Pembinaan pemain muda usia yang sedang digalakkan oleh PSSI di era kepemimpinan Djohar Arifin Husein merupakan salah satu cara memperbaiki kualitas pemain di masa yang akan datang. terlepas apakah nantinya Beliau akan tetap bertahan mengurus PSSI atau digantikan dengan pengurus yang lain, seharusnya program ini terus dilakukan. Namun ada hal lain yang juga tak kalah pentingnya dalam pembinaan pemain usia muda, yakni sektor wasit beserta aparat pendukungnya yakni Komdis.
Kita semua sudah mengetahui, bahwa bibit-bibit usia muda yang bangsa ini miliki sejujurnya punya skill individu yang baik dan mampu bersaing dengan Negara-negara lain. Kita tentu masih ingat saat SSB yang berlokasi di Makasar pernah menembus 4 besar piala Danone. Atau keberhasilan kakak-kakak mereka selama dua tahun berturut-turut menjuarai AC Milan Throphy di Italia. Itu semua bukti bagaimana kualitas anak-anak muda Indonesia dalam bermain bola.
Namun kehebatan mereka saat usia muda, seakan tergerus seiring bertambahnya usia mereka. Kita tentu masih ingat selama kurun waktu 2000-2011 adakah pemain berusia 19+21 tahun yang mampu menembus skuad inti timnas senior? Mungkin hanya Boaz di tahun 2004 dan Octo Maniani di tahun 2010 kemarin. Selebihnya mereka baru mampu berbicara saat usia mereka telah memasuki 23 tahun lebih, bahkan ada yang mendekati 30 tahun. Dengan usia seperti itu, tentu kesempatan mereka berkarir lama di Timnas sedikit berkurang. Karena kita semua tahu jika usia emas pemain sepakbola maksimal di usia 30 tahun. Setelah itu kemampuan fisik mereka tak lagi mampu menunjang intelegensia dan skill pemain.
Ada banyak faktor yang bisa membuat pemain bisa berkembang dengan baik. Faktor-faktor itu antara lain Kecukupan gizi, Latihan fisik yang baik, Penanganan selama dan sesudah cedera dan masih banyak lagi. Dalam hal ini saya coba menyoroti satu masalah yang selama ini sadar atau tidak cukup mempengaruhi pembinaan pemain yakni wasit yang berkualitas dan ketegasan komisi disiplin dalam menegakkan aturan sepakbola.
Banyak kasus kerusuhan sepakbola di Indonesia sebenarnya bukan karena tim kesayangannya kalah, namun karena kepemimpinan wasit yang tidak tegas. Tidak tegas dalam hal ini bukan saja merugikan salah satu tim, namun bisa merugikan kedua tim yang sedang bertanding. Jika wasit yang memimpin tegas, meski salah satu tim kalah kemungkinan adanya kerusuhan bisa berkurang. Karena pemain dan penonton sama-sama mahfum kekalahan mereka murni karena factor teknis, bukan kerana ketidak becusan wasit dalam memimpin.
Jika di Italia dan Negara-negara Eropa lainya wasit berbuat suatu kesalahan fatal saat memimpin jalannya pertandingan, maka wasit akan mendapat sanksi mulai dari tidak dilibatkannya dia untuk memimpin beberapa partai sampai dengan penurunan divisi penugasannya dalam memimpin pertandingan. Selama di Indonesia saya belum pernah mendengar ada wasit yang di sanksi seperti itu. Setidaknya sampai musim kompetisi kemarin. Maka tak heran jika di setiap musim pasti ada saja kerusuhan yang berawal dari ketidak tegasan wasit yang memimpin pertandingan.
Merujuk ke Negara Eropa, wasit-wasit ternama yang punya ketegasan dan kedisiplinann tinggi rata-rata mereka adalah professional di bidang lain. Sebut saja wasit terbaik sepanjang sejarah Pierluigi Collina, dia adalah seorang akuntan public ternama. Markus Merk juga seorang profesiaonal di bidang lainnya. Mereka mau menjadi wasit bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, namun semata-mata kecintaan mereka terhadap dunia sepakbola. Bagi mereka inilah sumbangsih untuk perkembangan sepakbola. Maka tak heran jika mereka begitu sulit untuk diajak berkolusi ataupun tidak netral dalam memimpin.
Selain itu, keterauran jadwal liga di Eropa sana juga berpengaruh terhadap kinerja wasit. Karena mereka orang-orang professional di bidangnya dan tidak hanya mengandalak pemasukan dari komisi wasit, maka keteraturan jadwal tanding suatu kemutlakan. Dengan jadwal yang rutin di akhir pekan untuk liga domestik dan di pertengahan pekan untuk level continental maka di sela-sela waktu itu mereka bisa menggunakannya untuk menjalankan aktifitas rutinnya selain berlari dan meniup peluit. Hal ini secara tak langsung juga mempengaruhi tingkat konsentrasi mereka saat memimpin. Karena aktifitas mereka di luar sudah terjadwal baik, maka mereka tak akan dibuat pusing saat memimpin laga. Otomatis mereka bisa lebih obyektif dalam memimpin jalannya pertandingan.
Kualitas kepemimpian wasit dalam setiap laga juga terpengaruh oleh adanya aturan pendukung yang baku dan ditaati oleh semua pihak yang terlibat. Saat wasit ingin menegakkan aturan baku, tapi tidak didukung oleh aturan penunjangnya maka bisa dibilang posisi wasit lemah. Bagaimana wasit mau bertindak tegas di lapangan, jika nantinya keputusan wasit di atas lapangan bisa dimentahkan oleh Komisi Disiplin yang tidak sejalan dengan wasit. Karena itu, jika memang keputusan wasit sudah benar dan sesuai koridor, maka komisi disiplin harus mendukungnya.
Seperti halnya di Inggris, pemain yang kena kartu merah bisa mengajukan banding jika merasa keputusan wasit tidak tepat. Tapi ada konsekuensi yang harus ditanggung klub dan pemain jika tuntutan mereka ternyata salah, yakni penambahan masa skorsing pemain. Hal ini yang belum ada di Indonesia. Alih-alih menegakkan aturan, yang ada di musim-musim yang lalu komdis malah memutihkan hukuman yang diberikan oleh wasit.
Berkaca pada kasus Eric Cantona di tahun 1991, dia diganjar setahun tak boleh merumput karena menendang penonton. Di Indonesia keputusan seperti itu baru sekali terjadi saat Bejo Sugiantoro diskorsding setahun karena memukul wasit. Itupun tak lama skorsingnya dipotong jadi 6 bulan. Padahal harusnya hukuman memukul wasit lebih berat disbanding pemukulan terhadap pemain.
Saat memimpin pertandingan, seringkali wasit ragu memberikan kartu kepada pemain yang melakukan pelanggaran. Padahal mereka tahu, jika itu di level internasional maka mereka pasti mendapat kartu. Tapi karena keraguan itulah akhirnya pemain terbiasa bermain keras menjurus kasar. Saat mereka bermain di level internasional, mereka kaget. Karena selama main di liga pelanggaran yang sama paling hanya dapat teguran, Sementara saat di level internasional malah dapat kartu kuning bahkan juga kartu merah.
Peningkatan kualitas wasit penting untuk pengembangan pemain usia muda. Percuma membekali pemain muda dengan tehnik mumpuni, tanpa memberi mereka pembekalan dan pengertian tentang peraturan sepakbola yang benar. Bagaimana etika dalam memprotes keputusan wasit yang merugikan dan masih banyak lagi. Jika tanpa wasit yang berkualitas, maka mereka ( Pemain muda ) akan cenderung bermain sesuai kebiasaan mereka bermain di liga domestik yang tentu saja tak bisa diterapkan di level internasional.
Sejujurnya peningkatan mutu wasit melalui berbagai seminar dan pelatihan kewasitan tak kalah pentingnya untuk kemajuan sepakbola Indonesia. Dengan wasit yang tegas, kekecewaan penonton akan kekalahan tim kesayangannya sedikit terobati karena memang mereka kalah secara ksatria. Tidak ada kecurangan. Otomatis hal ini akan mereduksi kemungkinan adanya kerusuhan di stadion.
Mari kita dukung PSSI untuk memperbaiki kinerja wasit yang memimpiin pertandingan liga di Indonesia, agar kasus mundurnya Iwan Setiawan ( Pelatih Persiaj ISL ) tidak merembet ke IPL. Iwan mundur bukan karena hasil buruk timnya, tapi kecewa dengan kinerja wasit yang tidak bisa bersikap tegas. Agar tawuran pemain yang menghakimi pengadil lapangan tidak terjadi lagi. Cukup sudah pelatih mundur karena kecewa keputusan wasit. Cukup sudah kejadian pemain menghakimi wasit. Hal ini bisa diminimalisir dengan peningkatan mutu wasit dan ketegasan komisi disiplin dalam menegakkan aturan.
Denpasar. 26022012.1030
Agung
Note:
· Bagian dari beberapa rencana tulisanku tentang pembangunan sepakbola yang lebih baik.
· Tulisan lainnya Pentingnya Pembinaan Usia Dini
Lanjutan cerbungnya mana niyhhh..! Lamaaa bwangettt ga ada sambungannya weww
BalasHapusSabar ya
Hapuslagi disambil nyiapin cerita untuk ikutan lomba
makasih