Krikilan, 17 Desember
2013, 19.30 wib
“Ibu tidak setuju dengan pilihanmu.”
“Tapi…”
“Dia kupu-kupu malam, Ray.” Potong ibu
“Itu dulu.” Sanggahku.
“Dulu atau sekarang sama saja. Sekali kupu-kupu malam,
tetap seperti itu.”
“Tidakkah ibu lihat dia sekarang seperti apa. Itu masa
lalunya, sekarang dia sudah berubah. Dia sudah menutup kisah itu. Dia Mey
Ganesha Prameswari yang baru, Mey seorang aktifis sosial.”
“Itu tidak berarti di mata ibu.”
“Ibu, ijinkan Ray menikahinya.”
“Tidak akan.” Jawabnya tegas.
“Kenapa?”
“Sekali tidak, tetap tidak.”
Ibu merubah posisi duduknya. Dia memandangi ruang
tengah, ke arah kakak perempuanku yang sedang menimang anak pertamanya. Dia
tidak mau melihatku yang duduk bersebelahan dengan Mey.
Mey hanya diam. Sedari tadi dia tidak bersuara. Wajahnya
menunduk, tidak sekalipun terangkat. Kerudung biru longgar yang dikenakan,
melindungi wajahnya dari sorot mataku. Dari tarikan nafas dan gerak kakinya
yang terbungkus stocking, aku menangkap kegelisahan yang mengambang di hatinya.
Aku mengetukkan jari telunjukku ke meja, mengajak Mey
untuk berdiri. Aku akan mengantarnya pulang.
Dengan
diikuti Mey, aku mendekati ibu, mencoba meraih tangan dan menciumnya. Dia
membiarkan aku melakukannya. Tapi saat Mey akan melakukan hal yang sama, tangan
itu ditariknya dengan kasar dan disembunyikan dibalik punggungnya.
Aku
tidak bisa menangkap raut muka Mey yang masih merunduk. Sejenak dia mematung.
Aku menangkap kekecewaan dalam posisinya itu. Pelan dia mengucap salam dan
mengikuti langkahku. Tidak pedulikan jawaban yang tidak terucap dari bibir
ibuku.
_
_ _
Pulau
Merah, 31 Desember 2013, 17.15 wib
Pulau Merah tegar berdiri di depanku. Jutaan kali
hantaman ombak laut selatan yang ganas menerpa, tidak mampu menenggelamkannya.
Dia tetap berada di sana, tidak mundur ataupun larut oleh sapuan. Seperti transfer
energy, aku kembali menemukan posisi diri, dimana aku harus berdiri. Perbedaan
ini bukan kutukan, bukan pula halangan, ini ujian, ujian untuk kebersamaan yang
kita idamkan.
“Aku tak akan pergi!”
“Jangan bodoh. Perbedaan ini terlalu jauh. Kita hanya
membuang-buang waktu menikmati kekonyolan ini. Kita hanya berhalusinasi jika
mengharap ini akan menjadi nyata. Sementara kita tahu, Gunung Raung masih tegar
berdiri menantang di sana. Kita terkepung di sini, di antara gunung dan dua
palung ganas.”
“Aku tidak akan mundur. Aku akan tetap di sini” aku ulang
sumpahku sekali lagi.
Kutegakkan tubuh. Seperti bersiap menyambut sapuan ombak
samudra Hindia yang bergulung, kupancangkan kedua kaki ke dalam pasir. Aku
biarkan jemariku semakin dalam terbenam, bersama pasir yang terseret air laut.
“Inilah
sikapku.”
Kembali
aku patrikan sikap. Kukuatkan tekad. Kusatukan energi di tubuh ini untuk
melawan rintangan yang bersiap menghalang. Perbedaan aku dan dia bukan untuk
disatukan. Bukan pula untuk disamakan. Bukan juga untuk ditinggalkan. Perbedaan
itu adalah karunia dari-Nya, saat kita bisa menyikapi.
Aku
adalah pejuang. Aku akan berjuang untuk rasa cintaku padanya, pada Mey Ganesha
Prameswari. Beda ini hanya sebuah ujian. Ujian ketulusan yang selalu aku
gaungkan. Ujian yang yang akan hadirkan tawa bahagia, saat aku dan Mey bisa
memaknainya.
Andaipun
Raung di utara muntahkan laharnya sebagai tanda ketidaksetujuan, aku akan tetap
di sini, mematri kebersamaan dengannya. Andaipun samudra Hindia kembali
sebarkan jaring-jaring Tsunami mautnya, aku pun tak akan mundur. Karena aku
adalah penantang. Penantang yang tak akan berhenti merentang busur mimpi.
“Andai
kamu tahu…”
“Aku tahu kamu adalah Ray Megantara, lelaki sombong dan
angkuh. Lelaki tuli yang tidak pernah mau mendengar nasehat ibunya apalagi
orang lain. Lelaki yang hanya mengikuti kata hatinya.”
“Mey…andai kamu bisa tahu gemeratak di hati. Andai kamu
tahu bagaimana rasa cinta ini, aku ingin kamu selalu mengingat gaungnya. Aku
ingin kamu yang pertama mendengar apa yang aku gemakan di sana.”
“Selain sombong, kamu juga perayu ulung. Di saat seperti
ini kamu masih bisa menebar rayuan mautmu.”
“Mey…”
“Sudahlah akhiri semua ini.”
Kamu
memutar badan, membelakangi Pulau Merah. Bayangannya semakin menghitam, bersama
turunnya sang Surya di ufuk.
Aku
tidak tahu harus berkata apalagi. Aku hanya bisa memandangi punggungmu yang
tersembunyi di balik jubah hitam longgar. Aku tidak bisa menatap matamu untuk
mengetahui gejolak yang memancar dari dalam hati.
“Aku
aktifis salah jalan. Hitamnya masa lalu, tidak akan mampu kuhapus dengan
apapun. Semua yang aku lakukan tidak akan berarti di mata orang tua dan
keluargamu. Aku…”
“Jika
masa lalu serupa lava yang tersimpan di perut Raung yang angkuh. Ijinkan aku
untuk menggerus punggungnya dengan tanganku. Aku bisa mengalirkankannya keluar
dan membersihkannya darimu agar tidak membebani langkahmu.”
“Jangan
lagi kamu bisikkan motivasi picisan itu, aku muak mendengarnya.”
“Mey,
jika bisa kamu lihat warna hatiku. Aku ingin kamu ingat warnanya. Putih? Hitam?
Ataukah belang. Ingatlah itu warna hatiku untukmu.”
Aku
mengenalmu dua tahun yang lalu. Saat itu, di pagi buta, aku baru pulang dari
pantai Kuta. Aku menemukanmu tersungkur di tepian jalan. Aroma alkohol menyeruak dari rongga bibirmu.
Tubuhmu yang seperti biola hanya terbungkus kemben hitam dan rok mini berwarna
merah. Perut dan pusarmu kau biarkan menganga terbuka. Sebuah tas kecil
berwarna emas tergeletak di sampingmu, tidak jauh dari muntahan yang aku yakin
berasal dari bibirmu.
Dari
pertemuan pertama itu, akhirnya kita berkenalan. Pertemuan demi pertemuan
menggiring kita pada satu rasa yang sama. Rasa itu akhirnya mampu membangkitkan
kesadaranmu akan jalan salah yang selama ini kamu tempuh. Bersama kita belajar
memperbaiki diri, hingga akhirnya kamu putuskan untuk menanggalkan kisah
kelammu. Kemben dan rok mini kini kamu ganti jubah longgar yang sesuai syariat.
Dan
kini kamu memutar badan dengan cepat. Serupa kepak sayap burung yang terbang,
kerudung lebarmu sedikit terangkat. Mata
itu berkilat tajam manatapku. Tarikan nafasmu masih berat seperti semula.
“Aku
bunga yang berasal dari tumpukan sampah. Meski kamu merawatnya sepenuh hati, aku
tidak akan bisa seharum yang terawat baik di halaman ataupun rumah kaca.”
“Aku
tidak peduli asalmu. Yang aku peduli hanya hatimu masih untukku. Biarlah badai
menderu, biarlah ombak samudra menggebu aku akan tetap bersamamu.” Aku teguhkan
hatiku untuknya.
Denpasar, 11012014.2054
Masopu.
Note : Inspirasi dari lagu Nono Coretan, Vocal Chy Chy Viana
http://www.youtube.com/watch?v=_a2GFoy5Rzw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar