Selasa, 15 Februari 2011

Dilema

Waktu terus bergulir dengan cepat, setelah hampir setengah harian Aku berkeliling kota untuk mencari obyek liputanku dan sejauh ini aku belum juga menemukan berita yang menurutku layak untuk dicetak. Karena lelah dan lapar, akhirnya aku putuskan untuk berhenti sejenak di warung nasi dekat masjid di alun - alun kota untuk makan sekalian sholat. Sehabis sholat segera aku memesan makan yang sesuai dengan seleraku dan tak lupa ditemani dengan es kelapa muda kesukaanku. Dalam waktu sekejap makanan di depanku segera tandas tanpa tersisa sedikitpun.

Saat rasa lelah di tubuhku sedikit terobati dan juga aku merasa badanku sudah fit lagi, segera aku raih kamera dan ID wartawanku. Sebelum melangkah pergi meninggalkan warung aku menghampiri penjaga warung tersebut.

” Berapa bu ? ” Tanyaku

” Biasanya saja mas. Sudah dapat berita belum mas? ” jawab ibu tersebut.

” Belum bu ” kataku sambil menyerahkan sejumlah uang untuk bayar makanan dan minumanku tadi.

” Mas belum denger tentang berita kerusuhan di bagian barat kota. beritanya barusan saja mas, belum sampai sepuluh menit yang lalu. Ini ibu mau tutup sekarang, takut merembet ke sini mas. Coba mas kesana sepertinya sih belum berakhir mas kerusuhannya. ” kata ibu itu sambil menerima uang dariku.

” Terima kasih bu untuk beritanya. segera saya kesana bu “

Segera aku bergegas ke arah motor yang selalu setia menemaniku dalam menjalankan tugas. Meski sudah agak usang catnya, tapi karena mesinnya yang bandel membuatku segan tuk ganti motor baru. Segera kupacu motorku ke arah barat kota seperti yang ibu pemilik warung tadi katakan. Tak sampai setengah jam aku sudah sampai tujuan.

Aku memarkir motorku di depan rumah warga yang agak menjorok ke dalam dan menurutku aman dari aksi kerusuhan. Aku siapkan kameraku, sambil tak lupa kembali mengalungkan ID-ku sebagai wartawan. Dengan berjalan kaki aku terus mendekati area kerusuhan tersebut berlangsung. Tampak ratusan orang bersenjatakan benda - benda tumpul dan senjata tajam berlarian kesana – kemari tak tentu arahnya. Saling kejar dan saling serang terus terjadi diiringi dengan hujan batu yang tak hentinya berjatuhan.

Saat hendak mencari sudut yang pas untuk memotret peristiwa tersebut, mataku tertuju ke beberapa sosok tubuh yang tergeletak berlumuran darah. Ada yang terluka karena sabetan senjata tajam, ada pula yang terluka karena pukulan benda tumpul dan juga lemparan batu. Sementara disisi lain ratusan petugas polisi dan tentara yang ada sibuk memecah konsentrasi kedua kubu yang saling bertikai untuk melerai kerusuhan. Sedang di sisi lain beberapa petugas medis yang datang ke lokasi kesulitan menangani begitu banyak korban luka yang ada.

Bathinku menjerit melihat peristiwa tersebut. Satu sisi jiwaku ingin meneruskan aksiku untuk memotret peristiwa kerusuhan yang belum sempat aku foto, tapi di sisi lain, sisi kemanusianku berontak. Aku mencoba membayangkan jika salah satu dari korban tersebut adalah aku atau orang-orang terdekatku, apakah akan ada yang menolong? Setelah tertegun hampir dua menit dengan tubuh gemetaran menahan gejolak jiwaku, segera aku tutup lensa kameraku. Aku masukkan ke tas ransel di punggungku, tanpa pikir panjang aku segera menolong para korban.

Bersama beberapa petugas medis yang sudah tiba di lokasi, aku segera memapah mereka yang masih bisa berjalan meski tertatih ke tempat yang terlindung dari hujan batu dan kayu. Sementara yang pingsan segera dibopong ke ambulan-ambulan yang datang bergantian.Karena begitu banyak korban yang jatuh aku dan tenaga medis di lokasi sampai kewalahan. Aku sudah tak peduli bajuku terkena darah para korban.

Luka-luka yang diderita para korban begitu rupa. Ada yang terkena tebasan senjata tajam hingga beberapa bagian tubuhnya menganga, adapula yang terkena pukulan benda-benda tumpul hingga menyebabkan ada beberapa korban yang mengalami patah tulang. Sementara yang kepalanya bocor juga tak kalah banyaknya dan ini sangat mengerikan bagiku.

Saat memapah seorang yang mengalami luka di bagian kakinya karena terkena pentungan di lututnya, aku masih sempat menanyakan beberapa hal kepada korban tersebut sambil memapahnya ke arah tempat yang aman sambil menunggu ambulan datang menjemputnya.

“ Sebenarnya ada apa ni mas, kok bisa rusuh seperti ini? “ tanyaku.

“ Aku sendiri kurang begitu tahu mas, tapi menurut beberapa teman kejadiannya berawal dari ulah seorang warga kampung sebelah mas, saat ngamen katanya dia mencuri hp seorang warga disini mas. Tapi kepergok pemilik hp, terus diteriakin maling mas.” Itu yang saya tahu awalnya.

“ Terus kenapa mereka menyerang kampung ini mas? “

“ Menurut kabar yang beredar, si pengamen mengaku kalau dia dihajar sama warga sini mas sambil nantangin kampung sebelah tersebut untuk tawuran. Padahal saat kami menangkapnya, si pengamen tersebut tidak kami apa - apakan, dia hanya terjatuh ke got saat lari menghindari kejaran warga mas. Setelah hp berhasil diambil dia kami lepas kembali. Tapi karena wajahnya lebam terjatuh di got itu, kemungkinan dia terus mengadu kalau dipukuli warga sini mas “

“ Kejadiannya kapan mas? “

“ Semalam mas kejadiannya. Kami tidak menyangka jika mereka akan menyerang kami. Karena kami anggap permasalahan semalam sudah selesai mas dengan telah dikembalikannya hp korban. Karena itu seperti biasa beberapa pemuda disini yang menganggur nongkrong di perempatan dekat batas kampung mas, la saat nongkrong itulah mereka diserang oleh puluhan warga sebelah mas.”

“ Ooo jadi gitu kejadiannya? Wah harus segera diselesaikan ini kesalahpahamannya mas. Eh mas tunggu disini dulu ya, saya mau bantu yang lainnya dulu. Nati kalau sudah ada ambulan biar mas segera dievakuasi ke rumah sakit.” Kataku saat aku sudah bisa membawa dia ke tempat yang lebih aman dari kerusuhan.

Sambil berjalan ke arah korban luka-luka yang lainnya, pikiranku masih melayang terus. Aku sudah tidak memikirkan lagi apa yang akan terjadi nanti padaku. Aku tak peduli dengan liputan yang tadinya akan aku lakukan, meski aku lihat beberapa teman-temanku dari media lain sibuk mengambil foto dan merekan video kerusuhan tersebut. Tak kuhiraukan saat beberapa teman wartawan yang sedang meliput kejadian tersebut menyapaku. Yang ada dibenakku sekarang hanya menolong para korban baik yang selamat maupun korban meniggal. Tapi tetap yang aku utamakan para korban selamat dulu.

Tak terasa waktu terus bergulir dengan cepatnya. Saat matahari mendekati peraduannya, polisi dan aparat keamanan sudah berhasil menguasai keadaan dan memecah konsentrasi massa yang terlibat kerusuhan. Saat adzan maghrib berkumandang, aku lihat keadaan sudah benar-benar mampu dikendalikan oleh polisi. Sedangkan para korban yang terluka dan meninggal sudah berhasil dievakuasi oleh tenaga medis yang ada dengan bantuan beberapa petugas kemanan.

Mataku terus kusapukan ke sekelilingku, aku lihat puluhan rumah dan kendaraan yang mengalami rusak parah. Ada yang kacanya pecah, ada yang atap rumahnya sudah berantakan terkena lemparan batu dan kayu. Sementara beberapa mobil tampak terbalik dan terbakar menambah ngeri pemandangan di mataku. Sementara di sisi-sisi lain lokasi bekas kerusuhan, tampak wanita dan anak-anak kecil masih menangis ketakutan.

Setelah aku yakin jika semua korban berhasil di evakuasi, segera aku berjalan ke arah di mana motorku tadi aku parkir. Tak terasa karena asyik menolong para korban, ternyata aku telah jauh meninggalkan lokasi parkir motorku. Dengan badanku yang mulai terasa keletihan, aku terus berjalan kaki. Beberapa kali aku kembali berpapasan dengan beberapa wartawan dari media lain yang masih meliput sisa-sisa dari kerusuhan tersebut. Kali ini aku tanggapi sapaan beberapa wartawan yang aku kenal. Mereka tampak terheran-heran melihat bajuku yang penuh bercak darah. Tetapi mereka tak berani bertanya tentang keadaanku. Semua hanya menyapa biasa saja.

