Selasa, 08 Oktober 2013

Galery Cinta



http://madebayak.files.wordpress.com/2012/08/exotisme-gadis-bali-65x75cm-spray-paint-on-plastic-trash-2012.jpg

Binar matamu menyambut langkahku mendekat. Tatap mata indahmu mantabkan langkah untuk segera datang menghampiri. Sorot tajamnya yang lembut, tidak mampu aku hitung dengan deretan bilangan biner yang sempat aku pelajari. Satu,..dua…tiga dan deret angka itu tiada mampu menggambarkan bagaimana tatap matamu itu, seperti penerang jiwaku yang sempat gulana dihampakan cinta.
            Tanpa banyak kata, hanya berteman suara gantungan kunci yang bergemerincing, engkau berdiri, menghambur dalam pelukku. Tatap mata aneh, datang menjaring kita dari berbagai sudut tak lagi kau hiraukan. Engkau memelukku, menciumi pipi ini dengan buas, kita seperti sejoli yang lama terpisah, seakan di ruang itu hanya ada kau dan aku, seakan kita telah lama terpenjara dinding waktu dan jarak. Sambil berbisik aku berusaha menahan bibirmu, agar tidak terus menyerang pipi dan bibirku, menuntunmu ke balik pilar yang minim sorotan mata.
            Seperti tadi, kau masih belum puas melepas rindumu. Tiada sempat aku berbasa-basi, tanganmu tetap melingkari leher. Tapi kau pasif, tiada aksi lanjutan yang kauberikan. Rasa penasaran mengulum otakku, melihat sepasang bibir merah merekah terbuka di depan mataku. Auranya menggoda, menghisapnya dalam kubangan kepicikan pikir. Aku mencoba bertahan dari sesapan nafsu yang berusaha menjatuhkanku dalam kenistaan. Deru nafas dan debaran jantungku tiada menentu, bersanding dengan wajah memerah menahan gejolak nafsu yang sedang kulawan.

           Ketika aku mampu kuasai diri, kau gamit lenganku. Kau ayunkan langkah gemulaimu, menapak setiap persegi pualam yang kita injak, menanjak menuju tingkatan yang lebih tinggi. Lobi tempat kita melepas rindu tadi perlahan menjauh, sebelum terkubur di lantai berikutnya. Gemelatak suara sepatu membentur lantai, mengiringi anganku yang masih mengembara pada sisi terkeruh yang mampu kuselami. Tiada kusadari, aku seperti anak kecil yang tersihir lollipop pemberianmu, berjalan tanpa tujuan selain mengikuti langkah kakimu.
            Dan…..
            Mataku terpana. Gambar-gambar kusam tentang persenyawaan dua insan di satu ranjang mengejang hilang. Hamparan ruang remang nan lapang yang aku bayangkan tiada membentang. Ruang ini terlalu lapang untuk kita bersenang-senang. Ruang ini terlalu terang untuk bersenggama. Ruang ini terlalu romantis untukku sekedar berpuitis dengan syair-syair bombastis. Ruang ini terasa statis dengan karya lukis tergantung berbaris.
            “Ruang ini? Ah….”
            Gelegak nafsu yang memberontak seperti retak berkeping, berganti tanya yang tiada mampu tertata. Kusam rasa ini semakin menjadi, menahan rayuan birahi yang mendadak pergi. Aku tidak habis mengerti, kenapa kau seret langkah ini ke sini, ke gallery seni? Kau tahu aku bukan pencinta seni. Aku hanya penikmat, yang hanya tahu rasa tanpa tahu hikayat sebuah karya.
            “Inilah imaji yang tersaji dari kesepianku selama ini.” Katamu sambil memutar tubuh perlahan. Kedua tanganmu lurus terentang, seperti burung bersiap terbang.
            “Tahukah kau, selama ini aku terpenjara dalam kesedihan. Kisah-kasih yang aku rajut, lebur termakan sikap kufur. Aku terlalu banyak menuntut. seumpama anak, aku selalu meminta kelereng yang benar-benar bulat, padahal aku tahu itu tiada mungkin. Tidak ada satupun kelereng yang bulat sempurna, pasti ada sedikit kurangnya. Sejenak aku sadar, saat mereka yang dekat tiba-tiba hilang tiada kabar. Saat yang lain datang, laku yang sama ternyata tak lekang untuk menghilang dari diriku.”
            Kau melangkah ke lukisan hujan di puncak dua gunung, lembah dan sungai di antaranya. Lukisan itu menggantung indah di sisi kanan pintu masuk. Matamu berkaca-kaca saat menjelaskan sejarah terciptanya karyamu itu. Ada bahagia mengalir dari puncak gunung yang kau lukiskan. Pertemuan dan harapan menyatu dari curahan hujan, bertemu di mata air yang ada di lembah. Sayangnya sesampai di ujung lembah yang lain, keruh dan tiada lagi jernih. Itulah gambaran nafsu dan amarah yang bergolak, menggelegak lebih dahsyat dari serbuan magma. Impian hidup damai, musnah bersama kata pisah.
            Satu persatu semua kau ulas untukku. Tiada yang terlewat. Kisah yang ada di seputaran karyamu tercipta membuatku haru. Ungkapanmu di awal narasi tadi, kini coba aku pahami. Getir hidupmu tidak seindah karyamu. Harum nafasmu saat bibirmu mengecup pipiku, tiada terlukis dalam kisah hidupmu. Lelaki datang dan pergi dengan segala kisahnya, tinggalkan perih yang dalam. Bibirmu hanya bisa diam, tangismu pun tiada indah di pendengaran mereka yang telah pergi. Hanya goresan kuasmu yang sedikit redakan luka hatimu.
            Kembali kau melangkah. Ujung ruangan menjadi arahnya. Senyum mengembang, ringan tanganmu membuka pintu sebuah ruang. Bingkai tanya menganga di hati, bersama rentang tanganmu padaku. Aku ternganga. Sebuah sketsa dua wajah kusam menyapa. Dari tanggal yang tertera, kau kupas tuntas makna, hikayat dan sejarah karyamu tercipta. Sinar matahari senja yang menyapa dari jendela, sedikit malu bertatap muka. Wajahmu yang putih bersinar, berpadu dengan kacamata hitam berbingkai tebal.
            “Kaukah yang ada dalam lukisan ini?” tanyaku mencoba meyakinkan diri.
            “Inilah aku seutuhnya. Hitam-putih aku pilih, aku suka eksotisme diri ini dalam balutan dua warna itu.” Jawabmu tenang. Telunjuk lentikmu menyusuri lukisan tubuh utuh itu dengan lembut. Pertama kau susuri sisi sebelah kanan, sebuah wajah cantik dengan mata tersembunyi di balik hitamnya kacamata berbingkai lebar. Sisi kiri yang tiada tertutup sehelai benangpun, hanya juntaian rambutmu yang menutupi dada, menyusul sesudahnya kau ceritakan.
            “Kenapa lukisan ini tersimpan di sini?”
            “Inilah lukisan yang paling berkesan untukku. Dalam bingkai hitam-putihnya, ingin kuungkap sebuah rahasia. Hitam adalah gambaran misteri, pun dengan putih yang identik dengan kesucian. Keduanya mempunyai sesuatu yang tersembunyi. Kamu tahu luka yang diakibatkan wajah cantikku ini. Kelam kisahku berbanding terbalik dengan mulusnya kulitku. Berapa kali lelaki bertekuk lutut padaku? Berapa kali luka mereka torehkan padaku? Tanpa aku sebutkan kamu sudah tahu. Godaan wajahku membuat mereka terpana, kesempurnaan yang aku harapkan, luka yang aku dapatkan..”
            “Putih dan misteri, aku tahu itu ada. Bukankah setiap warna punya misterinya sendiri?”
            “Setiap warna memang punya misterinya sendiri-sendiri. Tapi selama ini kita selalu menganggap putih itu suci. Apa kita tahu di balik putih itu ada misteri yang tersembunyi?”
            “Maksudmu?”
            “Dari tiga lelaki yang sempat dekat denganku, secara pribadi aku menilai mereka seperti kertas putih yang tiada bernoda. Saat mereka memujaku, aku merasa itu kehormatan untukku. Aku tak ingin terlarut dalam imaji tiada bertepi, karena itu aku menguji mereka dengan kata-kata kangen, rindu dan sebagainya. Di depan mereka aku bertingkah dari biasa saja. Tapi saat bertemu, entah terpengaruh kata kangen-rinduku, mereka seperti ayam jago di musim kawin, liar dan main sergap.”
            “Bukankah aku tadi hampir melakukan hal yang sama?” tanyaku memotong kalimatnya.
            “Kamu sedikit terpancing, karena aku yang memulai. Jika aku bersikap biasa dan tidak memelukmu, aku yakin lain ceritanya. Mungkin hanya obrolan basi di atas meja makan yang tersaji di antara kita.”
            “Apakah itu artinya kamu tadi sedang mengujiku?” tanyaku mengernyitkan alisku.
            “Aku hanya menggodamu dan ternyata kamu mampu menahan birahimu.” Kedua tangannmu terngkat memberi isyarat tanda petik dengan gerakan dua jemarimu.
            Kau diam. Matamu memandangku dengan mesra. Perlahan kau melangkah menuju kursi yang ada di sudut ruang itu. Gema suara langkahnya memantul di dinding putih yang hanya berhias lukisan hitam putihmu. Tanganmu memberi isyarat untukku duduk di sampingmu.
            “Apa pendapatmu jika ada wanita yang memintamu untuk segera menikahinya?” tanyamu sambil menggenggam tangan kananku.
            “Siapapun yang pertama mengutarakan, asal sama-sama sudah siap, no problem.”
            “Binalkah aku, jika memintamu menikahiku?”
           
“Aku jatuh cinta di pertemuan ketiga kita, di pintu masuk masjid Baiturrohman Denpasar. Saat itu aku tidak tahu siapa kamu seutuhnya, tapi aku mulai jatuh cinta. Kinipun setelah tahu sedikit kisahmu, aku tetap cinta. Dan saat nanti aku semakin tahu dirimu, aku berdo’a semoga aku semakin mencintaimu. Menerimamu seutuhnya adalah mimpiku saat jatuh cinta dulu. Lillahi Ta’ala aku ingin menikahimu.”
            Matamu berkaca-kaca. Jemarimu semakin erat menggenggam tanganku. Perlahan bulir-bulir air mata mengalir dari dua kelopak matamu. Matahari semakin datar, warnanya yang keperakan berganti kemerahan. Indahnya sapuan mega di barat sana, menambah syahdu dua hati yang menyatu.

Denpasar, 31 Agustus 2013

Agung Masopu

Naskah lama yang diikutkan lomba di GPU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...