Minggu, 02 Februari 2014

Nono Coretan



Krikilan, 17 Desember 2013, 19.30 wib
            “Ibu tidak setuju dengan pilihanmu.”
            “Tapi…”
            “Dia kupu-kupu malam, Ray.” Potong ibu
            “Itu dulu.” Sanggahku.
            “Dulu atau sekarang sama saja. Sekali kupu-kupu malam, tetap seperti itu.”
            “Tidakkah ibu lihat dia sekarang seperti apa. Itu masa lalunya, sekarang dia sudah berubah. Dia sudah menutup kisah itu. Dia Mey Ganesha Prameswari yang baru, Mey seorang aktifis sosial.”
            “Itu tidak berarti di mata ibu.”
            “Ibu, ijinkan Ray menikahinya.”
            Aku mencoba membujuk ibu. Aku tahu itu seperti melubangi batu dengan air, butuh waktu yang lama. Bagaimanapun aku tahu sikapnya selama ini. Dia wanita kuat dan teguh. Apa yang menjadi keputusannya, hampir mustahil untuk dirubah. Seingatku hanya sekali dia merubah keputusannya, itupun saat aku lari dari rumah sewaktu SMA.
            “Tidak akan.” Jawabnya tegas.
            “Kenapa?”
            “Sekali tidak, tetap tidak.”
            Ibu merubah posisi duduknya. Dia memandangi ruang tengah, ke arah kakak perempuanku yang sedang menimang anak pertamanya. Dia tidak mau melihatku yang duduk bersebelahan dengan Mey.
            Mey hanya diam. Sedari tadi dia tidak bersuara. Wajahnya menunduk, tidak sekalipun terangkat. Kerudung biru longgar yang dikenakan, melindungi wajahnya dari sorot mataku. Dari tarikan nafas dan gerak kakinya yang terbungkus stocking, aku menangkap kegelisahan yang mengambang di hatinya.
            Aku mengetukkan jari telunjukku ke meja, mengajak Mey untuk berdiri. Aku akan mengantarnya pulang.
Dengan diikuti Mey, aku mendekati ibu, mencoba meraih tangan dan menciumnya. Dia membiarkan aku melakukannya. Tapi saat Mey akan melakukan hal yang sama, tangan itu ditariknya dengan kasar dan disembunyikan dibalik punggungnya.
Aku tidak bisa menangkap raut muka Mey yang masih merunduk. Sejenak dia mematung. Aku menangkap kekecewaan dalam posisinya itu. Pelan dia mengucap salam dan mengikuti langkahku. Tidak pedulikan jawaban yang tidak terucap dari bibir ibuku.
_ _ _
Pulau Merah, 31 Desember 2013, 17.15 wib  
            Pulau Merah tegar berdiri di depanku. Jutaan kali hantaman ombak laut selatan yang ganas menerpa, tidak mampu menenggelamkannya. Dia tetap berada di sana, tidak mundur ataupun larut oleh sapuan. Seperti transfer energy, aku kembali menemukan posisi diri, dimana aku harus berdiri. Perbedaan ini bukan kutukan, bukan pula halangan, ini ujian, ujian untuk kebersamaan yang kita idamkan.
            “Aku tak akan pergi!”
            “Jangan bodoh. Perbedaan ini terlalu jauh. Kita hanya membuang-buang waktu menikmati kekonyolan ini. Kita hanya berhalusinasi jika mengharap ini akan menjadi nyata. Sementara kita tahu, Gunung Raung masih tegar berdiri menantang di sana. Kita terkepung di sini, di antara gunung dan dua palung ganas.”
            “Aku tidak akan mundur. Aku akan tetap di sini” aku ulang sumpahku sekali lagi.
            Kutegakkan tubuh. Seperti bersiap menyambut sapuan ombak samudra Hindia yang bergulung, kupancangkan kedua kaki ke dalam pasir. Aku biarkan jemariku semakin dalam terbenam, bersama pasir yang terseret air laut.
“Inilah sikapku.”
Kembali aku patrikan sikap. Kukuatkan tekad. Kusatukan energi di tubuh ini untuk melawan rintangan yang bersiap menghalang. Perbedaan aku dan dia bukan untuk disatukan. Bukan pula untuk disamakan. Bukan juga untuk ditinggalkan. Perbedaan itu adalah karunia dari-Nya, saat kita bisa menyikapi.
Aku adalah pejuang. Aku akan berjuang untuk rasa cintaku padanya, pada Mey Ganesha Prameswari. Beda ini hanya sebuah ujian. Ujian ketulusan yang selalu aku gaungkan. Ujian yang yang akan hadirkan tawa bahagia, saat aku dan Mey bisa memaknainya.
Andaipun Raung di utara muntahkan laharnya sebagai tanda ketidaksetujuan, aku akan tetap di sini, mematri kebersamaan dengannya. Andaipun samudra Hindia kembali sebarkan jaring-jaring Tsunami mautnya, aku pun tak akan mundur. Karena aku adalah penantang. Penantang yang tak akan berhenti merentang busur mimpi.
“Andai kamu tahu…”
            “Aku tahu kamu adalah Ray Megantara, lelaki sombong dan angkuh. Lelaki tuli yang tidak pernah mau mendengar nasehat ibunya apalagi orang lain. Lelaki yang hanya mengikuti kata hatinya.”
            “Mey…andai kamu bisa tahu gemeratak di hati. Andai kamu tahu bagaimana rasa cinta ini, aku ingin kamu selalu mengingat gaungnya. Aku ingin kamu yang pertama mendengar apa yang aku gemakan di sana.”
            “Selain sombong, kamu juga perayu ulung. Di saat seperti ini kamu masih bisa menebar rayuan mautmu.”
            “Mey…”
            “Sudahlah akhiri semua ini.”
Kamu memutar badan, membelakangi Pulau Merah. Bayangannya semakin menghitam, bersama turunnya sang Surya di ufuk.
Aku tidak tahu harus berkata apalagi. Aku hanya bisa memandangi punggungmu yang tersembunyi di balik jubah hitam longgar. Aku tidak bisa menatap matamu untuk mengetahui gejolak yang memancar dari dalam hati.
“Aku aktifis salah jalan. Hitamnya masa lalu, tidak akan mampu kuhapus dengan apapun. Semua yang aku lakukan tidak akan berarti di mata orang tua dan keluargamu. Aku…”
“Jika masa lalu serupa lava yang tersimpan di perut Raung yang angkuh. Ijinkan aku untuk menggerus punggungnya dengan tanganku. Aku bisa mengalirkankannya keluar dan membersihkannya darimu agar tidak membebani langkahmu.”
“Jangan lagi kamu bisikkan motivasi picisan itu, aku muak mendengarnya.”
“Mey, jika bisa kamu lihat warna hatiku. Aku ingin kamu ingat warnanya. Putih? Hitam? Ataukah belang. Ingatlah itu warna hatiku untukmu.”
Aku mengenalmu dua tahun yang lalu. Saat itu, di pagi buta, aku baru pulang dari pantai Kuta. Aku menemukanmu tersungkur di tepian jalan. Aroma alkohol menyeruak dari rongga bibirmu. Tubuhmu yang seperti biola hanya terbungkus kemben hitam dan rok mini berwarna merah. Perut dan pusarmu kau biarkan menganga terbuka. Sebuah tas kecil berwarna emas tergeletak di sampingmu, tidak jauh dari muntahan yang aku yakin berasal dari bibirmu.
Dari pertemuan pertama itu, akhirnya kita berkenalan. Pertemuan demi pertemuan menggiring kita pada satu rasa yang sama. Rasa itu akhirnya mampu membangkitkan kesadaranmu akan jalan salah yang selama ini kamu tempuh. Bersama kita belajar memperbaiki diri, hingga akhirnya kamu putuskan untuk menanggalkan kisah kelammu. Kemben dan rok mini kini kamu ganti jubah longgar yang sesuai syariat.
Dan kini kamu memutar badan dengan cepat. Serupa kepak sayap burung yang terbang, kerudung lebarmu sedikit terangkat. Mata itu berkilat tajam manatapku. Tarikan nafasmu masih berat seperti semula.
“Aku bunga yang berasal dari tumpukan sampah. Meski kamu merawatnya sepenuh hati, aku tidak akan bisa seharum yang terawat baik di halaman ataupun rumah kaca.”
“Aku tidak peduli asalmu. Yang aku peduli hanya hatimu masih untukku. Biarlah badai menderu, biarlah ombak samudra menggebu aku akan tetap bersamamu.” Aku teguhkan hatiku untuknya.


Denpasar, 11012014.2054

Masopu.   

Note : Inspirasi dari lagu Nono Coretan, Vocal Chy Chy Viana 
 http://www.youtube.com/watch?v=_a2GFoy5Rzw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...