Basanan
– Wangsalan, Berpantun Ala Banyuwangi dan Dinamikanya
Basanan
adalah seni berpantun yang ada dan berkembang dengan baik di Banyuwangi.
Basanan bisa diidentikkan dengan parikan Jawa, tapi pada prakteknya menggunakan
bahasa Using. Sama seperti pantun dalam bahasa Indonesia, Basanan menggunakan
pola Sampiran dan Isi. Sampiran adalah perangkat kata dan kalimat pembuka dalam
basanan yang biasa digunakan sebagai penyelaras dengan isi basanan. Sementara
Isi merupakan kalimat yang menjadi pokok dalam Basanan. Isi dari Basanan bisa
berupa nasehat, sindiran ataupun pedoman hidup yang berguna untuk masyarakat.
Dalam salah satu kisah yang pernah saya dengar, Basanan dulu juga biasa
digunakan oleh seorang lelaki untuk melamar calon istrinya. Dalam
pelaksanaannya, si Lelaki duduk di samping rumah dan membacakan basanan yang
dia buat untuk merayu calon mempelai wanitanya.
Contoh
Basanan :
Cemeng,
cemenge manuk sikatan (Hitam, hitamnya
burung sikatan)
Kadung
Putih kethune pak Kaji (Jika putih
kopyahnya pak Haji)
Meneng-meneng
njaluk Pegatan (Diam-diam minta
pegatan/cerai)
Goleko
maning hang pinter ngaji (Carilah
lagi yang pinter mengaji)
(Asmuni,
Mangir-Rogojampi)
Wangsalan
pada prinsipnya sama dengan basanan. Jika Basanan adalah pantun yang berisi
nasehat, sindiran atau pegangan hidup, wangsalan adalah sebaliknya. Wangsalan
adalah seni berpantun yang biasa digunakan untuk bermain tebak-tebakan. Sama
seperti Basanan, Wangsalan juga menggunakan kalimat sampiran dan isi. Perbedaan
lain dari Wangsalan adalah adanya jawaban yang muncul dari pantun ini.
Contoh
Wangsalan :
Nang
Padang Ulan kelompenan (Ke Padang Ulan pakai terompah)
Pirang
ulan riko demenan (Berala bulan/lama pacaran)
Sama
seperti pantun dalam bahasa Indonesia, Basanan-Wangsalan juga menggunakan rima.
Rima adalah padanan/persamaan bunyi di akhir kalimat dalam pantun atau puisi. Dalam
Basanan-Wangsalan, rima yang sering digunakan adalah: a-a-b-b, a-b-b-a dan
a-b-a-b. Sangat jarang, bahkan sangat sulit kita temukan basanan yang
menggunakan rima lainnya.