http://www.rimanews.com/read/20120905/74526/densus-sembunyikan-terduga-teroris-firman |
Aku duduk menghadap
jendela kamar. Hembusan angin pantai Kuta membawa sedikit uap air, efek panas
yang masih terasa sedikit terobati semilir angin. Meski AC sudah diset ke titik
terendah, panasnya udara masih membekas di kulit. Di sampingku, dalam posisi
duduk bersila di atas ranjang, Netti sibuk bermain dengan laptopnya. Sudah
hampir dua jam dia sibuk melacak IP seseorang yang sedang kami buru. Kabar
keberadaannya yang telah 2 minggu menyaru sebagai wisatawan membuatku penasaran.
Seorang agen Interpol Italy mengabariku tiga hari yang lalu, sesaat menjelang
keberangkatannya ke sini, megendus jejak-jejak bayangnya.
Netti, gadis manis berusia 29 tahun, maniak computer
terhandal yang aku punya. Tubuh tinggi dengan alis mata tebal dan bentuk wajah ovalnya
lebih pantas menjadi model ataupun seorang penyanyi, daripada menjadi polisi
sepertiku. Sudah 4 tahun dia berpartner denganku, mengendus jejak penjahat
lintas batas dan aku selalu menugaskannya untuk segala sesuatu yang berkaiatan
dengan komputer, sesuatu yang tak pernah aku bisa tangani. Sejak informasi
keberadaan sang Mafia Italy hinggap di telingaku, dia tak pernah lelah melacak
jejak-jejak maya. Sementara aku lebih suka menjadi seekor herder yang bertugas
mengendus sisa-sisa bau di alam nyata daripada menjadi mata-mata dunia maya.
“ Capt, aku berhasil melacak keberadaan Alessio Monaco.
Dari IP yang berhasil aku detect, dia ada di kawasan Jimbaran. Apakah Marco serta
kawan-kawannya sudah siap? “ suaranya yang lembut jelas menutupi kegarangannya
saat beraksi menangkap penjahat. Jemari lentiknya cukup terlatih untuk
memainkan pelatuk pistol yang selalu menggantung di pinggangnya. Kadang jemari
itu terasa lebih kokoh saat mengunci pusat-pusat kekuatan seorang yang sedang
lengah.
“ Marco, saat ini sudah siaga, tinggal menunggu kita saja.
Polisi lainnya, aku tinggal kontak AKP Made, tadi siang aku sudah koordinasikan
hal ini dengannya. “ aku menjawab sambil melihat ke laptop Netti. Aku tak bisa
membayangkan apa yang dilakukannya dengan benda itu, sekali dia membukanya
waktu yang ada terasa begitu cepat berlalu. Bibirnya lebih banyak ngoceh
sendiri tanpa pernah aku mengerti. Kadang tingkahnya seperti anak kecil yang
baru dapat permen, di waktu lain laiknya seorang remaja yang baru putus cinta,
menceracau tak tentu arahnya.
_ _ _
Mobil yang aku kemudikan berjalan perlahan. Dua ratus
meter lagi lokasi yang aku tuju akan kucapai. Aku melihat ke sisi kiri kanan
jalan yang aku lalui, beberapa orang lelaki berdiri dengan jarak yang teratur.
Ada yang sedang duduk di atas motor, ada pula yang sedang nongkrong di atas kap
ataupun kabin mobil masing-masing. Suara alunan musik yang mereka mainkan sayup
menyapa telingaku. Kuhampiri dua orang yang berdiri di dekat Freed putih,
seorang lelaki bertubuh setinggi 180 cm dengan baju putih dan ikat kepala
putih. Di sampingnya berdiri seorang wanita berperawakan hampir sama dengan
Netti yang saat ini duduk di sampingku. Di dalam mobil kulihat perlengkapan
untuk sembahyang tersedia.
“ Sore Capt. “
“ Sore Captain Arya. “
“ Bagaimana, apa semua personil sudah ada di posisi? “
“ Sudah Capt. “
“ Ok. Bripda Mayang, Bripka Netti, giliran kalian untuk
beraksi duluan. Pantau situasi sekitar villa, pastikan semua dalam kontrol
kalian. “
“ Baik, Capt. “ jawab Mayang dan Netti bersamaan.
Mayang meletakkan perlengkapan sembahyang di atas
kepalanya. Selendang kuning melingkari perutnya yang langsing. Netti melakukan
hal yang sama, melingkarkan selendang biru tua yang Mayang berikan. Setelah itu
dia mengiringi langkah Bripda Mayang berjalan menuju Villa yang masih sekitar
200-an meter lagi.
Selepas mereka pergi, aku segera mengumpulkan orang-orang
yang ada di situ. Sambil menunggu kedatangan Marco bersama dua orang
partnernya, aku memberikan pengarahan tentang strategi yang sudah aku susun.
Peta yang tadi aku dapat dari AKP Made cukup membantuku untuk menyusun strategi
yang akan aku pakai. Saat tengah membahas tugas masing-masing personil, sebuah
Civic putih mendekat. Tiga orang bule dan seorang lelaki kurus berambut panjang
turun dan segera bergabung, mereka adalah Marco, Mario dan Stefano dari
Interpol Italy serta Briptu Martin. AKP Made bergantian dengan Briptu Martin menjadi
penterjemah tentang paparan strategi yang aku susun.
“ Bagaimana, sudah paham akan tugas masing-masing? “
tanyaku di akhir paparanku.
“ Sudah Capt. “
“ Ok, kalau begitu kita bergerak perlahan sambil menunggu
tanda dari Bripda Mayang dan Bripka Netti! Seratus meter menjelang villa kita
berhenti. Marco, Briptu Martin dan tujuh orang ikut denganku, kita bergerak
dari arah depan. AKP Made, Mario, Stefano dan sisanya bergerak dari belakang
villa. ” Perintahku sambil memberi tanda agar mereka memasang alat komunikasi
yang kami bawa.
Aku bersama tujuh orang orang anak buah AKP Made, Briptu
Martin dan Marco bergerak masuk dari pintu depan. AKP Made dan delapan orang
anak buahnya ditambah Mario dan Stefano bergerak memutar melalui jalan
belakang. Di titik yang telah disepakati, kami berhenti dan menunggu Mayang dan
Netti kembali bergabung.
_ _ _
Hembusan angin dari arah pantai yang terus menerpa memaksaku
untuk merapatkan jaket. Sudah lebih dari 2 jam aku, Marco dan polisi-polisi
yang terlibat penggerebekan ini siaga di posisi masing-masing. Aku terus
memperhatikan ke arah villa, nyaris tak ada kegiatan yang terlihat. Dua mobil
yang sedari tadi teronggok di lahan parkir juga tetap di posisinya, tak ada
yang menyentuhnya. Aku hanya melihat dua orang berambut pirang keluar sekitar
sejam yang lalu. Setelah menghisap beberapa batang rokok, mereka kembali ke
dalam, bersamaan dengan kembalinya Mayang dan Netti dari penyamarannya. Netti
kini telah kembali di sampingku, sementara Mayang aku minta untuk segera
bergabung dengan AKP Made.
“ Bergerak! “ Perintahku melalui alat komunikasi. Aku
mengendap-endap menuju ke arah villa. Netti, Marco dan yang lainnya segera
mengikuti. Semakin lama jarak antara masing-masing personil semakin rapat,
seiring makin dekatnya villa tempat persembunyiam Alessio. Satu persatu
personil secara bergantian melintasi taman yang mengelilingi villa berlantai
dua itu. Saat orang terakhir berhasil melintasi taman, aku mendengar suara
pintu dibuka dari dalam. Aku segera memberi tanda orang-orang untuk merapat di
dinding dan berlindung.
Sambil mengendap-endap mendekati pintu, mataku terus
melihat ke titik yang mulai terbuka itu. Aku berusaha menekan rasa gugup yang
tiba-tiba datang. Sejujurnya ini bukanlah penggerebekan pertama yang aku
pimpin. Sudah tak terhitung berapa kali aku memimpin anak buahku untuk
melakukan penggerebekan bandar narkoba ataupun penjahat kakap lainnya, dan
rata-rata sukses aku jalankan. Hanya dua kali penggerebekanku gagal yakni saat
menggerebek komplotan pengedar narkoba di salah satu kompleks pertokoan Jakarta
dan markas perampok bank antar propinsi di Tangerang. Kebocoran informasilah penyebabnya.
Sejujurnya momen ini pertama kalinya aku menggerebek
orang asing, orang yang dicurigai sebagai gembong mafia asal Sicillia selatan.
Bukan rahasia lagi jika para Mafia dari sana terkenal jago bela diri baik
dengan tangan kosong ataupun senjata di tangan, selain itu mereka juga terkenal
kejam. Melihat gelagat adanya sedikit kegugupan di wajahku, Marco memberi
isyarat padaku untuk lebih tenang. Aku menarik nafas dalam-dalam dan
menghembuskannya perlahan. Saat aku bisa menguasai diri, sesosok tubuh pria
berambut pirang muncul dari balik pintu. Dia terkejut saat moncong pistolku dan
Marco mengarah ke wajahnya. Dia segera mengikuti isyarat yang aku berikan,
menutup pintu dan berjalan sambil tanganya terangkat tanda menyerah. Salah
seorang anak buah AKP Made segera menghampiri lelaki itu dan memborgolnya.
Dengan dikawal dua orang polisi, lelaki itu dibawa menjauh dari villa.
Aku dan Marco segera membuka pintu lebar-lebar. Aku
perhatikan ruang di depanku, kuberi tanda agar orang-orang segera mengikutiku.
Satu ruang berhasil kami kuasai, bergantian kami bergerak maju. Moncong senapan
serbu dan pistol yang kami bawa bergantian mengarah ke beberapa arah, singkat
waktu lantai bawah berhasil kami kuasai.
Saat aku dan Marco bersiap ke lantai 2, suara kokangan
senjata yang aku tahu jenis shoot gun segera memaksaku kembali berlindung.
Belum seutuhnya tubuhku tersembunyi di balik dinding, sebuah tembakan hampir
menyambar kakiku. Beruntung tembakan itu meleset beberapa centi dari posisiku.
Sesudah beberapa kali shoot gun menyalak, tugasnya memuntahkan peluru terhenti.
Dari intensitas tembakan yang semakin gencar, aku tahu jenis apa yang sekarang
bertugas. Setelah beberapa saat, suara tembakan terhenti. Kesempatan itu aku
gunakan untuk menembakkan gas air mata. Sebelum menyerbu ke atas, aku memasang
masker yang telah aku siapkan. Marco dan Martin segera melindungiku, mereka
berdua begitu dekat di belakangku.
Pengaruh gas air mata yang aku tembakkan tadi terbukti
ampuh, Alessio dan salah seorang anak buahnya yang tersisa tak berdaya. Mata
mereka tak bisa melihat dengan sempurna. Bahkan Alessio terlihat muntah
beberapa kali saat aku menghampirnya. Pistolnya kini teregeletak di lantai. Aku
mendekat sambil menodongkan senjataku. Sementara Martin dengan sigap segera
mengamankan pistol Alessio dan senapan otomatis yang dibawa anak buahnya.
Bersamaan dengan aksi Martin, Netti dan dua orang polisi masuk. Mereka segera
memborgol Alessio dan anak buahnya.
“ Good job captain. “ puji Marco.
“ Thank you. “ Aku menyambut uluran tangannya. Setelah
itu aku mengikuti anak buah AKP Made yang menggiring 3 mafia Italy itu ke mobil
patrol. Dengan pengawalan ketat, mafia-mafia itu dibawa ke Mapolres.
_ _ _
Denpasar. 18122012.0445
Masopu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar