Jumat, 28 Oktober 2011

Back To Work

Hari terus berganti. Detikpun terus melukiskan kenangan-kenangan berkuas memori. Merajahi hati-hati yang tersinggahi berbagai rasa. Setelah menikmati masa cuti dari kantornya, Iqbal hari ini mulai menunaikan aktifitas rutinnya sebagai karyawan sebuah perusahaan konstruksi di kota Jakarta. Dengan langkah tegap dan senyum yang selalu menghiasi wajah tampannya, disapanya teman-temannya yang ditemui ketika berjalan menuju ruangannya. Mereka membalas sapaan Iqbal dengan ramah dan bersahabat.Sapaan-sapaan Iqbal tersebut sontak membuat beberapa karyawati yang ketemu dengannya tersipu malu. Sudah bukan rahasia lagi, jika Iqbal ibarat Arjuna di mata karyawati-karyawati kantor tersebut terutama karyawati yang masih berstatus single.

Iqbal Ferdiansyah telah bekerja di perusahaan tersebut sekitar 2 tahun. Semenjak lulus dari bangku kuliah di sebuah Universitas negeri ternama di kota Jogjakarta, Iqbal langsung bekerja di perusahaan tersebut. Dengan modal ilmu yang diperolehnya selama di bangku kuliah, Iqbal dipercayai menangani beberapa proyek konstruksi besar. Penempatannya tersebut didasarkan atas prestasi yang dia peroleh sebagai lulusan terbaik di universitas tersebut, serta kecakapannya dalam bekerja.


Iqbal setiap harinya jarang berada lama di ruangannya. Biasanya sehabis makan siang, dia sudah berada di lokasi-lokasi proyek yang ditanganinya. Bahkan di hari-hari tertentu dia lebih sering tidak berada di tempat. Selepas absensi dia segera berangkat ke lapangan dengan membawa berlembar-lembar gambar konstruksi proyek dan laptop kesayangannya.

Hari ini setelah melihat progres dan laporan proyek-proyek yang ditanganinya, Iqbal segera keluar dari ruangannya. Tangan kanannya menenteng tas laptopnya. Sementara di pundak kirinya tersandang tas kecil berbentuk bulat yang biasa dia gunakan untuk membawa beberapa gambar konstruksi. Langkah kakinya cepat menyusuri lorong kantornya tersebut menuju ke arela parkir. Dengan ditemani oleh seorang sopir kantor, Iqbal menuju ke lokasi yang hendak ditinjaunya.

Sopir yang mengantarnya adalah seorang lelaki setengah baya berusia sekita 48 tahun. Namanya pak Slamet. Pak Slametlah yang selalu mengantar Iqbal kemanapun dia hendak pergi. Dengan pak Slamet yang usianya tak jauh berbeda dengan ayahnya, Iqbal begitu menghormatinya. Iqbal menghormatinya karena keluasan ilmu agamanya. Hal itulah yang membuat lelaki tersebut begitu disukai oleh hampir semua karyawan kantornya. Pak Slamet taat beribadah dan jujur. Dalam moment-moment tertetntu, pak Slamet seringkali menjadi imam Iqbal dalam menunaikan sholat fardlu.
" Ada apa to mas Iqbal kok kelihatannya agak pendiam hari ini? " tanya pak Slamet memecah keheningan kabin mobil tersebut. Iqbal yang tengah terdiam dalam lamunannya tergagap.

" Tidak ada apa-apa kok pak. Hanya teringat keluarga di rumah pak."jawab Iqbal sambil berusaha melemparkan seulas senyumnya.

" Tidak biasanya lo mas Iqbal itu diam termangu kayak tadi. " lanjut pak Slamet dengan logat jawanya yang masih medok. Padahal sudah hampir 5 tahun lelaki asal Purwekerto tersebut menetap di Jakarta.

" Masak sih pak? " tanya Iqbal dengan wajah yang masih bersemu merah karena tak sadar sedari tadi tingkahnya selalu diawasi oleh pak Slamet.

" Iya mas. Masak masih kepikiran keluarga di rumah sampai segitunya. Hayo pasti kemarin pas liburan ketemu sama pacar ya? " tanya pak Slamet.

" Enggak kok pak. Kemarin liburan hanya ketemu sama orang tua dan teman-teman SMA dulu pak."jawab Iqbal.

" OOO gitu ya. Bagaimana kabar ibu-bapak di rumah mas?" tanya pak Slamet.

" Alhamdulillah sehat pak. Eh saya kemarin juga menceritakan bapak ke orang tua di rumah. Mereka berterimakasih sama bapak karena telah membantu menjaga saya." jawab Iqbal mengalihkan perhatian.

" Yang bertanya ibu-bapak atau pacarnya mas? hehehehehe." tanya pak Slamet sambil tersenyum menggida.

" Ah pak Slamet ini ono-ono wae. Saya tidak punya pacar pak. " 

" Terus kenapa kok wajahnya bersemu gitu kalau saya tanya tentang pacar? Kalau begitu pasti kemarin mas ketemu cewek yang cantik dan masnya tertarik? " tanya pak Slamet dengan mimik wajah jenakanya menggoda Iqbal.

" Tahu ah pak" jawab Iqbal pura-pura marah.

" Wah kalau marah berarti beneran nih? Siapa ya yang beruntung dapat perhatian cowok seganteng dan sebaik mas Iqbal ini? " goda pak Slamet lagi.

" Sudah ah pak. Aku jadi grogi nih?" pinta Iqbal dengan tersipu-sipu.

" Ya sudah kalau mas Iqbal gak mau bercerita. " jawab pak Slamet. Kembali matanya tertuju pada jalan yang dilaluinya.

Iqbal tersenyum dalam hatinya. Aksinya pura-pura marah membuat pak Slamet berhenti menggodanya. Di sisa perjalanannya tersebut pikiran Iqbal melayang entah kemana. Kembali dirinya teringat dengan wajah Xixi. Wajah dan senyum wanita tersebut begitu menggodanya. Perjumpaan yang hanya berlangsung sebentar tersebut telah menggoreskan kenangan di hati Iqbal.

Dalam setiap lamunannya, Iqbal selalu terbentur dengan keadaan wanita tersebut. Xixi dengan model berpakaiannya yang terbuka, secara tak langsung akan memancing komentar miring di kalangan lingkungan sekitar tempatnya tinggal. Bagaimanapun ayah Iqbal adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. 

" Ah kenapa sih kok pikirankua jadi ngelantur gini? " gumam Iqbal. Segera dia pindah ke kursi depan mobil tersebut. Dia duduk di sebelah kiri pak Slamet yang menoleh sebentar. Kemudian mereka berdua terlibat gurauan di sisa perjalanannya.

Denpasar, 28102011.0239

Masopu

Note :
  • Untuk membaca tulisan sebelumnya Silahkan baca di bagian 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7                        
  • Maaf jika ada kesamaan nama tokoh dan cerita. Ini hanya fiksi belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...