60
menit terasa cepat berlalu. Kalimat demi kalimat bergantian keluar dari bibirku
dan bibirmu seperti hembusan angin yang tiada terhenti. Percakapan yang diawali
basa-basi yang basi semakin lama semakin membuatku pening. Entah kenapa aku
semakin tak bisa menikmati kalimat demi kalimat yang terus membanjiri
telingaku. Sanggahan dan nasehatku seakan membentur dinding gelombang,
menahannya untuk tetap mengembara di angan-angan tanpa harus kau sesapi dengan
hati. Jaring-jaring perasaanku menangkap adanya kesan kamu tak ingin setiap
kata yang meluncur dari bibirmu untuk didebat. Kamu ingin aku untuk mengikuti
segala maumu, tanpa kamu ingin tahu kenapa aku menentang inginmu. Capuccino,
banana splitz dan kentang goreng yang menemani kita nyaris tak tersentuh, hanya
sekali aku menghirup nikmatnya Capuccinoku, sementara banana Splitz-mu kau
biarkan teronggok di meja, mencairkan ice cream yang menjadi toppingnya.
Kisah pertalian yang orang tuamu
niatkan sudah tak mungkin lagi kita tentang. Mulai kini kamu sudah terikat pada
sosok lelaki lain, sosok yang pastinya bukan aku. Aku hanyalah sosok asing bagi
keluargamu. Asing, bukan karena mereka tidak mengenalku atau keluargaku. Mereka
mengenalku dan keluargaku sangat baik. Tapi masalah yang tak pernah terpecahkan
di masa lalu membuat keluarga kita terberai. Masalah ego dan keangkuhan yang
bersinggungan itu memaksa kita menapaki jalan terjal. Jalan terjal yang awalnya
kita yakini akan membawa kita menuju puncak asmara, meski kita menjalaninya
secara terselubung.
“ Kita bertemu lagi nanti untuk
membahas masalah ini. Niatanmu untuk mengajakku lari agar mendapat restu dari
mereka akan aku pertimbangkan. Sekarang mari kita pikirkan masalah ini
baik-baik. Aku tak ingin ada sesal di antara kita kelak. “
Aku berdiri. Tanpa menunggu pendapat
darimu aku berlalu. Pintu keluar sudah melambaikan tangan ke arahku, dia ingin
aku segera meninggalkanmu, meninggakan segala keruwetan yang kamu bawa dan
sampaikan.
Langit-langit kamar seakan
mengadiliku. Seperti ada gelombang kalimat yang terus mengalir dari sana,
memaksa mataku untuk terus terbuka dan tak mau terpejam. Antara kalimat yang
memintaku realistis dengan apa yang aku hadapi dan kalimat yang inginkanku
untuk membawamu lari dari kota ini silih berganti bertamu, menjejali hatiku
dengan kekalutan. Sudah seminggu waktu berlalu sejak pertemuan itu, seminggu lagi
menjelang pernikahanmu, tapi aku belum bisa membuat keputusan.
Sejak pertemuan terakhir kita, aku
bertingkah layaknya detektif, mengendus keberadaan Ricky, sosok yang akan
dijodohkan denganmu. Tempatnya merintis usaha selalu aku kunjungi, hanya untuk
melihat keseharian sosok yang telah merebut hati kedua orang tuamu. Cerita
tentangnya tak ada yang negatif. Rekan kerja selalu mengapreasiasi usaha dia
untuk melayani setiap permintaan yang ada, sementara karyawannya memeuji dia
sebagai sosok yang baik, memperlakukan karyawan sejajar layaknya partner
kerjanya juga. Dia lurus, tak ada kisah wanita yang bersinggungan dengan
hidupnya selain ibu-nya yang kini hidup serumah dengannya. “ Dia lelaki bertanggung
jawab yang jauh lebih baik dariku. “
Esok
kita akan bertemu, pertemuan yang akan menentukan kita seperti apa. Apakah akan
terus bersama ataukah bermusuhan seperti apa yang keluarga kita alami saat ini.
Ya perseteruan abadi orang tua kita terus menghantuiku, tapi bukan hanya hal
itu yang membuatku tercenung. Kalimat yang memintaku realistis semakin keras
menyambar, menyadarkan betapa besarnya dinding yang ada di antara kita. Aku
berdiri, berjalan menuju meja dan menyapa buku catatan tentang perjalanan yang
pernah kita lalui bersama.
“
It’s over. “ Usai kutuliskan kalimat itu, kututup buku bersampul hitamku.
Gembok kecil yang biasanya hanya terkait salah satu bagian kubuka. Kukaitkan gembok
itu pada kedua sisi buku dan aku menguncinya rapat-rapat, serapat keinginanku
yang baru saja kubulatkan.
_
_ _
Hilangnya
butiran air yang tadi menghiasi botol air mineral di tanganku, adalah gambaran
jedah waktu perbincangan aku dan kamu. Tatap-tatap mata kosong, desah nafas
tanpa harapan dan gerutu keputusasaan yang menggantung dari bibirmu cukup
menyiksaku. Tapi hatiku sudah bulat, niatku pun tak akan luntur tersapu deburan
ombak yang sedari tadi menggempur pantai, aku memilih meninggalkanmu.
“
Yana, aku tahu ini berat untukmu dan juga untukku. Tapi ini harus aku lakukan.”
Aku mencoba membuka kembali percakapan yang terhenti. Aku masih sempat melihat
butiran air mata yang kembali mengalir dari pipimu. Tapi aku tak mau menarik
kepalamu agar kembali tersandar di bahuku, seperti dulu pernah aku lakukan.
“
Yana, kamu mempunyai keluarga yang begitu mencintamu, begitu menyayangimu.
Sementara aku hanyalah sosok yang datang kemudian, saat kuncupmu perlahan
merekah. Aku mencintaimu dan aku menyayangimu lebih dari yang pernah kamu
bayangkan. Tapi aku tak bisa mencabutmu dari akar yang selama ini menghidupi.
Dirimu laksana bunga yang paling kucinta, mana mungkin aku akan membiarkan
terpetik tangan ini. Karena aku yakin jika sampai kamu terpetik tanganku,
sesudahnya kamu akan layu dan tak akan berkembang lagi. “ aku diam sejenak.
Kucoba menata nafasku, agar kalimat-kalimat yang mengalir sesudah ini tak
tercekat di tenggorokan, agar debaran hatiku yang menahan emosi tak lagi mampu
kau rasai.
“
Yana, turuti apa yang orang tuamu mau. Restu mereka adalah restu Tuhan. Ridho
mereka ada ridho Tuhan. Kita sudah cukup berjuang untuk mendapatkan restu
mereka, kita sudah cukup berdo’a mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi
takdir tak bisa dilawan, mungkin inilah jalan yang telah kita tuliskan sebelum
kita terlahir. “
“Arya,
kenapa kamu menjadi lemah begini? Kemana keberanian yang dulu begitu aku kagumi
darimu? Apakah hanya segini kemampuan dan kemauanmu untuk berjuang demi aku? “
“
Yana, ini bukan tentang keberanian, bukan pula tentang kemampuan dan kemauanku
untuk memperjuangkanmu. Ada hal lain yang selama ini tak mampu aku pahami dan
aku mengerti. Kamu selalu bilang jika kamu mencintai dan menghargai ibumu dan
kamu tahu bahwa yang orang yang paling berkeinginan menjodohkanmu dengan Ricky
adalah ibumu. Kini kamu begitu menentang perjodohan itu. Aku membayangkan
andainya aku berada di posisi seperti Ibumu, aku pasti kecewa dengan apa yang
kamu lakukan bahkan jika sampai kamu benar-benar lari darinya. Kamu pernah bilang
jika kamu lebih menyayangi Ibumu dan kata itu masih hangat dalam ingatanku,
tapi kini kamu malah ingin meninggalkannya demi aku yang baru 3 tahun dekat
denganmu. Aku takut kedepannya kamu akan memperlakukanku sama seperti yang
ibumu alami saat ini. “
“
Arya…!”
“
Yana, turuti perjodohan ini. Aku yakin ini yang terbaik untukmu. Biarkan aku
berlalu dengan kenangan tentangmu. Aku tahu Ricky jauh lebih baik dariku, jadi
terimalah dia apa adanya. Dia lebih sempurna dibanding aku. Dan aku yakin dia
mampu membimbingmu lebih baik, menjagamu sebagaimana bunga yang tak semestinta
terpetik dari tangkainya, hingga nanti usia akan meluruhkan daunmu satu persatu
hingga akhirnya kamu mengering. Aku tak ingin membiarkanmu layu karena
kesalahan yang bisa aku cegah. Kembalilah ke orang tuamu, ikuti apa yang mereka
mau, aku akan selalu berdoa untuk kebaikan dan kebahagianmu. “
Aku
berdiri, kutepiskan tanganmu dan berlalu. Tangisanmu yang mengiringi setiap
langkahku tak mampu memaksaku berhenti. Aku terus menjauh. Tanganku menuliskan
sebuah kalimat permintaan pada Ricky agar segera menjemputmu di pantai ini,
pantai terakhir pertemuan kita. Aku tak akan kembali ke pantai ini, pesawat
yang akan membawaku ke kota lain telah menantikanku. Aku berjanji tak akan
kembali jika hanya untuk membuka kembali diary hitamku yang telah terkunci di
sudut kamarku.
Denpasar.03122012.1605
Masopu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar