Aku duduk menghadap
jendela kamar. Hembusan angin pantai Kuta membawa sedikit uap air, efek panas
yang masih terasa sedikit terobati semilir angin. Meski AC sudah diset ke titik
terendah, panasnya udara masih membekas di kulit. Di sampingku, dalam posisi
duduk bersila di atas ranjang, Netti sibuk bermain dengan laptopnya. Sudah
hampir dua jam dia sibuk melacak IP seseorang yang sedang kami buru. Kabar
keberadaannya yang telah 2 minggu menyaru sebagai wisatawan membuatku penasaran.
Seorang agen Interpol Italy mengabariku tiga hari yang lalu, sesaat menjelang
keberangkatannya ke sini, megendus jejak-jejak bayangnya.
Netti, gadis manis berusia 29 tahun, maniak computer
terhandal yang aku punya. Tubuh tinggi dengan alis mata tebal dan bentuk wajah ovalnya
lebih pantas menjadi model ataupun seorang penyanyi, daripada menjadi polisi
sepertiku. Sudah 4 tahun dia berpartner denganku, mengendus jejak penjahat
lintas batas dan aku selalu menugaskannya untuk segala sesuatu yang berkaiatan
dengan komputer, sesuatu yang tak pernah aku bisa tangani. Sejak informasi
keberadaan sang Mafia Italy hinggap di telingaku, dia tak pernah lelah melacak
jejak-jejak maya. Sementara aku lebih suka menjadi seekor herder yang bertugas
mengendus sisa-sisa bau di alam nyata daripada menjadi mata-mata dunia maya.
“ Capt, aku berhasil melacak keberadaan Alessio Monaco.
Dari IP yang berhasil aku detect, dia ada di kawasan Jimbaran. Apakah Marco serta
kawan-kawannya sudah siap? “ suaranya yang lembut jelas menutupi kegarangannya
saat beraksi menangkap penjahat. Jemari lentiknya cukup terlatih untuk
memainkan pelatuk pistol yang selalu menggantung di pinggangnya. Kadang jemari
itu terasa lebih kokoh saat mengunci pusat-pusat kekuatan seorang yang sedang
lengah.
“ Marco, saat ini sudah siaga, tinggal menunggu kita saja.
Polisi lainnya, aku tinggal kontak AKP Made, tadi siang aku sudah koordinasikan
hal ini dengannya. “ aku menjawab sambil melihat ke laptop Netti. Aku tak bisa
membayangkan apa yang dilakukannya dengan benda itu, sekali dia membukanya
waktu yang ada terasa begitu cepat berlalu. Bibirnya lebih banyak ngoceh
sendiri tanpa pernah aku mengerti. Kadang tingkahnya seperti anak kecil yang
baru dapat permen, di waktu lain laiknya seorang remaja yang baru putus cinta,
menceracau tak tentu arahnya.