Kamis, 04 Agustus 2011

Lukisan Usang

Aku menghela nafas berat. Benarkah pernikahan itu seperti benteng?

Bagaimana mungkin aku mengatakan kepadamu (suamiku) bahwa aku telah bosan menjadi ibu rumah tangga? Sebagai mantan pelaksana kontruksi , jiwa petualanganku seolah terkurung setelah menjadi ibu rumah tangga. Aku merasa tertinggal jauh di belakang dan kurang up to date dibanding dengan teman-teman yang memutuskan terus bekerja, meskipun telah berumah tangga.


Aku sudah mencoba pekerjaan part-time sebagai usahaku agar tetap bisa berinteraksi dengan dunia luar, Tapi pada kenyataannya semua juga terbengkelai. Kenapa? Semua semata-mata karena sepertinya kamu keberatan dengan aktifitasku di luar rumah.. Kesibukanku mengurus anak2 dan rumah yang menyita waktu 24 jam, membuatku menghentikan komunikasiku dengan dunia luar yang sangat sedikit itu. Kejenuhanku memuncak. Aku ingin mengakhirinya.

Namun permasalahannya tidak sesederhana aku mengatakan keinginanku kepadamu. Dan kamu, suamiku akan dengan sukarela mengijinkanku bekerja kembali meskipun itu part-time.. Ada permasalahan lain yang saat ini menggayuti benakku. Setiap kali aku menggugat hal itu. Dalihmu adalah siapa yang nanti mengurus anak-anak kita. Kenapa aku mengambil bidang yang wan-profite..(memang aktifitas part-timeku jauh dari nilai nominal uang), mengapa aku asyik dengan diriku sendiri..

Semuanya bukan terletak pada berapa nominal yang akan kuperoleh. Anak? kupikir sudah waktunya mulai melatihnya agar bisa sedikit lebih mandiri. Tidak selalu tergantung pada orang lain… Permasalahan inilah yang membuat kejenuhanku berubah menjadi keresahan yang kian hari rasanya kian menelikungku. Membelenggu eksistensiku sebagai seorang individu. Aku tahu…saat mempunyai anak memang membutuhkan suatu pengorbanan. Pengorbanan badan melar saat mengandung & menyusui. Pengorbanan waktu. Pengorbanan harus membagi perhatian…dan lain-lain.

Aku tahu semua itu! Tapi entah kenapa kejenuhanku ini kian lama rasanya seperti membelengguku. Aku ingin berteriak..Aku ingin…akuingin sedikit saja waktu untuk diriku pribadi..hanya untukku. Sebentar saja. Dalam belenggu kejenuhanku itu aku seperti mendapat lilin saat seorang teman lama meng-add akun facebookku.
Adalah cerita soal masa lalu dan kemarin…

Yang kulakonkan padamu dengan bahasa morse..

Kubayangkan….engkau pasti tersenyum…..

Dan….sabar membaca isyarat-isyarat dariku…

Tapi…..aku jadi susah untuk menceritakan kepahamanku akan hidup kepadamu…

Sejak alamat dan nomor hpmu engkau berikan kepadaku….

Aku…..ingin bertemu denganmu…

Melebihi dari segala yang kuinginkan…..

(….memalukan!!!….)

Untuk menyamakan mozaik wajah yang telah kucoba kususun…

(dengan sebenar-benarnya dirimu …..yang sekarang)
 
Jun. lelaki itu seniorku di fakultasku. Pertemuan kembali dengannya ini membuatku teringat kembali tentang masa laluku. Pertemuan tiba-tiba yang mendebarkan dan perbincangan-perbincangan di dunia maya ini menyeretku menyelami kenangan lama.

Jun….
Barangkali kau tak lupa,
Bahwa aku pernah jatuh cinta.
Barangkali kaupun takkan lupa,
Bahwa aku pernah patah hati.
Barangkali kau tak lupa pula,
Bahwa kau tak pernah tahu;

Kepada siapa aku jatuh cinta;
Kepada siapa aku pernah patah hati.
Barangkali kau perlu tahu,
Bahwa ‘aku pernah jatuh cinta padamu
Dan patah hati padamu.’

Entah mengapa godaan-godaan itu datang saat aku ada dalam titik kejenuhanku. Saat aku berada pada titik terlemahku. Dan aku tak kuasa menolaknya.. Mengingat kembali cerita lama. Serasa menumbuhkan semangat baru dalam hidupku yang menjemukan & membuatku putus asa. Terlebih lagi saat apa yg dulu begitu kunantikan, begitu kuharapkan…baru kudengar sekarang.

“Ada masalah dengan pernikahanku. Suatu saat nanti, kalau waktunya tepat..akan kuceritakan semuanya lengkap padamu,” tulis Jun pada salah satu pesannya. “Aku juga tidak pernah bisa melupakanmu. Sejak dulu. Andai saja aku dulu punya keberanian mengatakan perasaanku padamu atau kamu mau mengatakan perasaanmu padaku…. Andai saja….”

Fantastik. Perempuan mana yang tidak terlena. Bayangkan 10 tahun lebih..dan dia masih menyimpan perasaan itu. (aku tahu & sadar, sesadar-sadarnya….bisa jadi semua yang dia tulis itu hanya rayuan gombalnya saja. Tapi tak urung semua itu membuatku terlena & terperosok semakin dalam)

Siapakah aku yang merindu pada burung liar itu….

Menunggu dibalik jendela dan menyimpan sepasang sayap untuk terbang….

Pada malam-malam penuh do’a

Siapakah aku yang menyimpan taman mawar…

Pada perjalanan yang gelisah, yang harumnya….

Menerbitkan rasa kangen yang tidak biasa…

Aku tidak tahu maknanaya…

Siapakah aku yang selalu ada disegala sudut langit…

Membiarkan hati terbakar kangen yang sangat…

Membuka lapis demi lapis rahasia kecemburuan yang tak ada maknanya…

Membingungkan…

Sejak kurasakan kangen menyamun diriku sendiri…

Seperti halnya hari-hari sebelum 120 hari yang lalu…

Akankah esok dan lusa hanya menjadi milikku seorang diri…

Pada sebuah Februari, Maret, April dan Mei…

Sepertinya….

Aku terlena kembali……

Aku yang sedikit banyak masih menyimpan debar itu. Tak sanggup bicara. Dan, membiarkan saja ketika arus deras mulai menyeretku. Harapanku yang indah itu seperti kembali menjelma. Nyata dalam hari-hariku. Membuaiku dalam kerinduan akan yang rasanya tiada biasa lagi.

Mendengar suaramu dlm kesunyian..
Membaca tulisanmu di atas aliran air..
Seperti makna harapan menghitung waktu yang terlelap dalam realita…
Ada dalam hati tidak serupa kabut..

Hanya degup keraguan yang tiada berbunyi…membuat
Dirimu atau diriku kah berlari meninggalkan harapan diri…
Meskipun gema sadar merasakan getar kerinduan..
Merindu itu menyakitkan…

Setidaknya, satu bait selalu untukmu…
Dan bait itu untuk mengatakan…miss u much…” kata Jun.

Sampai kemudian arus itu menghempaskan aku ke karang terjal, kembali ke kenyataan hidup. Kesadaranku bahwa aku sudah bukan lagi perempuan bebas, kembali menyadarkanku.. Aku adalah seorang istri dan seorang ibu. Ini sudah menjadi pilihanku. Pilihan hidupku…Janjiku pada Tuhan 4 tahun yang lalu. Akankah aku sanggup mengingkarinya??? Tidak!!!

Aku bagaikan petani yang menanam benih diperut bumi. Mereka menyemai benih ditengah sawah lalu kembali ke rumah mereka pada sore dengan angan-angan, harapan dan penantian saat-saat panen dan memungut hasil. Sedangkan aku menyemai benih hatiku tanpa harapan dan penantian. Hidup macam apa yang aku harapkan??? Bodohnya aku..

Mungkin dan kuharap aku tidak terlambat, jika aku mulai menyesali langkahku.Bagaimanapun, aku tak mau kehilangan suami & anak-anakku.

Kalau sebatang pohon mempunyai terlalu banyak dahan…

Buahnya akan jelek….dengan dipangkas, beban sebatang pohon juga berkurang.

Apakah manusia juga harus dipangkas?Jadi…, kalau laki-laki ini & laki-laki itu tumbuh dalam hati kita…kita harus memangkas salah satu dari mereka?

Aku memutuskan untuk menepi dari arus deras ini. Sebelum semuanya kian parah…sebelum semuanya menjadi sangat-sangat terlambat… aku tidak mau dalam rumahku ada “Cermin yang rusak yang disambung kembali, karena bayangan yang terpantul sesudahnya pasti akan terdistorsi.” Karena aku tidak menginginkan ada kesalah pahaman dan perpecahan meskipun pada akhirnya akan kembali menyatu… karena rasa yang ada di antara kami tidak akan lagi sama…Sama sekali tidak akan pernah sama…

“Tapi bagaimana dengan kebersamaan kita?” singgung Jun saat kusinggung masalah itu dalam perbincangan kami di telepon. “Kau tega menghilang, meninggalkanku lagi seperti dulu? Apa aku harus kehilanganmu untuk kedua kalinya?”

“Jun, kamu punya keluarga. Demikianjuga denganku. Dan aku tidak mau kehilangan anak-anaku.”

“Juga Udin? Kau mencintainya?”

Aku terpekur, memandang jauh kedalam pikiranku. Ke dalam hatiku, Ke dalam batinku. Mencintaimu? Mencintai Rahman, suamiku? Apa sebenarnya arti cinta bagi seorang perempuan? Lelaki seperti Rahman yang sabar, lembut, baik hati, pengertian, perhatian terhadap anak-anak, orangtuaku, tanggung jawab, taat beribadah dan…ah, apalagi yang mesti kuragukan dengan keberadaan Rahman di hatiku?

“Lia, kau…kau mencintai Udin?”

Kuanggukkan kepalaku berkali-kali. Meskipun aku tahu Jun tidak bisa melihatku. Mataku memanas. Lalu kutelungkupkan kepalaku di atas meja. Seperti kertas yang tertendang ombak hingga menepi di daratan, aku terkulai remuk. Telepon sudah terputus. Aku menghela nafas berat. Satu episode hidup terlewati..

Sesekali, aku akan merasa senang jika suatu saat bisa keluar dari benteng… janji, hanya sebentar..hanya untuk melihat-lihat dan menyapa orang-orang…dan pastikan aku akan kembali…masuk ke dalam bentengmu Udin…dalam kondisi utuh tak terbagi2…karena kenyataannya, aku lebih senang …lebih bahagia ada didalmnya dan menjadi benteng bagi anak-anakku. Juga Rahman??

Blitar, 10 Juni 2011

Untuk Jun, Sekarang ini tidaklah penting apa yang ada didalam hatimu pun yang ada di dalam hatiku dulu…Yang terpenting sekarang adalah, bagaimana kita menjaga hati kita…Jangan sampai tercecer dimana-mana…karena ada hati lain yang harus kujaga…

Untuk Suamiku, aku tidak akan kemana-mana…percayalah…kujaga …kujaga selalu rasaku..rasamu..rasa kita..
Untuk Allah …

Hibahkanlah kepada hamba, sifat yang selalu insyaf, akan diri dan asal badan. Agar hamba mampu, menjalani titian kehidupan, dengan kesadaran hati. Jangan biarkan hati hamba melesat…, menjauh dari keridhoanMu. Jangan biarkan hati hamba membumbung, khilaf pada kerendahan diri. Diri yang rendah penuh hina. Allah…, dari Mu lah segenap yang ada dalam diri, dari Mu lah keelokan semesta ini. Maka buatlah hamba rela, jika semua (apapun juga) Kau ambil kelak

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un…

———-

Kolaborasi : Agung Hariyadi + Amelia Retnowati No. 191
NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...