Sejarah SuperVolcano Toba yang MeLegenda dan Letusan MAHADAHSYATnya ~ Indonesia ternyata masih menyimpan satu cerita besar. Sebuah cerita yang hampir menghapus peradaban di permukaan bumi, mengawali zaman es terakhir, dan menyisakan makhluk-makhluk yang beruntung masih hidup hingga jaman ini.
Danau Toba, yang dikenal sebagai salah satu danau air tawar terbesar di dunia, dengan pulau Samosir yang elok, dalam sejarah vulcanology adalah sisa dari letusan kaldera mahadashyat yang paling besar hingga detik ini (skala 8 VEI – Vulkanic Explotion Index). Letusan Toba dapat disamakan dengan 2000 kali letusan Gunung Helena atau 20000 kali letusan bom atom Hiroshima.
Efek dari letusan itu adalah lubang besar dengan luas hampir 200 ribu hektar (panjang 100 km dan lebar 30 km) atau dua setengah kali negara Singapura dimana lubang itu kini terisi air dan disebut dengan Danau Toba. Letusan itu memuntahkan material vulkanis ke seluruh penjuru dunia dan batuan yang sama ditemukan di beberapa negara oleh geologist. Awan debu yang dimuntahkan menutupi permukaan bumi dari sinar matahari sehingga menurut para ahli suhu bumi turun hingga lebih dari 15 derajat Celcius hingga beberapa dekade, awal dari jaman es yang terakhir.
Kejadian itu menyebabkan kematian dan kelaparan di seluruh permukaan bumi, dan diperkiraan manusia yang hidup tinggal 10000 hingga 40000 orang saja. Manusia yang tersisa bermigrasi dari Afrika, menyebar ke Arab, Eropa, Asia dan Indochina. Dan dengan kecepatan replikasi hamster, kini manusia menghuni seluruh daratan di dunia.
Danau Toba yang besar itu (luasnya kira2 100 x 30 km) sebenarnya berdiri di atas reruntuhan 3 kaldera besar. Di selatan terdapat Kaldera Porsea, berbentuk ellips dengan dimensi 60 x 40 km, terbentuk oleh letusan gigantik 800 ribu tahun silam. Kaldera ini meliputi sebagian selatan danau Toba dari Pulau Samosir, hingga ke daratan wilayah Parapat – Porsea dan “teluk” yang menjadi outlet ke Sungai Asahan. Wajah kaldera Porsea ini ‘dirusak’ oleh kaldera Sibadung yang terbentuk kemudian. Sementara di sebelah utara, di utara Pulau Samosir terdapat kaldera Haranggaol yang nyaris bulat dengan diameter ‘hanya’ 14 km. Haranggaol terbentuk pada 500 ribu tahun silam. Keberadaan kaldera-kaldera besar ini menunjukkan Danau Toba adalah kompleks vulkanik nan luar biasa.
Kita fokuskan ke Kaldera Sibadung. Inilah kaldera yang terbentuk dalam erupsi gigantik 71.500 +/- 4.000 tahun silam dan dinobatkan sebagai letusan terdahsyat di muka Bumi dalam 2 juta tahun terakhir setelah banjir lava di Yellowstone (AS). Bentuk kaldera mirip kacang (peanut-like) dan secara kasar memiliki panjang 60 km dengan lebar 30 km. Bentuk unik ini mengesankan bahwa kaldera Sibadung dulunya kemungkinan adalah gunung api kembar yang meletus secara bersamaan, seperti halnya gunung Danan dan Perbuwatan dalam erupsi katastrofik Krakatau 1883. Kaldera Sibadung mencakup seluruh bagian Pulau Samosir dan perairan selatan Danau Toba, kecuali “teluk” di sebelah tenggara yang menjadi outlet ke Sungai Asahan.
Letusan Toba 71 – 75 ribu tahun silam memang sungguh luar biasa. Gunung ini melepaskan energi 1.000 megaton TNT atau 50 ribu kali lipat ledakan bom Hiroshima dan menyemburkan tephra 2.800 km kubik berupa ignimbrit, yakni batuan beku sangat asam yang memang menjadi ciri khas bagi letusan-letusan besar. 800 km kubik tephra diantaranya dihembuskan ke atmosfer sebagai debu vulkanis, yang kemudian terbang mengarah ke barat akibat pengaruh rotasi Bumi sebelum kemudian turun mengendap sebagai hujan abu. Sebagai pembanding, erupsi paroksimal Tambora 1815 (yang dinyatakan terdahsyat dalam sejarah modern) ‘hanya’ menyemburkan 100 km kubik debu dan itupun sudah sanggup mengubah pola cuaca di Bumi selama bertahun-tahun kemudian, yang salah satunya menghasilkan hujan lebat yang salah musim di Eropa dan berujung pada kekalahan Napoleon pada pertempuran besar Waterloo.
Sebuah penelitian terbaru menyatakan sebuah ledakan besar vulkanik di Indonesia mengguncang planet Bumi pada 73.000 tahun yang lalu, bertanggungjawab terhadap pendinginan suhu global dan menghancurkan populasi nenek moyang manusia. Dibutuhkan heck dari sebuah bencana untuk menyeka pohon dari India.
Tapi 73.000 tahun yang lalu, letusan titanic Gunung Toba (the great Toba) di Indonesia melakukan hal itu, menyapu bersih daerah itu hampir dalam semalam seperti menendang planet ke lemari es yang akan dingin bertahan selama hampir 2.000 tahun. Letusan Toba mungkin merupakan peristiwa vulkanik yang paling penting dalam sejarah manusia, derita leluhur penduduk manusia di Afrika turun secara drastis, hanya yang menyisakan sekitar 30.000 orang yang selamat.
Tetapi para ilmuwan berdebat apakah semua bencana itu sebegitu buruk dengan beberapa berpendapat bahwa hanya ada penyimpangan kecil dalam iklim pada saat itu. Sebelumnya, peneliti Jihong Cole-Dai, kimiawan lingkungan dari South Dakota State University di Brookings menganalisis penurunan suhu global sekitar tahun 1810 sebagai dampak dari letusan Gunung Tambora
Kini, sebuah penelitian baru yang dipimpin oleh Martin Williams dari University of Adelaide di Australia membuktikan sebuah lingkungan yang dilemparkan ke dalam kondisi chaos, setidaknya terjadi di India. Serbuk sari dan sampel tanah yang dikumpulkan dari Teluk Bengal dan India tengah menunjukkan sebuah pohon tanah lembab yang tertutup material hancur oleh letusan vulkanik. Musim hujan terhenti dan dingin, musim kering memunculkan rumput savana.
Studi baru yang dipublikasikan baru-baru ini di jurnal Paleogeography, Paleoclimatology, Paleoecology merupakan bukti langsung pertama dari sebuah kehancuran ekosistem akibat letusan. Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa abu Gunung Toba itu meluas melalui ke India dan Samudera Hindia, bahwa belerang dari letusan terakumulasi abadi dalam jumlah besar membeku di lapisan es Greenland, Kutub Utara.
Stanley Ambrose dari University of Illinois di Urbana-Champaign, mengatakan bahwa studi terbaru menunjukkan garis panjang bukti yang menyatakan Toba sebagai peristiwa destruktif massal. “Model iklim memperkirakan bahwa suhu turun 16 derajat Celcius (29 derajat Fahrenheit) selama 50 tahun di Afrika. Hari ini suhu rata-rata di Nairobi adalah 25 derajat Celcius (77 Fahrenheit). Anda bisa bayangkan saja apa yang akan terjadi,” kata Ambrose.
Namun, Michael Petraglia dari University of Oxford menyatakan bahwa para peneliti telah berpikir dengan membesar-besarkan kasus. “Dua dari tiga sampel di India berasal dari lembah sungai yang sama. Apa yang mereka sampling adalah situasi lokal dan mereka membuat lompatan besar penafsiran bahwa seluruh Asia selatan seperti ini,” kata Petraglia. Selain itu penelitian manusia purba sendiri sudah di India pada waktu itu, dan selamat dari letusan.
“Saya tidak menyangkal super letusan Toba memiliki efek ekologis, saya kira itu memang benar. Tapi interpretasi mereka tentang evolusi manusia dan genetika memiliki kelemahan. Keterkaitan antara letusan dan genetika belum terbukti secara kuat,” kata Petraglia.
Kerikil (lapili) produk letusan Toba ditemukan hingga di India, yang berjarak 3.000 km dari pusat letusan. Keseluruhan permukaan anak benua India ditimbuni abu letusan dengan ketebalan rata-rata 15 cm. Bahkan di salah satu tempat di India tengah, ketebalan abu letusan Toba mencapai 6 meter. Debu vulkanik dan sulfur yang disemburkan ke langit dalam letusan dahsyat selama 2 minggu tanpa henti itu membentuk tirai penghalang cahaya Matahari yang luar biasa tebalnya di lapisan stratosfer, hingga intensitas cahaya Matahari yang jatuh ke permukaan Bumi menurun drastis tinggal 1 % dari nilai normalnya. Kurangnya cahaya Matahari juga menyebabkan suhu global menurun drastis hingga 3 – 3,5º C dari normal dan memicu terjadinya salah satu zaman es. Rendahnya intensitas cahaya Matahari membuat tumbuh2an berhenti berfotosintesis untuk beberapa lama dan tak sedikit yang bahkan malah mati, seperti terekam di lembaran2 es Greenland.
Bagaimana dengan manusia? Ambrose (1998) berdasar jejak DNA manusia purba menyebut saat itu terjadi situasi “genetic bottleneck” yang ditandai dengan berkurangnya kelimpahan genetik dan populasi manusia. Bahkan dikatakan jumlah individu manusia saat itu (tentunya dari generasi homo sapiens awal seperti homo sapiens neanderthalensis dan rekan-rekannya) merosot drastis hingga tinggal 10 % saja dari populasi semula.
Bencana lingkungan akibat erupsi Toba ini diduga membuat homo neanderthalensis berevolusi menghasilkan individu yang lebih lemah. Sehingga ketika katastrofik berikutnya terjadi, yakni pada 12.900 tahun silam di ujung zaman es tatkala asteroid/komet berdiameter 5 km jatuh ke Bumi dari ketinggian awal yang rendah (mendekati horizon) sehingga benda ini meledak pada ketinggian 60 km di atas Eropa – Amerika sembari melepaskan energi 10 juta megaton TNT, neanderthal tak sanggup lagi bertahan dan punahlah ia bersama kawanan mammoth sang gajah raksasa zaman es.
Danau Toba sekarang ini, apakah masih aktif? Ya. Bekas letusan berskala kecil dan kubah lava baru pasca erupsi hebat itu masih dapat dijumpai di kerucut Pusukbukit di sebelah barat dan kerucut Tandukbenua di sebelah utara. Terangkatnya Pulau Samosir hingga 450 meter dari elevasi semula (yang dapat dilihat dari lapisan2 sedimen danau di pulau ini) juga menunjukkan bahwa reservoir magma Toba telah terisi kembali, secara parsial. Studi seismik menunjukkan di bawah danau Toba terdapat sedikitnya dua reservoir magma di kedalaman 40-an km dengan ketebalan 6-10 km.
Bertahan dari Letusan Mahadahsyat
Sekelompok peneliti internasional menyatakan, manusia India yang hidup pada saat letusan gunung api Toba-yang kini menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara-74.000 tahun lalu, relatif masih bisa bertahan hidup. “Meski mengalami masa-masa yang sulit,” kata antropolog Michael Petraglia dari Universitas Cambridge Inggris, kepada Tempo melalui surat elektronik pada Senin pekan lalu.
Petraglia adalah pemimpin penelitian yang dilakukan di Lembah Jwalapuram, Distrik Kurnool, India, itu. Petraglia dan timnya menemukan ratusan artefak berupa alat-alat batu serpih yang sama tipenya dari atas dan bawah lapisan debu vulkanik Gunung Api Toba.
“Artefak kami temukan di bawah dan di atas lapisan debu, oleh sebab itu kami menyimpulkan adanya keberlanjutan populasi di kawasan tersebut setelah letusan terjadi” ujar Petraglia.
Letusan Gunung Api Toba yang wujudnya hanya bisa direka-reka dari kawasan Danau Toba kini, adalah letusan mahadahsyat dan tiada bandingnya. Sejarah mencatat, itulah letusan terbesar di dunia selama dua juta tahun terakhir.
Gunung itu melontarkan sekitar 3.000 kilometer kubik material perut bumi, termasuk gas vulkanis dan asam sulfur ke langit. Gas dan asam sulfur menyelubungi lapisan stratosfer di atmosfer bumi selama 6 tahunan.
Gunung itu melontarkan sekitar 3.000 kilometer kubik material perut bumi, termasuk gas vulkanis dan asam sulfur ke langit. Gas dan asam sulfur menyelubungi lapisan stratosfer di atmosfer bumi selama 6 tahunan.
Adapun material gunung terlempar sampai ke kawasan Greenland di utara bumi. Di India, di mana Petraglia dan timnya meneliti, tebal lapisan debu vulkanisnya mencapai 15 sentimeter.
Selubung material dan gas dari gunung itu membuat temperatur muka bumi menurun antara 3 sampai 5 derajat celsius. Dunia pun mengalami musim dingin vulkanik yang sama seperti zaman es. “Itu adalah masa-masa yang sangat berat dan menantang,” kata Will Harcourt-Smith, palentolog dari Museum Sejarah Alam Amerika di New York.
Di tengah masa sulit itulah manusia India pada saat yang sama, menurut Petraglia, bisa bertahan hidup. Padahal, teori yang didasarkan penelitian DNA dan genetik, menyatakan bahwa populasi manusia di bumi nyaris tersapu bersih akibat letusan tersebut.
Di tengah masa sulit itulah manusia India pada saat yang sama, menurut Petraglia, bisa bertahan hidup. Padahal, teori yang didasarkan penelitian DNA dan genetik, menyatakan bahwa populasi manusia di bumi nyaris tersapu bersih akibat letusan tersebut.
Sebuah teori dari Stanley H. Ambrose dari Universitas Illinois di Urbana-Champaign Amerika Serikat, menyatakan bahwa populasi manusia yang hidup saat ini berasal dari antara 1.000 sampai 10.000 jiwa manusia yang bertahan hidup dari letusan gunung Toba itu.
Menurut Petraglia, artefak-artefak yang mereka temukan dari lapisan bawah debu vulkanis, memiliki kesamaan tipe dengan artefak di lapisan atasnya. “Semuanya diidentifikasi dari masa Paleolitik Tengah, antara tahun 150.000 sampai 38.000 Sebelum Masehi,” katanya.
Tapi Ambrose meminta Petraglia dan timnya tak buru-buru menarik kesimpulan sebelum menemukan bukti lebih lanjut. “Satu-satunya cara untuk membuktikan adalah menemukan kerangka manusia di bawah lapisan debu yang sama dengan manusia Afrika,” katanya.
Petraglia setuju bahwa penemuan kerangka akan memberikan bukti yang lebih kuat, tapi dia tetap kukuh pada pendiriannya. “Ada ribuan artefak lagi yang tidak kami presentasikan di jurnal yang mendukung klaim kami,” katanya.
Artefak-artefak yang ditemukan Petraglia mengindikasikan kesamaan morfologi dengan alat-alat batu yang dibuat manusia modern di Afrika bagian selatan.
Artefak-artefak yang ditemukan Petraglia mengindikasikan kesamaan morfologi dengan alat-alat batu yang dibuat manusia modern di Afrika bagian selatan.
Petraglia dan timnya pun menduga bahwa manusia yang hidup di India itu sama modernnya dengan manusia Afrika. Manusia India itu berasal dari Afrika yang bermigrasi dan tiba di kawasan tersebut sebelum letusan Toba menyelimuti kawasan itu dengan debu.
Tapi dugaan ini ditentang Will Harcourt-Smith, palentolog dari Museum Sejarah Alam Amerika di New York. Menurutnya, manusia modern Afrika yang hidup pada masa yang sama dengan letusan Gunung Toba, sudah hidup dengan simbolisme, perilaku pembuatan alat yang kompleks, demikian pula kehidupan sosialnya. “Memang perilaku mereka tak seperti manusia sekarang, tapi mereka sudah tergolong manusia modern,” kata dia.
Chris Clarkson, arkeolog dari Universitas Queensland, Australia, yang terlibat dalam tim Petraglia mengatakan, dugaan mereka didukung temuan sejumlah besar oker di bawah lapisan debu, bersamaan dengan alat batu. Oker adalah zat warna terbuat dari tanah, yang digunakan oleh manusia awal untuk seni, simbol, atau mengelem alat batu dengan pegangan kayunya.
Chris Clarkson, arkeolog dari Universitas Queensland, Australia, yang terlibat dalam tim Petraglia mengatakan, dugaan mereka didukung temuan sejumlah besar oker di bawah lapisan debu, bersamaan dengan alat batu. Oker adalah zat warna terbuat dari tanah, yang digunakan oleh manusia awal untuk seni, simbol, atau mengelem alat batu dengan pegangan kayunya.
“Semua ini potensial sebagai penanda akan perilaku yang lebih komplek daripada yang sebelumnya dicantelkan kepada spesies hominid awal yang sudah punah,” kata Clarkson.
“Penggalian lebih lanjut akan membantu kita menyimpulkan apakah alat-alat itu milik manusia modern atau tidak.”
Adapun Petraglia mengatakan bahwa penemuan mereka pun mengklarifikasi hipotesis persebaran bagian selatan. Teori itu menyatakan bahwa manusia Aborigin Australia sekarang bermigrasi dari Afrika melalui Samudera Hindia.
Lantaran kaum aborigin Australia tiba di benua itu pada 45.000 sampai 60.000 tahun lalu, “Kami pikir mereka mestinya berangkat dari Afrika ke semenanjung Arab, subkontinen India lalu ke Asia Tenggara,” ujarnya.
Adapun Petraglia mengatakan bahwa penemuan mereka pun mengklarifikasi hipotesis persebaran bagian selatan. Teori itu menyatakan bahwa manusia Aborigin Australia sekarang bermigrasi dari Afrika melalui Samudera Hindia.
Lantaran kaum aborigin Australia tiba di benua itu pada 45.000 sampai 60.000 tahun lalu, “Kami pikir mereka mestinya berangkat dari Afrika ke semenanjung Arab, subkontinen India lalu ke Asia Tenggara,” ujarnya.
Petraglia menyatakan kesimpulan mereka memang dapat saja diperdebatkan dan sah-sah saja. “Ada saja orang yang mempertahankan teori mereka sendiri dan tak menyukai kesimpulan kami, tapi ada pula yang setuju,” katanya.
Footnote : Missing link anthropology adalah fenomena ketika banyak ditemukan fosil spesies manusia selain homo sapiens namun pada suatu periode tertentu spesies ini tidak ditemukan lagi dan menyisakan hanya homo sapiens yang hidup hingga saat ini (setidaknya yang mendominasi, manusia pigmi berukuran kurang dari 1 meter homo sapiens atau bukan belum diketahui). Ada satu kejadian besar yang memutus sejarah, yang menurut teori Toba Catasthopic diakibatkan oleh letusan Toba.
Back Again – Why it always connected with 2012
Kapan Toba akan kembali meletus dahsyat? Kita tidak tahu. Namun dilihat dari historinya butuh waktu sedikitnya 300 ribu tahun pasca letusan besar Toba untuk kembali menghasilkan letusan katastrofik. Memang sempat muncul kekhawatiran Toba akan kembali menggeliat pasca guncangan gempa megathrust Sumatra Andaman 2004 yang mencapai 9,15 Mw itu dengan episenter hanya 300 km di sebelah barat danau, namun sejauh ini belum terbukti. Kekhawatiran ini bukannya tanpa alasan. Krakatau bangkit dari tidur panjangnya selama 200-an tahun tatkala gempa besar mengguncang kawasan Selat Sunda di awal 1883 dimana getarannya terasakan hingga ke Australia. Dalam perhitungan kalender Maya, 74000 tahun yang lalu adalah awal dari penanggalan siklus dunia yang keempat atau akhir dari siklus penanggalan dunia yang ketiga. Kapankah siklus keempat berakhir? Tentu saja 21 Desember 2012 ;-p
Apakah Toba akan kembali beraksi? Para ahli vulkanologi sudah melakukan riset di akhir tahun 2000 dengan menempatkan berpuluh titik seismograf di sekitar Danau Toba. Meski sering terjadi gempa ringan namun cadangan magma di kaldera Toba masih butuh ratusan tahun lagi untuk mempunyai potensi erupsi. Itu menurut analisa mereka. Namun yang diperkirakan oleh beberapa vulcanologist, bukan supervulcano Toba yang berpotensi aktif kembali dan sedikit dikaitkan di tahun 2012 sebagai momen kritis. Bukan Toba, tapi saudaranya, kaldera super vulcano dengan cadangan magma terbesar di dunia yang tercitra oleh satelit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar