kalimayaartgallery |
Mentari yang perlahan mulai meninggi mengiring langkah-langkah kaki Iqbal dan Xixi yang berjalan bersisian meninggalkan masjid Agung Al Akbar Surabaya. Langkah-langkah kaki yang menuntun mereka ke area taman di depan masjid. Sambil berbincang mereka terus berjalan menjauh dari halaman masjid.
“ Kita duduk di sini saja ya? “ tanya Iqbal sambil menjatuhkan pantatnya ke pangkuan kursi taman yang kosong. Kursi kayu bercat hitam yang berdiri kokoh di atas pijakan ke empat kaki-kakinya. Semilir hembusan angin membawa aroma bunga-bunga yang bermekaran di sekitarnya.
Xixi tak menjawab pertanyaan itu. Dia hanya mengikuti langkahnya dengan duduk di kursi sebelah Iqbal. Tempatnya yang terbuka dan dipayungi sebuah pohon yang menawarkan kesejukan. Tangannya yang terlindung baju kurung panjang tersembunyi di balik kerudung birunya yang panjang.
“ Terima kasih telah mengajakku mengikuti pengajian di sini. “ Iqbal membuka pembicaran sambil melihat ke arah halaman masjid. Jari-jari tangannya saling mengait satu sama lainnya. “ Sejujurnya aku baru pertama kali mengikuti pengajian di sini. Saat kamu ajak beberapa hari yang lalu, itulah pertama kalinya aku mengikutinya. “ lanjutnya dengan suaranya yang jernih.
“ Masak mas Iqbal baru pertama kali mengikuti pengajian di sini? “
“ Aku sudah sering mendengar tentang pengajian di sini, tapi aku tak pernah ikut. Biasanya aku hanya mengikuti yang diadakan di masjid Al Falah dan masjid Agung Demak. ”
“ Kenapa begitu mas? “
“ Gak apa-apa. Sebelumnya memang lebih suka ikut pengajian di sana. “
“ Oo begitu. “ jawab Xixi singkat.
“ Xi, sejujurnya aku gak tahu apa yang terjadi pada kita selama ini. Diawali pertemuan tak sengaja di hari itu, terus aku mengunjungi tempatmu mengajar. Setelah itu kita lanjutkan dengan beberapa pertemuan selepas mengikuti pengajian di masjid ini. Aku merasakan adanya ketenangan saat bersama kamu. “
“ Maksud mas? “ tanya Xixi dengan raut muka kaget. Kulitnya yang putih merona merah. Riasan mukanya yang tipis, tak bisa menutupi rona mukanya yang berubah. Wajahnya menunuduk melihat hamparan rumput halus yang terpapar di depannya.
“ Aku gak tahu harus bilang apa? Yang jelas aku merasa nyaman berjalan denganmu. “ jawab Iqbal dengan suaranya yang tetap jernih. Ada raut kegamangan yang terlukis di wajahnya.
“ Mas Iqbal kan belum begitu mengenal saya. Mas Iqbal belum tahu masa lalu saya seperti apa? Dan masih banyak yang mas belum ketahui tentang saya? “ kata Xixi dengan tetap merendahkan pandangan matanya. Rerumputan yang sedari tadi menjadi obyek pandangannya seakan-akan menangkap kegamangan dari sorot matanya.
“ Memang benar aku belum begitu mengenalmu, tapi bolehkan aku menganggapmu layaknya teman baikku? “
“ Kalau sekedar menganggap teman baik, aku tidak keberatan mas. Tapi apa mas Iqbal tak pernah memperhatikan pandangan orang-orang yang tinggal di sekitarku saat mas berkunjung ke rumah?”
“ Aku tidak begitu memperhatikannya. Ada apa, Xi? “ tanya Iqbal penasaran.
“ Apa mas tak pernah medengar kata-kata cibiran saat melintas di dekat mereka? “ tanya Xixi tanpa menjawab pertanyaan Iqbal sebelumnya. Sinar kegamangan di matanya semakin jelas terlukis. Sejuknya angin yang berhembus dan aroma mewangi bunga tak lagi mampu dirasakannya/
“ Maksudmu? “
“ Setiap mas Iqbal menjemputku untuk mengikuti pengajian di sini, mata-mata nanar selalu mengawasi langkah kita. Kata-kata cibiran berhembus mengikuti setiap langkah kaki kita. Sungguhpun mereka tahu ke mana arah langkah kita. Sungguhpun mereka tahu siapa mas Iqbal sebenarnya. Dan siapa orang tua mas Iqbal mereka pun juga tahu. Tapi sorot mata sinis mereka dan kata-kata cibiran mereka tak pernah terhenti, meski itu bukan di depanmu, mas. Tapi itu sudah cukup membuatku tersiksa, mas. “ suara Xixi yang sedikit tertahan saat mengutarakan apa yang selama ini mengganjal di hatinya.
“ Aku bingung dengan maksud perkataanmu tadi, Xi? “ tanya Iqbal dengan nada heran.
“ Mas, mereka melakukan itu semua karena mereka melihat masa laluku. “ potong Xixi.
“ Maksudmu? “
“ Mereka menganggap aku masih seperti yang dulu. Mereka menganggap aku masih Xixi 2 tahun yang lalu. “ jawab Xixi lirih.
“ Ada apa dengan dirimu dua tahun yang lalu? “ tanya Iqbal penasaran.
Xixi diam tidak menjawab pertanyaan Iqbal. Matanya terus menatapi rerumputan yang terhampar rapi di depannya. Tingginya yang hampir merata membuat permukaan tanah yang dihiasinya terlihat rata, tak bergelombang. Butiran-butiran halus bening berkilatan dari matanya. Wajahnya makin memerah menahan emosi yang sedang bergejolak di hatinya. Sungguhpun sejujurnya dia ingin bercerita tentang galau perasaannya menerima setiap cemohan yang meluncur dari bibir warga. Tapi semua tertahan, karena dia merasa tak ada orang yang bisa menerimanya dengan tangan terbuka.
Saat dia merasa ada orang yang ingin mengulurkan tangan persahabatan, kata-kata sinis dan penuh kebencian masih saja menderanya. Ingin sekali dia berteriak sekencang-kencangnya, tapi dia sadar hal itu tak banyak berguna. Dia hanya berkeluh kesah pada sang pencipta tentang apa yang dirasakannya. Dia selalu meminta untuk diberi kekuatan lahir-bathin menghadapi setiap cibiran dan hinaan yang menghampirinya.
Iqbal diam saja. Suara tarikan nafas panjang wanita di sampingnya sedikit membuatnya bingung. Nalurinya menangkap ada beban berat yang berusaha untuk diredamnya. Beban yang mungkin terus menghantui langkah-langkah kakinya. Dan beban yang mungkin terlalu berat untuk dipikul sendiri.
“ Jika kamu berat menjelaskan apa yang menyebabkan mereka berbuat seperti itu, aku tak bisa berbuat apa-apa, Xi. Sejujurnya aku hanya ingin mengenalmu lebih baik. Aku tak peduli dengan masa lalu yang poernah kau jalani. Bagiku adanya dirimu saat ini sudah lebih dari cukup. Apa yang mau dibanggakan dari masa lalu? “
“ Bagimu tak berarti mas. Tapi bagi mereka lain? “ sanggah Xixi lirih.
“ Kenapa mereka begitu mementingkan masa lalu? Apa untungnya? “ tanya Iqbal.
“ Jika semua orang berpikiran sepertimu, akan mudah bagi orang-orang untuk mengganti kelamnya lukisan masa lalu dengan indahnya lukisan yang akan dibentangkannya. Tak akan banyak orang yang gagal memperbaiki sejarah kelamnya, mas. Tapi tidak semua orang berpikiran sepertimu.“
“ Maksudmu? “ tanya Iqbal keheranan.
“ Mas Iqbal tidak tahu kan, kenapa mereka menatapku sinis? Kenapa mata mereka jika mengawasiku seakan-akan ingin menguliti setiap inci tubuhku? Ataupun kata-kata mereka yang sangat menyayat hatiku? “ tanya Xixi dengan suara agak berat. Tampak jelas dirinya berusaha mengendalikan emosinya.
“ Aku tidak tahu Xi. “
“ Mereka melakukannya karena masa laluku mas. “
“ Aku semakin bingung dengan kata-katamu, Xi. “ kata Iqbal sambil melihat ke arah Xixi yang masih duduk di sampingnya. Tatap matanya tetap tertunduk ke arah rerumputan yang ada di depannya.
“ Aku mantan pelacur mas. Itu kenapa mereka memandang sebelah mata ke aku. “ jawab Xixi sambil menutupi sebagian mukanya dengan kerudung birunya. Hanya bagian matanya yang telah berhias butiran Kristal saja yang masih tetap terlihat.
“ Masyaallah. Benarkah yang kamu katakan barusan Xi? “ tanya Iqbal dengan raut muka kaget. Hampir saja dia melonjak berdiri karena saking kagetnya mendengar perkatan Xixi barusan. Degup jantungnya perlahan semakin cepat. Kata-kata yang barusan didengar dari bibir wanita yang duduk bersamanya begitu mengagetkan. Tak pernah dibayangkannya, wanita yang berpenampilan sopan dan tertutup baju kurung di sampingnya mempunyai masa lalu yang begitu kelam. “ Benarkah apa yang kamu ceritakan barusan? “ tanyanya saat dia sudah mampu menata hati.
“ kurang lebih dua tahun yang lalu, orang-orang di sekitar tempat tinggalku tahunya aku seorang wanita panggilan kelas atas. Aku tinggal di sebuah apartemen mewah tak jauh dari situ. Sudah tak bisa kuhitung lagi berapa orang lelaki yang sudah memakai tubuhku, tentunya dengan imbalan uang yang tidaklah sedikit. Profesi yang dikenalkan mantan pacarku. Orang yang seharusnya menjadi pelindungku, malah manjadikanku mesin uangnya. Dia mengajarkan gaya hidup mewah kepadaku. Gaya hidup yang membutuhkan biaya yang tak murah. Hampir tiap malam dia mengajakku untuk dugem dan menenggak minuman haram. Untuk membiayai itu semua, aku harus melayani setiap lelaki hidung belang yang ingin memakai jasaku. “ Xixi diam sejenak.
“ Saat dia mengkhianatiku, aku sudah terbiasa hidup mewah. Sudah terbiasa berpindah dari satu pelukan lelaki ke pelukan lelaki lain. Bangku kuliah yang sebelumnya akrab denganku tak pernah lagi aku jamah. Aku sudah lupa tujuan diriku datang ke sini. Nasehat orang tuaku tak lagi pernah aku dengarkan. Semua ajaran mantanku begitu membekas. Selepas darinya, aku menjajakan diriku sendiri ke orang-orang yang pernah memakai jasaku. “ kembali Xixi diam sejenak. Berusaha ditatanya nafasnya yang tak lagi beraturan terbawa emosi.
“ Profesi itu pula yang membawaku berkenalan dengan seorang produser film ternama di Jakarta. Dari hubungan penyedia jasa dan pemakai, akhirnya hubungan kami berubah. Dia menjadikan aku sebagai istri simpanannya. Dia pula yang mengenalkanku dengan dunia keartisan yang sempat beberapa saat aku jalani. Setelah beberapa film aku bintangi, aktivitasku terpaksa aku hentikan. Suatu musibah yang aku lebih suka menyebutnya sebagai teguran dari-NYA penyebabnya. Dan itu merupakan titik balik kehidupanku. “
“ Maaf kenapa kamu menceritakan hal ini ke aku? “ tanya Iqbal memotong cerita Xixi.
“ Biar aku lanjutkan dulu ceritaku. “ potong Xixi. “ Sejujurnya aku tak ada maksud apa-apa menceritakan ini. Aku hanya ingin menyadarkanmu, jika kamu bersahabat denganku akan banyak masalah yang menghampirimu. Bukan hanya dirimu, tapi juga keluargamu “
“ Aku tidak pedulikan hal itu. Aku hanya mau berteman dengan siapa saja, tak peduli apa latar belakangnya. “ kata Iqbal dengan suara tegas.
“ Kamu bisa berkata seperti itu karena kamu belum tahu betul siapa aku. Ceritaku tadi juga belum selesai. “ kata Xixi sambil menarik nafas dalam-dalam. Iqbal terdiam mendengar kata-katanya yang tajam menusuk gendang telinganya.
“ Setelah memainkan beberapa film yang diproduseri simpananku, aku mendadak jatuh sakit menjelang priemere film terbaruku. Dengan penuh kepanikan aku dibawanya ke rumah sakit. Setelah beberapa saat di rumah sakit, dokter yang menanganiku memberi kabar yang mengejutkan, aku terjangkit HIV. Saat melakukan test di rumah sakit lain pun hasilnya positif. Pun dengan suamiku yang secara sukarela ikut test. Diapun juga positif HIV. Vonis ini membuatnya mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Dia melompat dari lantai atas sebuah hotel di Jakarta, sewaktu kami selesai melakukan test di sana. “ Xixi dia. Tangannya mengusap tetes-tetes air mata yang mengiringi setiap ceritanya.
“ Beberapa saat lamanya aku terpukul dengan kejadian itu. Hari-hariku aku habiskan dengan mengurung diri di kamar apartemenku. Siang malam aku hanya termangu dan termenung di balik jendela. Hanya botol-botol minuman yang menemaniku, serta seorang pembantuku. Suatu subuh secara tak sengaja aku mendengar ceramah yang disampaikan oleh pak Kiai Solehudin, dari situlah aku mulai tersadar akan kesalahanku. Dengan diantar pembantuku, aku menghadap beliau dan meminta beliau membimbingku bertaubat. ”
“ Jadi pak Solehudin yang membimbingmu? “
“ Beliau yang membimbingku bertaubat. Dan beliau pula yang selalu melindungiku setiap kali warga mencemoohku. Atas saran beliau aku mencoba berobat ke salah seorang teman beliau saat mondok dulu. Dan saran beliau pulalah aku mencoba memperbaiki hubunganku dengan orang tuaku yang sempat rusak karena salahku. Alhmadulillah hubungan dengan orang tuaku kini sudah lebih baik. Aku bersyukur, meski virus yang menggerogoti diriku belum juga sembuh. Setidaknya aku masih bisa diberi kesempatan untuk bertaubat. Meski banyak tantangan yang harus aku hadapi. “ kata Xixi masih sambil menutupi wajahnya.
“ Aku sangat berharap bisa mendampingimu melewati semua cobaan ini. “: kata Iqbal spontan.
“ Maksudmu? “
“ A….aa…..aku ingin mendapingimu sebagai sahabat. “ jawab Iqbal sambil tergagap.
“ Terima kasih jika kamu mau bersahabat dengan orang sepertimu. Tapi apa kamu tidak takut persahabatan ini akan membawa dampak buruk untuk keluargamu? Dari orang-orang yang selalu mencibirku, aku tahu kamu anak seorang yang cukup terpandang. “ potong Xixi.
“ Kamu tak usah memikirkan aku dan keluargaku. Kami akan baik-baik saja, meski aku bersahabat dengan siapa saja. Selama aku bisa jaga diri, mereka tidak keberatan. “
“ Mereka tidak keberatan. Tapi apa mereka siap jika ada orang yang mencibir persahatan kita ini? “ tanya Xixi penuh keraguan.
“ Biarkan saja orang mencibir. Selama kita bisa istiqomah di jalan Allah, adakah yang perlu kita khawatirkan? “ tanya Iqbal.
“ Memang tak ada yang perlu dikhawatirkan, tapi…….” Suara Xixi tertahan saat dilihatnya Iqbal terus memperhatikannya.
“ Sudahlah sekarang kamu tidak usah mengkhawatirkan hal itu. Aku akan tetap bersahabat denganmu, apapun masa lalumu. “ kembali Iqbal memotong kata-kata Xixi.
“ Terima kasih. “ jawab Xixi singkat. “ tapi aku tak mau melibatkanmu dalam masalah! “ lanjut Xixi lagi.
“ Kamu tidak melibatkanku dalam masalah. Aku ingat nasehat orang tuaku dulu, beliau selalu berkata agar aku selalu bisa berlapang dada. Jika ada orang yang bermasa lalu suram, kita berkewajiban untuk memberinya kesempatan memperbaiki diri. Pun seperti halnya dirimu saat ini. Aku yakin, sebagai sahabat aku bisa membatumu melewati semua ini. “ Iqbal mencoba meyakinkan Xixi.
“ Tapi…… “
“ Sudah tak usah membayangkan sesuatu yang belum terjadi. Tidak usah berandai-andai mereka masa yang belum kita lalui. Yakinlah kita akan selalu dalam lindungan-NYA, selama kita saling bahu membahu meluruskan niatan awal yang telah kita niatkan. “ potong Iqbal sembil member tanda kepada Xixi untuk tidak terlalu banyak bicara.
Xixi tak lagi mampu menyanggah keinginan Iqbal dalam membantunya. Keinginannya untuk terus bersahabat dengannya terpancar jelas dari tutur katanya yang penuh keteguhan. Tak ada keraguan yang tepancar dari setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya.
Waktu terasa begitu cepat berputar. Satu persatu pengunjung taman dan masjid perlahan pergi meninggalkan daerah itu. Terik mentari yang semakin meninggi, membuat udara di taman dan halaman masjid terasa semakin panas. Setelah emosi mereka berdua mampu mereka redam, mereka segera beranjak meninggalkan halaman masjid untuk pulang ke rumah. Tak banyak kata yang saling terucap selama perjalanan pulang. Hanya sesekali saja kata terlontar dari bibir mereka.
Denpasar, 15032012.1210
Masopu
Note:
- Untuk membaca tulisan sebelumnya Silahkan baca di bagian 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,12 , 13, 14, 15, 16, 17, 18 , 19 , 20, 21, 22 , 23, 24, 25, 26, 27 , 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35 , 36, 37,38
- maaf jika ada kesamaan nama tokoh dan cerita. Ini hanya fiksi belaka
Nice..
BalasHapusinspirasi dari mana ya gan? :)
share ilmu dong..
gitarissalaharah.blogspot.com