Setelah sekitar 20 menit aku berjalan menyusuri jalanan tersebut, akhirnya sampai juga aku di tempat mana aku memarkir motorku. Segera aku mengendarai motor tersebut untuk pulang ke kantor. Aku sudah tak memikirkan lagi apa yang akan aku sampaikan nanti jika redakturku sampai bertanya tentang hasil liputanku. Yang aku pikirkan sekarang hanyalah balik ke kantor dan setelah itu cepat balik ke rumah untuk istirahat.

Setelah hampir 45 menitan aku mengendarai motorku, akhirnya sampai juga di kantor. Baru saja aku masuk pintu gerbang berpasang-pasang mata sudah mengawasi keadaanku. Mulai dari security sampai teman sekantor yang sudah pulang melihatiku dengan heran. Mereka tak pernah melihatku datang dengan wajah begitu lusuh, tapi kini aku datang tak hanya dengan keadaan lusuh dan juga dengan baju bernoda darah.

” Arya mana hasil liputanmu tentang kerusuhan yang terjadi hari ini? Kalau bisa kamu lampirin foto-foto orisinil hasil jepretanmu. Cepetan aku tunggu diruang redaksi ” Sambut pak Heru saat melihatku masuk ke kantor dan hendak melangkah ke meja kerjaku. pak Heru adalah atasanku di suratkabar terbaik kota ini. Dia terheran bajuku penuh dengan bercak-bercak darah.

” Maaf pak, aku tidak bisa memberikan liputanku tentang peristiwa kerusuhan yang terjadi tadi pak.”

” Kenapa Arya? Sebagai wartawan senior kamu harusnya sudah bisa memberikan liputanmu tentang peristiwa kerusuhan tadi Arya?”

” Saya tadi tidak sempat meliput kejadiannya pak. Keadaannya terlalu kacau pak!”

” Kacau bagaimana? Terus apa yang kamu lakukan disana? Ingat tugasmu sebagai wartawan Arya!”

Aku tertegun mendengar kata-kata pak heru yang memberondongku tanpa ampun. Kembali aku teringat posisiku di kantor ini. Aku memang seorang wartawan senior di sini. Meski baru setahun ditarik ke kantor pusat surat kabar ini, tapi aku sudah lebih dari 5 tahun jadi wartawan di surat kabar tempatku bekerja saat ini. Selama 5 tahun ini aku sudah pernah ditempatkan di 2 kota yang berbeda sebelumnya. Dan Kota ini merupakan kota ketiga yang aku tempati semenjak menjadi wartawan.

” Kenapa kamu diam Arya?”

” Saya tadi sebenarnya sudah datang ke lokasi pak, tapi……….” Jawabku agak tergagap

” Tapi apa Arya? “

” Tapi keadaan begitu kacau pak. Begitu banyak korban yang jatuh akibat kerusuhan itu pak. Banyak korban luka-luka yang butuh pertolongan pak ” Jawabku

” Eh tugasmu sebagai wartawan itu meliput suatu kejadian, bukan sebagai tenaga medis. Tahu kamu? ” Hardik pak Heru

” Tapi pak tenaga medis yang datang ke lokasi sangat kurang pak, sehingga banyak korban luka butuh pertolongan pak. Karena itu saya berinisiatif untuk membantu para korban pak.”

” Ngapain kamu ikut-ikutan membantu para korban kerusuhan? Mending kamu ambil foto-foto kerusuhan tersebut dan segera membuat reportasenya. Bukankah itu tugas dan tanggung jawabmu? “

” Iya pak, tapi sisi kemanusian saya berontak pak. Saya tak bisa membiarkan para korban bergelimpangan di jalan tanpa ada yang berinisiatif membantu membawanya ke tempat yang aman pak!”

” Membantu mereka? begitu maksudmu? Apa itu tugasmu sebagai wartawan? ” jawab pak heru dengan nada semakin tinggi.

” Pak Heru apa saya salah kalau membantuu mereka? “

” Salah! Karena itu bukan tugasmu ?” Hardik pak Heru lagi.

” Salah pak? Salah dari sisi mana pak? Selama saya bertugas sebagai wartawan, baru kali ini saya tidak membuat liputan pak. Biasanya tiap hari saya selalu mebuat laporan tentang apa yang saya liput, meski kadang hanya berita Ringan yang saya sajikan. Sekarang saat saya tidak membuat laporan karena menolong korban kerusuhan, saya bapak salahkan! ” Jawabku

” Iya saya menyalahkanmu. Karena kamu lalai dari tugas dan tanggung jawabmu sebagai wartawan. Bukankah kamu sudah sering meliput kasus kriminal dan kecelakaan Arya?”

” Iya pak memang saya pernah meliput hal itu, tapi ini lain pak. Jika di kriminal biasa paling korban hanya 1 atau 2 orang maksimal 10 orang, tapi dikasus kerusuhan bisa sampai puluhan orang pak. Sedang tenaga medis sangat terbatas. Pernahkah bapak membayangkan bapak di posisi saya, sedang ada di daerah kerusuhan melihat begitu banyak korban terluka yang butuh pertolongan sementara tenaga medis di lapangan sangat terbatas. Pernahkah Pak? ” Tanyaku

” Tak perlu aku membayangkannya Arya, Dan andai aku mengalaminya, aku akan tetap meliput beritanya ” Jawab pak Heru ketus

” Sungguh terlalu anda Pak. Seandainya salah satu korban tersebut adalah anggota keluarga bapak? saudara Bapak? ataupun Teman karib Bapak? Apa yang akan bapak lakukan? ” tanyaku dengan emosi yang mulai mendidih mendengar kata-katanya dan juga kilatan matanya yang berapi-api.

” Jangan berandai-andai sesuatu yang tidak sedang terjadi Arya. Yang saya tanyakan hanyalah tugasmu sebagai wartawan ? “

” Ok jika bapak tidak menerima alasan saya yang tidak bisa memberikan laporan liputan untuk hari, saya terima pak. Apa sanksi yang akan bapak berikan untuk saya? ” Jawabku dengan nada penuh emosi.

” Kamu nantangin saya untuk memberi sanksi kepadamu? “

” Tidak pak. Tapi saya sudah tak bisa memberi alasan lagi untuk bapak. oleh karena itu saya siap menerima sanksi apapun dari bapak selaku atasan saya “

” Kamu saya skorsing untuk tidak meliput selama seminggu sebagai hukuman atas kelalaianmu hari ini. ” Jawab pak Heru

” Bapak gak usah repot-repot menskorsing saya seminggu pak. Mending saya membuat surat pengunduran diri saja sekalian pak. Bukankah hal itu lebih baik pak” Jawabku dengan emosi yang makin tak terkendali setelah mendengar kesewenang-wenangannya..

” Terserah keputusanmu Arya. Meski kamu wartawan senior dan sangat loyal kepada perusahaan. Tapi kesalahanmu ini sungguh tak bisa aku tolerir. ”

” Ok pak. Besok saya akan serahkan surat pengunduran diri saya. Dan sekarang mendingan saya pulang. Selamat malam pak ”

” Arya tunggu, jangan kamu tinggalkan kantor dulu. Tak bisakah kamu ngomong baik-baik dulu.” kata pak Heru sedikit kaget saat mendengar kalimatku yang terakhir.

” Ngomong apalagi pak. Bapak sudah tidak menerima alasan saya hari ini yang tak memberikan liputan tentang kerusuhan karena sisi kemanusian saya memilih menolong para korban kerusuhan. Jadi mending saya pulang untuk istirahat biar besok saya bisa ke sini untuk menyerahkan surat pengunduran diri saya.” Jawabku

” Arya tunggu dulu, saya mau minta maaf atas kesalahan saya dalam menegurmu tadi. Tak seharusnya saya berkata seperti itu.” Bujuk pak Heru mencoba menenangkan diri saya yang terlanjur emosi.

” Bapak tak perlu minta maaf. Bapak tidak salah, karena bapak atasan saya.”

” Arya pertimbangkan dulu keputusanmu mengundurkan diri dari surat kabar ini.” Pinta pak Heru

” Apa bapak akan mencoba mentolerir perbuatan saya? Sepertinya suda terlambat pak, karena saya yakin jika ke depannya saya melakukan hal yang sama lagi, bapak pasti akan marah-marah lagi kepada saya. iyakan?”

” Sekali lagi maafkan saya Arya! “

” Saya sudah memakluminya pak. Tapi saya tidak bisa menarik pernyataan pengunduran diri saya pak. Saya tak bisa berdiam diri jika suatu saat saya terlibat kejadian seperti siang tadi pak. Selamat malam.”

Pak Heru hanya tersenyum kecut sambil melongo, ketika aku melangkah pergi meninggalkan ruangan kerjaku. Ya hari ini aku terpukul dengan sikap arogan pak Heru yang tak mau mengerti pembelaanku tadi. Sebagai wartawan aku sadar jika harus selalu membuat liputan setiap kejadian yang aku jumpai. Tapi sebagai manusia biasa aku juga tak bisa tinggal diam melihat para korban kerusuhan berjatuhan tanpa mendapat bantuan medis. Aku tak bisa membuat liputan, sementara masih banyak korban yang belum tertangani oleh tenaga medis. Kemana hati nuraniku jika aku tetap sibuk dengan liputanku. Biarlah aku kehilangan pekerjaanku, daripada kehilangan sisi kemanusianku.

Denpasar, 1415022011.1819

Masopu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...