Tempatku Belajar Menuangkan Ide, Merangkai kata dan Peristiwa menjadi sebuah cerita.
Rabu, 02 Februari 2011
Polemik Walikota Surabaya Melawan Arogansi Dprd
Tri Rismaharini walikota wanita pertama di kota Surabaya ini semenjak dilantik pada sepetember 2010 lalu, seakan menjadi musuh nomor satu bagi kalangan legislatif kota tersebut. Tak terkecuali bagi partai yang mencalonkan dia sebagai walikota pada pemilukada Surabaya yang lalu yakni PDIP. Hal ini tak lepas dari keberanian dia berdiri kokoh mempertahankan kebijakannya yang menurut DPRD Surabaya tidak populis dan cenderung menguntungkan suatu golongan.
Walikota yang mantan birokrat di kota Surabaya tersebut berani membuat kebijakan yang kontroversial. di antara kebijakannya adalah menaikkan pajak reklame sebesar 400% untuk papan reklame raksasa dan penurunan 40% untuk papan reklame di bawah 8 meter. Serta keberaniannya mendukung warga yang menentang pembanguna tol tengah kota sejauh 23 km dari Waru sampai Tanjung Perak. Padahal proyek tersebut sudah disetujui oleh DPRD Surabaya dan merupakan proyek nasional dengan biaya sebesar 8 triliun rupiah.
Kebijakan pertama Walikota kelahiran Kediri ini menurutnya wujud kepedulian Rismaharini untuk mencegah Surabaya menjadi hutan Reklame seperti kota-kota besar lainnya. Selain merusak pemandangan kota, hal tersebut berisiko terhadap keselamatan pengguna jalan di kota Surabaya terhadap ancaman tertimpa papan reklame raksasa yang roboh tertiup angin kencang, seperti banyaknya kejadian yang menimpa pengguna jalan di beberapa kota besar lainnya. Sementara pemotongan pajak untuk papan reklame kecil semata-mata untuk memacu pengusaha menengah ke bawah agar lebih mudah beriklan.
Kebijaksanaan kedua, menurut Walikota yang semasa menjabat sebagai birokrat terkenal dengan proyek tamannya untuk menghijaukan Surabaya tersebut tidak akan menyelesaikan masalah kemacetan yang mengancam jalanan kota pahlawan tersebut. Menurut Rismaharini dan juga diperkuat dengan pernyataan beberapa pengamat transportasi dalam suatu diskusi beberapa waktu yang lalu, Tol tengah kota hanya akan mengurangi kemacetan untuk jangka waktu yang pendek, setelahnya akan memperparah kemacetan karena memicu warga sekitar untuk membeli kendaraan pribadi. Sehingga jangka panjangnya kemacetan di sekitaran pintu masuk tol semakin tak terkendali dan membunuh roda perekonomian warga di sekitar jalan tol tersebut.
Beberapa pengamat transportasi yang hadir juga memberi contoh bahwa beberapa kota maju di luar negeri sudah menghancurkan tol tengah kota dan lebih memilih membangun jalan lingkar luar kota untuk mengurai kemacetan tersebut. Beberapa kota tersebut diantaranya Seoul di Korea selatan, Detroit di Amerika dan beberapa kota lainnya.
Karena 2 kebijakan yang menurut DPRD tidak populis tersebut, maka DPRD Surabaya yang dimotori oleh partai Demokrat mengadakan hak angket untuk melengserkan Walikota. Dengan dukungan 6 dari 7 fraksi di DPRD Surabaya, akhirnya Walikota diberhentikan. Dan anehnya PDIP kota Surabaya melalui kepengurusan Wisnu Sakti Buana malah mendukung proses pelengseran tersebut, padahal partai ini yang mendukung Risma-Bambang maju sebagai pasangan Walikota-wakil walikota Surabaya pada pemilukada beberapa waktu yang lalu.
Sontak keputusan Wisnu CS ini mendapat teguran keras dari DPP PDIP. Megawati segera memerintahkan DPC PDIP Surabaya untuk mengamankan Risma-Bambang dari ancaman impeachment atau kepengurusan DPC PDIP Surabaya akan dibekukan berdasarkan surat instruksi dari ketua DPP PDIP yang ditandatangani oleh Megawati sendiri melalui surat nomor 735/IN/DPP/II/2011 tertanggal 1 Februari 2011 yang tidak mengizinkan segala bentuk upaya penurunan Tri Rismaharini dari jabatannya sebagai Walikota Surabaya. ( disini )
Sementara menteri dalam negeri Gamawan Fauzi dalam suatu wawancara dengan detik menyatakan bahwa pemakzulan tersebut tidak pada tempatnya. Karena walikota dan jajarannya tidak melanggar hukum sehingga pemakzulan tersebut tidak sah. Jika ada perda yang dibuat walikota tidak sesuai/bertentangan, maka DPRD tidak bisa semena-mena melengserkan walikota terpilih. Menurut mendagri. setidaknya ada 3 alasan yang bisa dijadikan alasan untuk menurunkan kepala daerah terpilih yakni: Pertama, meninggal dunia, kedua, kalau dia minta berhenti atau yang ketiga karena diberhentikan. Penyebab berhenti itu diatur di dalam UU No 32 baca pasal 29, 30, 31. Ada dua alasan berhenti, pertama dia melanggar sumpah janji dan dua, dia tidak sanggup melaksanakan tugasnya sebagai kepala daerah.Karena itu, mendagri meminta walikota tetap menjalankan tugasnya. ( Disini )
Menanggapi aksi pemakzulan dirinya oleh DPRD Surabaya, walikota berusia 50 tahun tersebut enggan berkomentar dan juga berkompromi dengan legislatif untuk mengamankan posisinya dari arogansi legislatif Surabaya tersebut. Wanita lulusan ITS tersebut enggan melayani beberapa permintaan wartawan yang ingin mewawancarai beliau.
Buntut dari aksi pencopotan tersebut, selain menimbulkan gejolak di tubuh PDIP Surabaya, juga mengakibatkan DPP dan DPD Partai Demokrat tempat bernaung ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana membentuk tim verifikasi untuk Wisnu. Selain itu wisnu juga terancam di PAW-kan oleh pengurus Demokrat Surabaya. Wisnu Wardhana dijadwalkan hari ini dipanggil pengurus DPD PD Jawa Timur untuk diinterogasi mengenai keterlibatannya dalam pemakzulan Risma yang menurut Ketua DPD PD Jatim Ibnu Hadjar bertentangan dengan kebijakan partai yang melarang anggota partainya menjadi oposan.
Sementara beberapa element masyarakat Surabaya berencana terus memberikan dukungan untuk Risma agar tetap bisa menjalankan tugasnya sampai berakhirnya masa jabatannya nanti. Element masyarakat itu antara lain: laskar Ababil, Ikamra ( Ikatan Keluarga Madura), TAP MPRS ( Tim Anti Penggusuran Masyarakat Pinggir Rel Surabaya ) dan beberapa element masyarakat lainnya. Selain memberi dukungan untuk Risma, mereka juga meminta Wisnu Sakti Buana selaku wakil ketua DPRD dan Wisnu Wardhana selaku ketua DPRD untuk turun dari jabatan. Karena kebijakan mereka berdua malah merugikan warga Surabaya.
Sementara gubernur Jatim Soekarwo juga membentuk tim khusus untuk menangani kasus tersebut. Menurut Soekarwo, langkah tersebut untuk membentuk second opinion atas pemakzulan walikota Surabaya tersebut. “Nantinya akan bahas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan berbagai pasal yang menyangkut kasus Surabaya. Dan saya sudah undang ahli hukum administrasi negara dan ahli hukum tata negara,” kata Gubernur Jatim, Soekarwo saat pelantikan pengurus pramuka Jatim tersebut.
Jika suatu kepala daerah yang membuat perda untuk penyelarasan pembangunan daerah yang dipimpinnya, harus tunduk dengan tuntutan legislatif, apa gunanya mereka dipilih oleh rakyat? Bukankah seharusnya DPRD dalam membuat keputusan dan memberi masukan kepada pemkot setempat tidak hanya mementingkan kepentingan jangka pendek, tapi kepentingan jangka panjang. Sehingga apapun perda yang telah ditetapkan pemimpin daerah jika memang perlu dikritisi silahkan, tapi bukanlah berarti harus menurunkan pemimpin daerah yang telah dipilih oleh rakyat. Apalagi pemerintah yang baru berjalan dalam hitungan bulan. DPRD adalah partner PEMKOT/PEMDA setempat, bukan tukang veto kebijakan yang dibuat oleh birokrat.
Semoga arogansi legislatif di Surabaya tidak merembet ke daerah lain. Sehingga pemda/pemkot yang bervisi pembangunan jauh ke depan tidak takut untuk membuat perda yang baik, tanpa takut diintervensi oleh pemakzulan dari legislatif. Cukup arogansi tersebut terjadi di Surabaya, agar demokrasi kebebasan ala legislator setempat tidak memakan korban lagi.
Denpasar,02022011.0738
Masopu
sumber : Detik surabaya dan bbc london sesi siaran bahasa indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar