Minggu, 12 Februari 2012

Terror Rawagede

http://rioardi.wordpress.com/2011/12/01/foto-foto-langka-agresi-militer-belanda-di-indonesia/rioardi.wordpress
            Lelah belum lagi lunas terbayar, saat sayup gemuruh tank berderak mendekat. Derap sepatu boot mengiringi pergerakannya. Getaran-getaran yang ditimbulkannya serasa mengguncang bale bambu tempatnya merebahkan diri. Baru kemarin perjanjian renville ditanda tangani, kini mimis-mimis rakus KNIL dan pasukan Belanda mengancam ketenangan penduduk Rawagede tempatnya tinggal.

" Kenapa selarut ini tank-tank Belanda sudah memasuki perkampungan ini. " gumam lelaki muda berusia sekitar 30 tahun tersebut sambil mengucek-ucek matanya. Suara adzan isya' dari surau telah berlalu tanpa sempat dirinya mendengar iqomat yang terlindas pusaran rantai-rantai tank dan derap sepatu boot. " Adakah mereka hanya ingin menempatkan pasukannya di sini? " kembali sebuah tanya berkumandang di benaknya.


" Keluar..... Keluar.....Keluar kalian semua " suara beberapa orang prajurit Belanda mengagetkannya. Serentetan suara tembakan ke udara membahana di kegelapan yang semakin mencekam. Bunyi serangga malam yang lagi berdendang serentak terhenti, berganti dengan kengerian yang mencekam.

" Braaakk.. " lelaki tersebut terkejut. Pintu rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu terbuka lebar. Di depannya berdiri beberapa orang berseragam dengan menodongkan karabennya ke arah dirinya dan penghuni rumah tersebut. " Cepat keluar " bentak salah seorang dari mereka.

              Dengan langkah bergetar dia dan penghuni lainnya segera berjalan keluar. Tangan mereka terangkat di belakang kepala masing-masing. Dilihatnya hampir semua warga telah berkumpul di atas jembatan yang menghubungkan kedua sisi sungai. Beberapa orang anak kecil menangis dalam pelukan orang tua masing-masing. Hampir semua yang berkumpul di sana adalah wanita dan lelaki tua yang telah berusia lanjut. Sementara lelaki-lelaki muda yang seusia dirinya telah pergi. Mereka memilih ikut hijrah dengan TNI dan laskar pejuang ke daerah yang termasuk wilayah republik Indonesia. Yang tersisa di kampung itu hanyalah sekitar 15 orang laki seusianya.

               Dilihatnya satu persatu wajah mereka. Raut muka pucat menghias wajah mereka. Sementara di depan mereka berdiri lusinan tentara bersenjata lengkap. Mocong-moncong tank mengarah ke arah perkampungan yang terletak di tepian hutan tersebut.

"Siapa di antara kalian yang menjadi anggota ekstrimis? " bentak seorang lelaki.

                   Tak ada jawaban. Mata mereka saling tatap, namun tak ada suara yang keluar. Tangis anak-anak yang tadi terdengar, seketika terhenti. Lelaki kurus tersebut hanya diam membisu.

" Siapa di antara kalian yang berkomplot dengan para ekstrimis tersebut." kembali sebuah tanya membahana memecah keheningan. Begitu suara itu hilang dihembus angin, serentetan tembakan ke udara membahana. " Jika kalian tidak mau mengaku, Kami akan tembak kalian!" gertak suara yang berasal dari seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun. Tubuhnya yang tegap memndang ke arah kerumunan warga. Tangan kanannya memegang pistol yang telah terkokang.

                     Masih tak ada jawaban. Wajah-wajah yang sedari tadi pucat, kini semakin memucat. Degup jantung mereka semakin tidak beraturan. Namun bibir mereka hanya terkunci. Tak ada separah katapun yang terucap dari bibir mereka.

" Dorr.....Dorr " terdengar dua kali letusan dari ujung pistolnya. Dua buah tubuh segera menggelepar di atas jembatan tersebut. Seorang ibu dan anak lelakinya yang berusia sekitar 10 tahun roboh meregang nyawa. Hanya sebentar tubuh mereka bergerak, setelah itu diam selamanya. Darah segar mengalir dari kening mereka yang berlubang seukuran kelereng.

" Jika kalian masih tidak mau mengaku juga, jangan salahkan jika aku tembak kalian satu persatu. " Lelaki tersebut kembali mengancam. Moncong pistolnya masih terus mengarah ke arah warga Rawa gede. Wajah-wajah penuh kengerian semakin terlihat. Anak-anak kecil semakin rapat memeluk ibunya. Sementara sebagian warga yang telah berusia lanjut tampak semakin ketakutan. Tubuh mereka bergetar semakin hebat.

              Lelaki yang sedari tadi terus menanyakan keberadaan para pejuang tersebut semakin tak sabar. Tangan kirinya memberi aba-aba seorang prajurit yang berdiri di sampingnya. Serentetan tembakan terlontar dari karabennya. Beberapa orang yang berdiri di ujung kanan jembatan menjadi sasarannya. Tubuh mereka langsung menggelepar tersambar mimis-mimis yang terhambur dari senjata itu.

               kembali tatap mata lelaki yang merupakan komandan pasukan tersebut menyapu seluruh warga yang tersisa. Seringainya membuat warga yang tersisa semakin ngeri, tak terkecuali juga lelaki kurus berusia sekitar 30 tahun tersebut. 

                Waktu terus berlalu. Warga yang tersiksa kengerian merasa waktu begitu lambat berputar. Satu persatu warga tewas diterjang mimis-mimis senjata pasukan Belanda.  Beberapa tubuh ada yang terjatuh ke sungai, hingga anyirnya darah semakin terasa menyengat hidung. Warga yang tersisa tak lagi ada separuh. Sebagian besar telah terbunuh karena tak mau menunjukkan keberadaan para pejuang dan anggota TNI yang telah masuk hutan.

                    Perlahan-lahan lelaki kurus tersebut beringsut ke bibir jembatan. Tinggal beberapa orang warga di sebelah kanannya. Itu berarti gilirannya semakin dekat. Otaknya telah merencanakan untuk melompat ke sungai, begitu orang terakhir di sebelahnya ditembak.

            Saat kakinya tepat berdiri di bibir jembatan, tembakan karaben menghajar tubuh-tubuh di sampingnya. Berbarengan dengan jatuhnya beberapa tubuh ke sungai, dijatuhkannya tubuhnya ke bersamaan. Bunyi air yang tertimpa tubuhnya sejenak menghapuskan bunyia suara tembakan. Begitu tubuhnya masuk ke air, segera dia bersembunyi di bawah sekumpulan mayat yang terapung di sungai. Dibiarkannya tubuhnya terus terhanyut bersama aliran air.
               Perlahan tubuhnya semakin menjauh dari jembatan. Kepekatan malam itu sedikit banyak menolongnya dari tatap liar pasukan Belanda. Bunyi tembakan semakin sayup di telinganya, seiring waktu yang terus berputar. Saat tubuhnya semakin menjauh, bara memerah menghias langit. Rumah-rumah warga satu persatu hangus dibakar pasukan Belanda. Sementara bunyi dentuman tank beberapa kali mengarah ke tengah perkampungan dan ke arah hutan.

                      Saat kemilau warna merah semburat di ufuk timur, bunyi tembakan senapan dan tank telah berhenti. Deru suara tank yang berderak semakin menjauh, begitupun dengan suara derap sepatu boot tentara Belanda dan KNIL-nya. Setelah yakin jika keadaan aman, lelaki tersebut bergerak ke tepian sungai. Perlahan dia merangkak naik ke sisi sungai. Diperhatikannya kobaran api yang telah mulai padam. Samar-samar terlihat olehnya keadaan telah lengang. Tak ada lagi deretan tank yang menghadap ke arah Rawa gede. Tak ada lagi pergerakan tentara Belanda di sana.

                       Langkah kaki yang lemah menyeret tubuh lusuhnya ke Rawa gede. Perlahan dia berkeliling, melihat puing-puing rumah yang hangus terbakar. Beberapa orang wanita renta yang tadi tidak dibunuh oleh pasukan Belanda duduk menangir. Tangis pilu mengiringi setiap ratapan yang terlontar dari bibir mereka. Langkah kakinya terus menuntunya berkeliling. Tubuh-tubuh yang terserak tak tentu arah, menambah perih di hatinya. Perih di lengan kanannya yang terserempet peluru tak lagi di rasa, yang tersisa hanyalah kepedihan melihat tubuh-tubuh tak bernyawa. Tubuh-tubuh yang sebagian besar adalah wanita dan anak-anak tersebut kini hanya bisa diam.

                        Kakinya terus melangkah.Selarik demi selarik kalimat terus bergema dari bibirnya. Satu persatu tubuh-tubuh bisu yang kini telah membiru tersebut dikenalinya. Mereka warga-warga tak berdosa, korban kebiadaban tak bermoral penjajah serakah. Mereka kini hanya diam membisu. Senyum kebekuan yang tersungging seakan berkata " Kini kami tak lagi bernyawa. Tubuh ini telah kembali ke pangkuan_NYA. Berilah nilai pada kebisuan kami. Teruskan !!! Teruskan perjuangan ini, agar kami punya nilai di matamu.

Karawang-Bekasi 
 
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju dan mendegap hati ?
 
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
 
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
 
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
 
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
 
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

                   Saat matahari telah sempurna menghiasi bumi, lelaki tersebut memakamkan warga yang meninggal. Ditemani warga yang selamat, satu persatu lubang sedalam kurang lebih setengah meter menjadi peristirahan korban. Daun-daun pintu dan jendela kayu berganti fungsi menjadi papan dan nisan untuk pemakaman. Leleki kurus tersebut terus bergumam membacakan puisi-puisinya sambil memakamkan mereka.

Denpasar, 12022012.0401

Masopu

Note: 
  • Tulisan yang terinspirasi dari kasus Rawa Gede 09 desember 1947 dan Puisi Charil Anwar.
  • Maaf jika ada kesalahan penulisan nama dan peristiwa.

2 komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...