Selasa, 20 Maret 2012

Keteguhan Hati


Hari-hari terus berganti. Hubungan Xixi dan Iqbal semakin dekat. Kedekatan yang mereka jalani semakin membuat warga di sekitar tempat tinggal Xixi panas. Bagaimanapun mereka tahu siapa Iqbal. Berasal dari keluarga seperti apa pemuda tampan tersebut. Sejujurnya di hati kecil ibu-ibu sekitar rumah Xixi, menganggap hubungan itu tidak sepantasnya. Iqbal, putera seorang pemuka agama yang mereka hormati menjalin hubungan dengan seorang mantan pelacur.
Banyak ibu-ibu yang merasa, Iqbal lebih pantas mendapatkan wanita yang lebih baik. Bahkan ada beberapa orang ibu yang rela menyodorkan anak gadis ataupun saudara perempuannya yang masih gadis agar Iqbal mau mengawininya. Namun tak ada tanggapan dari pemuda tersebut.
          Merasa usaha mereka untuk menjauhkan Iqbal dengan cara menyodorkan anak gadis ataupun saudara perempuan mereka tak berhasil, berbagai cara mereka lakukan. Teror dan intimidasi semakin rajin menyapa. Kata-kata kasar yang tak sepantasnya terlontar dari bibir ibu-ibu seperti mereka, semakin sering menyapa telinganya. Tak hanya lewat kata-kata, beberapa kali rumah Xixi menjadi tempat pembuangan sampah warga. Hanya satu tujuan mereka agar Xixi tidak kerasan dan meninggalkan Iqbal.
Tak hanya Xixi, Iqbal pun lambat laun ikut kena getahnya. Setiap kali pemuda tampan itu lewat di depan mereka, kata-kata kasar juga ikut menyapanya. Mulai dari kata-kata laki-laki bodoh sampai nama-nama binatang sering menyapa gendang telinganya. Pertama kali mendengarnya, ada rasa risih dan ingin marah yang menyergapnya. Seiring berjalannya waktu, dia mulai terbiasa dengan kata-kata tersebut. Tak ada balasan kata-kata kasar yang terlontar dari bibirnya. Hanya senyuman manis yang selalu dia berikan kepada warga yang sedang diliputi rasa iri dan dengki.
“ Mas, aku tidak tahu kenapa kamu bisa kuat menghadapi semua hinaan yang mereka berikan? Sejujurnya aku tak mau melibatkanmu dalam urusanku dengan mereka. Biar aku menghadapinya sendiri. “ kata Xixi saat mereka singgah di restoran sepulang dari belanja untuk kebutuhan hariannya. Setelah memesan makanam dam minuman, Xixi duduk sambil menundukkan pandangannya.
“ Jika kamu saja bisa menghadapi semua hinaan mereka, kenapa aku tidak? “ Iqbal balik bertanya ke Xixi. Disandarkan tubuhnya ke kursi restoran. Tangannya memainkan sebatang tusuk gigi yang baru diambilnya.
“ Aku kuat? Sejujurnya aku sudah tidak kuat menghadapinya mas. Aku tetap bertahan, karena aku menganggap ini sebagai bagian dari hukuman yang Allah berikan atas kesalahanku di masa lalu. Mungkin dengan ini hukumanku kelak di akhirat akan lebih ringan, mas. “ jawab Xixi sambil tangannya merapikan letak bross berbentuk bunga yang menghias kerudung birunya.
“ Kamu melakukan semua ini demi meraih ampunan Allah kan? “ tanya Iqbal.
“ Iya mas. “
“ Aku bertahan untuk tetap di sisimu, semata juga karena Allah. Aku hanya ingin membantu seseorang yang sedang berjuang memperbaiki diri demi ridho-NYA. Jadi karena kita sama-sama berjuang mencari ridho-NYA, kenapa kita tidak sama-sama mengahadapinya? Kenapa aku harus meninggalkanmu? “ tanya Iqbal.
“ Mas, nama baik keluargamu tercoreng karena kedekatan kita ini. “ jawab Xixi dengan suara yang agak naik intonasinya.
“ Nama baik keluargaku? Nama baik keluargaku tidak akan tercoreng  hanya karena aku dekat dengan orang-orang sepertimu. Nama baik keluargaku akan tercoreng, jika aku berbuat sesuatu yang salah dan bertentangan dengan hukum yang berlaku. Kedekatan kita tidak melanggar hukum manapun. Apalah arti nama baik di dunia, tapi tercela di mata Allah? “ kata Iqbal menyanggah perkataan Xixi.
“ Tapi aku ini manusia yang hina di mata mereka, mas. Tak sepantasnya aku berteman denganmu anak seorang pemuka agama yang sangat disegani masyarakat. “ lanjut Xixi lagi.
“ Hina di mata masyarakat? Di mata Allah, apa mereka tahu? Apa ada jaminan mereka lebih mulia darimu di mata-NYA? Tak ada yang tahu kan? Aku tak peduli dengan pandangan masyarakat. Yang aku pedulikan adalah membantumu melewati semua masalah ini dengan baik. Setelah itu, semua urusan aku serahkan kepada Allah. Aku hanya ingin membantumu, lillahi ta’ala.” Jawab Iqbal dengan sungguh-sungguh.
“ Mas, kamu jangan egois. Ingatlah bagaimana perasaan ayah-ibumu jika mendengar kata-kata orang tentang kita. “ intonasi suara Xixi semakin tinggi.
“ Aku egois? Aku sudah mendiskusikan hal ini dengan Abah dan Umi. Aku sudah jelaskan semuanya. Siapa dirimu? Siapa keluargamu? Siapa yang menuntunmu untuk kembali ke jalan yang benar? Bagaimana keteguhan hatimu? Dan semua yang aku tahu tentangmu. Mereka mendukung tindakan yang aku lakukan. Bahkan mereka menasehatiku untuk bisa survive di sampingmu. Di mata mereka, orang baik bukanlah orang yang jarang ataupun tak pernah berbuat salah. Orang baik bagi mereka adalah orang yang mampu segera bangkit memperbaiki diri, saat terpuruk dalam dosa. “ sanggah Iqbal dengan suaranya yang jernih dan tetap terkontrol.
“ Mas……..”
“ Sudahlah Xi, kamu tidak usah melarang aku untuk tetap berada di sampingmu. Jangan larang aku untuk tetap mendampingimu melalui semua ini. Aku akan tetap berada di sampingmu. Yang terpenting saat ini bukan bagaimana menjauhkan aku dan keluargaku dari masalahmu? Bukan, bukan itu. Yang terpenting sekarang, bagaimana kamu bisa menjawab semua stigma negatif itu dengan keistiqomahanmu menjalankan ajaran agama. “ potong Iqbal.
            Sejenak pembicaraan mereka terhenti, saat seorang waitress datang mengantarkan pesanan mereka. Dua gelas juice mangga, seporsi kwee tiaw goreng dan nasi goreng kambing diletakkannya di meja. Setelah itu dia pergi meninggalkan meja mereka berdua yang terletak di dekat jendela. Hembusan angin tercampur uap manas menyapu wajah mereka berdua. Kerudung biru Xixi berkibar tertiup angin.
            Mereka saling berdiam diri. Iqbal memutar-muta pipet di dalam gelas juicenya. Sementara Xixi memainkan garpu di tangannya. Nasi goreng yang baru saja tersaji di mejanya, diaduknya perlahan. Saos sambal yang tersaji manis di tepi piringnya, sebentar saja telah tercampur dengan nasi gorengnya.
“ Kita makan dulu saja ya. Pembicaraan kita tadi, sebaiknya dilanjut nanti setelah makan. “ kata Iqbal sambil memegang sumpit. Tangannya segera mengaduk kwee tiaw gorengnya.
            Xixi mengangguk pelan. Tangannya terus mengaduk-aduk nasi gorengnya. Perlahan dimakannya nasi goreng itu. Sesendok demi sesendok menu favoritnya itu masuk ke mulutnya. Nafsu makannya sebenarnya telah hilang saat berbincang-bincang dengan Iqbal barusan. Pikirannya yang terfokus pada masalah cemoohan warga terhadap dirinya dan Iqbal, membuat nafsu makannya hampir hilang. Namun demi menghormati Iqbal, dicobanya untuk makan secara perlahan.
            Iqbal yang sedang menikmati makanannya, merasakan apa yang Xixi rasakan. Sambil makan, dia terus memperhatikan gadis berkerudung biru di depannya. Sementara yang sedang diperhatikan tidak menyadari hal itu.
“ Kalau kamu tidak nafsu makan, sebaiknya tidak usah dimakan. Jangan dipaksa, entar yang ada kamu malah tersiksa. “ kata Iqbal sambil menaruh sumpitnya. Makanannya yang tinggal seperempat dibiarkannya. “ Kalau karena  cemoohan mereka terhadapku, kamu ingin aku menjauh darimu, sejujurnya aku tak bisa Xi. “ lanjut Iqbal setelah meminum juicenya.
“ Kenapa mas? “
“ Kalau hanya karena cemoohan aku mundur, tentu saja aku akn malu sama salah seorang tokoh idolaku. Abu Bakar As Siddiq. Beliau mampu bertahan di sisi Rasulullah, saat beliau dicemooh dan dihina, masak aku tak mampu? Sedang hinaan dan cemoohan ini pastinya tak akan sehebat yang melanda Abu Bakar dan Rasulullah dulu. “ terang Iqbal.
“ Tapi aku bukan nabi yang pantas kau bela seperti itu mas! “
“ Kamu memang bukan nabi Muhammad dan akupun bukan Abu Bakar. Tapi kamu berjuang memperbaiki diri lillahi ta’ala. Berarti kamu wajib untuk aku bela semampu diriku bertahan Xi. “
“ Mas…….”
“ Sudahlah kamu tak usah memikirkan aku. Pikirkan saja bagaimana caranya agar kamu tetap istiqomah di jalan-NYA. “ potong Iqbal sambil menyilangkan jari telunjuknya di bibir. Perlakuan sama seperti yang dia lakukan saat Xixi bercerita tentang masa lalunya dulu di taman masjid agung Al Akbar.
            Xixi tak mampu lagi berkata. Semua alasan yang diajukannya tak mampu menyurutkan langkah yang Iqbal ambil. Lelaki itu telah bertekad untuk untuk mendampinginya, meski hanya sebagai sahabat baik saja.
            Iqbal segera memberi tanda ke waitress yang melayaninya tadi untuk meminta bill pembayaran. Setelah waitress datang menyerahkannya, Iqbal segera meberikan sejumlah uang untuk pembayaran makanannya dan Xixi. Tak lama kemudian mereka berdua berlalu pergi meninggalkan restoran itu. Mereka berdua hanya diam saja selama perjalanan pulang.
_ _ _

Dernpasar, 15032012

Masopu

 
Note:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...