Siang tadi seperti biasanya saya browsing internet untuk baca berita di situs berita online yang ada. Sebenarnya tadi saya mau cari info tentang hasil pertandingan antara Ac Milan Vs AS Roma. Tapi saat klik halaman bola mata saya langsung tertuju sama tulisan tentang hibah tanah seluas 25 ha yang diberikan oleh keluarga Bakrie untuk fasilitas latihan Timnas Indonesia di masa yang akan datang. Lahan itu rencananya untuk menyediakantempat latihan yang lebih representatif dibandingkan dengan tempat latihan yang ada di kawasan Sawangan Depok. Tempat latihan tersebut akan digunakan untuk menggembleng Timnas dari semua tingkatan umur mulai dari usia 13 sampai dengan Timnas senior. Lokasi yang dihibahkan terletak dikawasan di jalan Ki Mangun Sarkoro no. 42 Jakarta Pusat. Berita itu di muat di kompas bola (http://bola.kompas.com/read/2010/12/20/13280334/Ical.Hibahkan.Tanah.25.Ha.untuk.Timnas )
Dalam kasus ini saya jadi merasa ada suatu ironi yang dilakukan oleh keluarga Bakrie. Sebagaimana kita tahu bahwa keluarga Bakrie adalah pemilik modal di perusahaan Lapindo Brantas melalui anak usahanya yang bernama PT LAPINDO BRANTAS yang telah melakukan pengeboran minyak di kawasan Dusun Balongnongko Desa Renokenongo Kecamatan Porong Sidoarjo. Dan sudah kita ketahui bersama bahwa akibat dari pengeboran tersebut telah menimbulkan luapan lumpur yang menenggelamkan 16 desa dan 3 kecamatan yang berada di dekat lokasi pengeboran. Ironi karena sampai saat ini pihak PT Lapindo Brantas belum menyelesaikan ganti rugi untuk para korban terdampak luapan lumpur Lapindo. Tapi dengan bangga dan dalih untuk kemajuan sepakbola nasional, keluarga ini memberikan hibah cuma-cuma kepada Timnas sedangkan kewajiban mereka untuk mengucurkan ganti rugi sampai saat ini belum selesai 100%.
Sebagai warga yang pernah tinggal di dekat lokasi kejadian bencana, saya sendiri merasakan dampak dari kejadian tersebut. Saya pernah tinggal dan bekerja di sebelah timur lokasi bencana. Tempat tinggal dan bekerja saya dari pusat semburan lumpur lapindo hanya berjarak kurang lebih 10 km arah timur lokasi, jadi efek dari semua itu sedikit banyak pernah saya rasakan. Saat lumpur meluap ke jalan Raya Porong, teman-teman saya yang biasanya tiap hari berkirim barang melalui jalan tersebut seringkali terjebak kemacetan gara-gara luapan lumpur yang meluber ataupun pipa PDAM yang pecah akibat turunnya permukaan tanah di daerah tersebut. Selain itu beberapa kali sayan sendiri melalui jalan tersebut untuk pergi ke Surabaya, tiap kali lewat selain kejebak kemacetan yang melelahkan seringkali mata ini harus mengalami iritasi karena terkena debu-debu yang beterbangan baik akibat mobil pengangkut pasir batu yang lalu lalang maupun luberan lumpur kering yang beterbangan ditiup angin dan tergilas roda kendaraan. Selain itu jalanan yang rusak parah akibat penurunan permukaan tanah mengakibatkan kerusakan parah yang seringkali berujung kecelakaan.
Memang sampai saat ini masih simpang siur penyebab terjadi luapan Lumpur Panas Lapindo tersebut. Warga korban luapan Lumpur Lapindo beranggapan penyebab semua itu adalah pihak PT MINARAK LAPINDO ( selaku operator pengeboran yang merupakan anak perusahaan PT LAPINDO BRANTAS ) yang sudah diperingatkan warga untuk tidak melakukan pengeboran di lokasi, karena mereka tahu tanah di situ labil, tapi pihak PT tetap melakukan. Sedangkan versi PT Minarak Lapindo peristiwa ini murni bencana alam seperti tercantum di blog pribadi putra mahkota Bakrie ( Anindya Novyan Bakrie ). Pihaknya mengaku keberatan untuk mengganti kerugian material yang dialami oleh para korban. Karena menurut Anindya PT Minarak Lapindo hanyalah perusahaan kecil dan nilai ekonomis perusahaan tersebut hanya sebesar 30% serta di perusahaan tersebut keluarga Bakrie punya saham sebesar 60%. ( berita ini dikutip dari TV ONE, Minggu 20 juni 2010 ).
Sementara beberapa ahli pengeboran dari luar negeri yang dirilis oleh situs INDOLEAKS tertanggal 11 desember 2010 menyatakan bahwa peristiwa tersebut adalah kesalahan prosedur pengeboran yang dilakukan oleh pihak Lapindo Branntas. Menurut Simon Wilson asal Amerika Serikat, pada tanggal 2 juni 2006 pihak Lapindo Brantas sebagai operator pengeboran telah mencabut alat pengeborannya, setelah sebelumnya pada tanggal 28 mei 2006 tengah malam mendapat laporan bahwa sumur dalam keadaan tak stabil dan dibutuhkan perbaikan untuk mengatasi kehilangan sirkulasi. Menurut Simon pihak operator tidak profesional dalam menjalankan tugasnya.
Pendapat diatas seakan menguatkan pendapat yang dikeluarkan oleh Proff. Richard Davies dari Universitas Durham yang menyatakan bahwa ada kaitan antara peristiwa meluapnya lumpur lapindo dengan kesalahan proses pengeboran yang dilakukan oleh PT Minarak Lapindo. Menurut Ricahard Davies hal itu terjadi karena Human Error dalam proses pengeboran dan hal ini dia publikasikan di jurnal Marine and Petroleum Geology. "Mereka ( PT Lapindo Brantas ) telah salah memperkirakan tekanan yang bisa ditoleransi oleh sumur yang mereka bor, Saat mereka gagal menemukan gas pada proses pengeboran, mereka menarik alat bor tanpa mempertimbangkan keadaan sumur yang tidak stabil." kata Richard Davies.
Sementara tim khusus DPR yang dibentuk untuk mengawasi dan menyelidiki kasus tersebut malah berpendapat bahwa kasus ini adalah bencana alam. Kontan saja pernyataan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Masyarakat pada umumnya menilai rekomendasi tim DPR tersebut memberi keuntungan kepada keluarga Bakrie dan secara tidak langsung membebaskan mereka dari tuntutan untuk memberi ganti rugi kepada warga sekitar yang terdampak dan juga 30 perusahaan yang pabriknya ikut tenggelam dalam kubangan lumpur. Sampai saat ini tercatat 10426 rumah tenggelam, 25000 jiwa mengungsi, 77 unit rumah ibadah tenggelam , 18 sekolah, serta 2 koramil ikut tenggelam serta hancurnya sarana jalan di sekitar lokasi.
Dengan begitu banyaknya nilai kerugian yang ditimbulkan oleh PT Minarak Lapindo sebagai salah satu perusahaan yang grup Bakrie punya, jadi sebuah pertanyaan yang timbul di benak saya apakah tidak sebaiknya jika keluarga bakrie lebih dahulu menyelesaikan kasus ini dengan setuntas-tuntasnya. Karena selama 4 tahun lebih warga yang jadi korban telah berjuang untuk memperoleh ganti rugi, tapi sampai saat ini masih ada warga yang belum terselesaikan masalahnya. Bahkan dalam satu berita yang dirilis oleh antara tertanggal 30 mei 2010 lalu, ada 2 orang wakil dari PT Lapindo Brantas yang ikut bertarung untuk memperebutkan kursi jadi bupati Sidoarjo. Mereka adalah Yuniwati Teryana ( Wakil Presiden PT Lapindo Brantas bidang hubungan sosial ) yang dicalonkan oleh partai Demokrat dan Bambang Prasetyo Widodo ( Direktur operasional PT Minarak Lapindo Jaya, Anak perusahaan PT lapindo ) yang dicalonkan oleh PDIP, GOLKAR dan PKNU.
Andai waktu itu salah satu dari kedua calon yang mewakili PT Lapindo tersebut memenangkan Pilkada Bupati Sidoarjo bisa dipastikan perjuangan para korban semakin berat untuk memperoleh ganti rugi dari Keluarga Bakrie. Apalagi dengan pernyataan pemerintah yang menetapkan Lumpur Lapindo sebagai bencana alam, hal ini saja sudah sedikit membebaskan pihak keluarga Bakrie dari tuntutan pemberian ganti rugi korban lapindo.
Sangat Ironi melihat mereka yang menurut FORBES merupakan keluarga terkaya di Indonesia, tapi tidak mampu ( mau ) mengganti kerugian yang diderita oleh warga yang terkena dampak Lapindo. Malah mereka dengan bangganya menyerahkan hibah tanah 25 ha kepada Timnas Indonesia untuk membangun sarana latihan. Bukannya saya tidak cinta Timnas, tapi saya bertanya apa keluarga Bakrie tidak mau berempati dan bersimpati terhadap korban Lapindo? Ataukah mereka hanya memanfaatkan momen kemenangan Timnas untuk tebar pesona agar di pemilu 2014 nanti warga banyak yang memilih dia? Saya secara pribadi tidak akan memilih calon yang tersangkut masalah yang belum selesai seperti Bakrie ataupun tokoh lainnya yang pernah bermasalah hukum dan tidak mampu membuktikan jika mereka tidak bersalah.
Pak Bakrie dan Keluarga tolong dengarkan jerit hati para korban Lumpur Lahttp://www.blogger.com/img/blank.gifpindo yang di sana, Sudah berapa banyak mereka yang terkena penyakit pernafasan karena asap beracun yang keluar berbarengan dengan semburan lumpur? Sudah berapa nyawa yang melayang akibat kejadian tersebut? Sudah berapa banyak keluarga yang harus mengungsi dan hidup menggelandang karena kejadian itu? Sudah berapa banyak orang yang kehilangan pekerjaan karena tempat mereka bekerja tenggelam diterjang lumpur? Sudah berapa banyak anak usia sekolah yang kehilangan tempat mereka belajar menuntut ilmu dan bermain karena sekolah mereka tenggelam? Dan masih banyak lagi tanya yang masih tersimpan dan belum tersampaikan.
Denpasar, 21 Desember 2010
03.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar