalam imaji
tiada bertepi, karena itu aku menguji mereka dengan kata-kata kangen, rindu dan
sebagainya. Di depan mereka aku bertingkah dari biasa saja. Tapi saat bertemu,
entah terpengaruh kata kangen-rinduku, mereka seperti ayam jago di musim kawin,
liar dan main sergap.”
“Bukankah aku tadi hampir melakukan hal yang sama?”
tanyaku memotong kalimatnya.
“Kamu sedikit terpancing, karena aku yang memulai. Jika
aku bersikap biasa dan tidak memelukmu, aku yakin lain ceritanya. Mungkin hanya
obrolan basi di atas meja makan yang tersaji di antara kita.”
“Apakah itu artinya kamu tadi sedang mengujiku?” tanyaku
mengernyitkan alisku.
“Aku hanya menggodamu dan ternyata kamu mampu menahan
birahimu.” Kedua tangannmu terngkat memberi isyarat tanda petik dengan gerakan
dua jemarimu.
Kau diam. Matamu memandangku dengan mesra. Perlahan kau
melangkah menuju kursi yang ada di sudut ruang itu. Gema suara langkahnya memantul
di dinding putih yang hanya berhias lukisan hitam putihmu. Tanganmu memberi
isyarat untukku duduk di sampingmu.
“Apa pendapatmu jika ada wanita yang memintamu untuk
segera menikahinya?” tanyamu sambil menggenggam tangan kananku.
“Siapapun yang pertama mengutarakan, asal sama-sama sudah
siap, no problem.”
“Binalkah aku, jika memintamu menikahiku?”
“Aku
jatuh cinta di pertemuan ketiga kita, di pintu masuk masjid Baiturrohman
Denpasar. Saat itu aku tidak tahu siapa kamu seutuhnya, tapi aku mulai jatuh
cinta. Kinipun setelah tahu sedikit kisahmu, aku tetap cinta. Dan saat nanti
aku semakin tahu dirimu, aku berdo’a semoga aku semakin mencintaimu. Menerimamu
seutuhnya adalah mimpiku saat jatuh cinta dulu. Lillahi Ta’ala aku ingin
menikahimu.”
Matamu berkaca-kaca. Jemarimu semakin erat menggenggam
tanganku. Perlahan bulir-bulir air mata mengalir dari dua kelopak matamu.
Matahari semakin datar, warnanya yang keperakan berganti kemerahan. Indahnya
sapuan mega di barat sana, menambah syahdu dua hati yang menyatu.
Denpasar, 31 Agustus
2013
Agung Masopu
Naskah lama yang diikutkan lomba di GPU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar